Honda x Nissan, Kolaborasi Tidak Pernah Haram di Industri Otomotif
Kolaborasi dalam industri otomotif tidak hanya lintas batas, tapi juga lintas sektor. Kolaborasi tidak hanya soal modal.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Honda dan Nissan telah mengumumkan kemitraan strategis untuk mengembangkan kendaraan listrik. Kolaborasi keduanya dipicu oleh persaingan yang kian sengit.
Persaingan di industri otomotif memang terbilang keras. Manufaktur mobil untuk pertama kalinya dilakukan tahun 1894, yakni Benz Velo dengan total produksi 1.200 unit. Selanjutnya, selama puluhan dekade, pabrikan kendaraan datang dan pergi dengan berbagai penyebab. Pemimpin pasar pun hadir silih berganti.
Tesla, misalnya, baru ikut bertarung pada era 2000-an, tetapi kini telah mencatatkan diri sebagai perusahaan otomotif dengan kapitalisasi terbesar di dunia. Lahir pada era yang sama, BYD, perusahaan otomotif asal China, baru-baru ini dinobatkan sebagai ”pembunuh” Tesla dengan teknologi yang tak kalah canggih, namun dijual dengan harga lebih bersahabat.
Tesla dan BYD adalah dua nama besar yang kini telah singgah di hati pengguna sampai penggila otomotif. Seiring bermunculannya mobil-mobil listrik baru, kita makin mengenal pendatang-pendatang baru, mulai dari Wuling, Great Wall Motor, Nio, Xpeng, Geely, hingga kelak Xiaomi.
Kendaraan dari pabrikan-pabrikan baru itu, terutama yang hadir dari China, makin hari makin mengisi garasi rumah-rumah warga. Bahkan, di Eropa, jalan protokol tidak lagi hanya dilintasi oleh Mercedes-Benz, BMW, VW, Audi, atau Fiat. Mobil produksi China, terutama mobil listrik, makin kerap hilir mudik di sana.
Demikian juga di Asia, Toyota, Honda, Suzuki, dan Daihatsu mulai tergantikan dengan kendaraan-kendaraan asal China. Jika pada dekade lalu Jepang masih menjadi eksportir kendaraan terbesar di Asia, maka posisinya kini tergeser oleh manufaktur China.
Tidak ingin tergusur begitu saja dari peta manufaktur otomotif dunia, Honda dan Nissan memutuskan bersinergi untuk membangun kendaraan listrik. Kedua pabrikan ini boleh saja ahli dalam membangun kendaraan berbahan bakar minyak. Namun, mereka menyadari, membangun mobil listrik memang tidak dapat dikerjakan dalam semalam.
Percepatan harus dilakukan. Persoalannya, untuk membangun kendaraan listrik tidak hanya harus membuat mesin baru atau desain mobil baru. Membangun kendaraan listrik harus juga disertai pembuatan perangkat-perangkat lunak.
Kolaborasi di industri otomotif memang bukan barang haram. Di Indonesia, kita pernah menyaksikan kolaborasi Toyota-Daihatsu dalam wujud Avanza-Xenia. Kolaborasi Suzuki-Mitsubishi dalam produk Suzuki APV-Mitsubishi Maven.
Sejak puluhan tahun silam, kolaborasi telah kerap dilakukan. Ferrari, misalnya, sangat piawai membuat mesin mobil, tetapi kemudian menggandeng desainer Pininfarina. Sementara Ford mengajak Carroll Shelby untuk mengalahkan Ferrari di Le Mans, demi mengangkat harga diri Ford.
Kolaborasi dalam industri otomotif tidak hanya lintas batas, tetapi juga lintas sektor. Kolaborasi tidak hanya soal modal, tetapi juga menyangkut pengalaman, visi, bahkan hingga gairah, passion. Gairah dari seorang Carroll Shelby hingga Elon Musk, misalnya, yang mampu menggerakkan industri otomotif dunia.
Kini, adakah warga Indonesia dengan gairah besar yang mampu mengolaborasikan berbagai hal terkait otomotif sehingga kita memiliki mobil nasional sendiri?