Ihwal Dewan Aglomerasi Jabodetabekjur
Kepemimpinan wapres dalam sebuah lembaga lokal di sebuah negara membawa ketidakadilan baru dalam tata kelola negara.
Draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) kembali menuai polemik ketika membahas soal kelembagaan Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur. Materi yang mengundang ramai publik adalah kelak DKAJ akan dipimpin wakil presiden RI.
Ihwal ini juga seolah berbau politik, menyambung ke pemegang kendali pemerintahan RI pasca-Joko Widodo kelak.
Kedudukan DKAJ ini tak terlepas dari tata kelola Daerah Khusus Jakarta yang menjadi materi utama dalam draf RUU DKJ itu sendiri. Polemik yang muncul seakan menisbikan materi utama. Untuk itu, perlu dicermati dengan saksama secara komprehensif sebagai bagian integral dari RUU tersebut.
Koordinasi vertikal dan horizontal
Sebagai kota besar, meski kelak bukan ibu kota, status sebagai sebuah provinsi tetap melekat pada Jakarta. Kota besar Jakarta amat membutuhkan tata kelola koordinatif yang masif dalam dua matra, yakni vertikal dan horizontal (Prude Home, 1996).
Dua matra koordinatif yang masif ini muncul sangat kuat karena Jakarta telah membengkak bukan sekadar menjadi metropolitan city, melainkan kini dan seterusnya menjadi megacity atau dikenal luas sebagai megalopolitan.
Jakarta tidak dapat bergerak sendiri dalam mengelola berbagai persoalan publiknya dengan kian luasnya wilayah konurbasi yang melingkupi Kota Jakarta.
Draf RUU DKJ sudah seharusnya dengan jelas menetapkan Jakarta sebagai megacity sebagai dasar argumen perlunya koordinasi vertikal dan horizontal masif dan kuat dengan pola monoaspek.
Fungsi internal Kota Jakarta yang terus membengkak tidak akan efektif jika dikerjakan sendiri. Pengelola Kota Jakarta yang kelak diatur khusus, dalam RUU DKJ, harus mampu bergerak ke atas (vertikal) dan ke semua arah sekeliling Kota Jakarta (horizontal).
Koordinasi vertikal yang masif adalah koordinasi oleh pengelola Jakarta secara mudah dan dipayungi oleh dasar legal yang kuat, dengan kepala pemerintahan dan semua sektor dari pemerintah pusat.
Adapun koordinasi horizontal yang masif ditandai kemampuan pengelola Jakarta, secara mudah pula, didasari payung hukum yang kuat, untuk menggerakkan daerah otonom di sekitar wilayahnya yang berpotensi mendukung pengelolaan berbagai persoalan internal kota.
Perumus draf RUU DKJ mencoba mengakomodasi keinginan di atas dengan merumuskan bab tersendiri yang disebut sebagai DKAJ.
Draf RUU DKJ tidak menyebutkan sama sekali sebagai megacity. Secara terpisah diatur tersendiri bab mengenai Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur. Padahal, dengan karakter megacity, urgensi koordinasi masif, baik vertikal maupun horizontal, menjadi hal mendesak.
Akibat terpisah dalam bab tersendiri, seakan menjadi pemerintahan tersendiri yang seolah menjadi bayangan DKJ. Celakanya, DKAJ yang diatur dalam draf itu dipimpin oleh wapres, yang sebetulnya ada berbagai alternatif lain.
Kepemimpinan wapres dalam sebuah lembaga lokal di sebuah negara tentu membawa ketidakadilan baru dalam tata kelola negara bangsa. Ruang politik kedudukan wapres pun amat kental sehingga DKAJ kelak dikhawatirkan juga menjadi politis, bukan untuk kepentingan mengatasi persoalan publik internal Kota Jakarta sendiri dan wilayah sekitarnya.
Multiaspek vs monoaspek
Koordinasi vertikal dan horizontal yang dapat dilakukan pengelola Kota Jakarta kelak bersifat multiaspek atau monoaspek. Koordinasi multiaspek umumnya lemah dalam implementasi. Koordinasi semacam ini mirip yang dilakukan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur.
Lembaga semacam ini lemah karena menempatkan otonomi tiap-tiap daerah tetap dipertahankan berjalan efektif.
Dampaknya, koordinasi yang ada hanya bersifat artifisial dan tak serius, sekadar komitmen yang belum tentu terwujud. Lembaga koordinasi multiaspek yang efektif dan bertipikal implementatif dikhawatirkan bisa mengarah ke merger berbagai daerah yang melakukan koordinasi itu sehingga sering sejak awal dihindari.
Kepemimpinan wapres dalam sebuah lembaga lokal di sebuah negara tentu membawa ketidakadilan baru dalam tata kelola negara bangsa.
Lembaga DKAJ dengan wapres sebagai komandan bisa diperkirakan menjadi lembaga pemerintahan yang membayang-bayangi daerah-daerah di wilayah aglomerasi, bahkan menjadi tingkat pemerintahan sendiri yang mampu mengendalikan semua daerah di kawasan aglomerasi itu. Hal ini juga diperkirakan menjadi pemborosan dan memunculkan ketidakadilan baru secara nasional.
Koordinasi vertikal dan horizontal yang lebih efektif dan implementatif dapat diharapkan pada pola monoaspek. Lembaga ini bahkan bisa meningkat menjadi lembaga kolaboratif. Pada pola ini, tak perlu wapres atau kepala pemerintahan menjadi komandan DKAJ.
Untuk Kota Jakarta yang sudah amat besar, lembaga monoaspek dapat dijadikan sarana untuk mengelola berbagai problem internal Jakarta secara serius dan lebih fokus. Kebutuhan internal kota Jakarta di berbagai bidang dapat dikelola dengan mengembangkan berbagai lembaga koordinasi monoaspek dengan satu sektor tertentu diisi berbagai pemangku kepentingan yang relevan.
Pola ini niscaya tak mendorong terjadinya merger daerah-daerah yang ada di sekitar Jakarta, bahkan membawa profesionalitas berbagai tata kelola sektor-sektor yang dibutuhkan Kota Jakarta. Lembaga ini pun dapat dikembangkan dengan mudah di seantero wilayah kota di Indonesia sehingga tidak menimbulkan ketidakadilan baru. Inisiatifnya juga bottom-up, tidak seperti yang multiaspek yang cenderung top-down.
Jadi, kebutuhan untuk kolaborasi muncul di antara daerah-daerah otonom di berbagai sektor, terutama dari dalam Kota Jakarta sendiri sebagai kota yang sudah berskala megacity. Draf RUU DKJ sudah seharusnya dengan jelas menetapkan Jakarta sebagai megacity sebagai dasar argumen perlunya koordinasi vertikal dan horizontal masif dan kuat dengan pola monoaspek. Semoga.
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik dan Chairman Klaster/Pusat Kajian DeLOGO-Fakultas Ilmu Administrasi UI