Tampaknya ”daluwarsa” dan ”kedaluwarsa” masih akan bersaing dalam bahasa hukum kita. Untunglah makna keduanya sama.
Oleh
TD ASMADI
·2 menit baca
Banyak yang tidak tahu bahwa dua tahun lagi kita akan memiliki undang-undang pidana baru. Januari 2026 itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak akan berlaku lagi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 akan menggantikan KUHP yang semula bernama Wetboek van Strafrecht dan diberlakukan Belanda sejak 1914.
Banyak juga yang tidak tahu bahwa salah satu yang berubah adalah istilah daluwarsa yang diganti kedaluwarsa. Dalam KUHP, daluwarsa diatur dalam Pasal 78 sampai Pasal 85, sedangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 dimulai pada Pasal 136. Apa alasan penggantian itu?
Daluwarsa dan kedaluwarsa memang memiliki hubungan ”kekeluargaan”. Satu bahasa Sunda, yang lain bahasa Jawa, dan hanya satu suku kata yang membedakannya, awalan ke-. Yang lebih penting, keduanya bermakna sama.
Kedua istilah itu merupakan ”terjemahan” dari bahasa Belandaverjaring, seperti yang tercantum dalam Pasal 78 Wetboek: Het recht tot strafvordering vervalt door verjaring. Dalam kamus-kamus bahasa Belanda-Indonesia, verjaring dimaknai ’lewat waktu’. Makna seperti itu tertera dalam kamus susunan Soesi Moeiman dan Hein Steinhauer (Gramedia, 2005), atau dalam karya Soekartini, SH (Sumur Bandung, 1972). Juga dalam kamus yang lebih tua susunan ALN Kramer Sr (s’Gravenhage, 1952).
Wetboek van Strafrecht belum memiliki terjemahan resmi ketika 1946 diberlakukan di Indonesia. Oleh karena masih berbahasa Belanda, muncul berbagai penafsiran, termasuk istilah-istilah di dalamnya. Salah satunya verjaring.
Dalam KUHP terbitan terakhir, istilah yang dipakai untuk memadankan verjaring adalah daluwarsa. Itu bisa dilihat antara lain dalam KUHP (yang disusun) Moeljatno, KUHP Soenarto Soerodibroto, KUHP R Soesilo, atau KUHP R Sugandhi. Pakar hukum pidana dari Makassar, Andi Hamzah, memadankan kata itu dengan lewat waktu, makna yang lebih dekat dengan bahasa asalnya.
Meski daluwarsa lebih banyak digunakan, ada juga yang memakai kedaluwarsa. Ini bisa disimak jika kita membuka laman Mahkamah Agung. Di situ akan terbaca daluwarsa dan kedaluwarsa bersaing sebagai istilah hukum. Kadang-kadang ada yang salah tulis menjadi kadaluarsa atau daluarsa.
Baik daluwarsa maupun kedaluwarsa kata dasarnya sama, yaitu dalu. Kamus Basa Sunda RA Danadibrata memberi dua makna pada dalu, yaitu ’ladu (sejenis kue)’ dan ’lewat waktu malam’. Bentukannya antara lain kadalon-dalon yang bermakna ’keterusan melebihi waktu’. Juga daluwarsa yang diberi definisi waktuna geus kaliwat (waktunya sudah kelewat).
Dalam bahasa Jawa, dalu bermakna ’uwis mateng banget (sudah terlalu matang, tentang buah-buahan)’ dan ’malam’. Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939) mengungkap, dari kata itu terbentuk kadaluwarsa (dengan ka-) yang maknanya ’kasep, lungse’ (terlambat, sudah melewati waktu). Kedaluwarsa (dengan ke-) masuk Kamus Umum Bahasa Indonesia sebagai lema tersendiri pada cetakan ke-3 tahun 1961.
Russel Jones dalam Loan Words in Indonesian and Malay tidak menulis dalu sebagai kata dasar dari daluwarsa. Dalu, yang ia jadikan lema menggunakan d kapital, tetapi tak berhubungan dengan dalu. Jones menulis daluwarsa, yang menjadi lema di bawah Dalu, merupakan kata serapan dari bahasa Jawa. Berbeda dengan di KBBI yang sejak Edisi I (1988) kedaluwarsa yang menjadi lema dan apabila muncul daluwarsa selalu dirujuk ke kedaluwarsa.
Tampaknya daluwarsa dan kedaluwarsa masih akan bersaing dalam bahasa hukum kita meskipun UU Nomor 1 Tahun 2023 menggunakan kedaluwarsa.