Anatomi Demografis Pola Urbanisasi
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi sudah tidak terjadi pada kawasan pusat kota besar, tetapi bergeser ke pinggiran.
Urbanisasi adalah suatu fenomena yang kompleks, tetapi pada dasarnya merupakan refleksi kemajuan dalam sosio-ekonomik suatu masyarakat.
Negara dengan tingkat sosio-ekonomi yang sudah tinggi, seperti Eropa Barat, Jepang, dan Amerika, memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi dibandingkan dengan negara yang sedang berkembang.
Studi yang dilakukan Bank Dunia pada akhir 2010 tentang hubungan antara tingkat urbanisasi dan produk domestik bruto (PDB) negara-negara di Asia memperlihatkan bahwa kenaikan 1 persen penduduk perkotaan di Indonesia berasosiasi dengan kurang dari 2 persen kenaikan PDB, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan China dan India, dengan kenaikan PDB sebesar 6 persen.
Secara umum, ini bisa berlaku sebaliknya, yaitu perkembangan ekonomi di Indonesia kurang mendorong urbanisasi.
Secara demografis, tingkat atau derajat urbanisasi diukur secara sederhana dengan proporsi penduduk wilayah perkotaan terhadap jumlah penduduk keseluruhan (urbanization rate) lebih luas dari sekadar laju kenaikan penduduk suatu kota. Sumber urbanisasi meliputi: (1) reklasifikasi desa menjadi kota; (2) migrasi dari desa ke kota; dan (3) pertambahan penduduk alamiah, yaitu jumlah kelahiran dikurangi kematian.
Data kependudukan hasil sensus terdahulu masih menunjukkan relatif tingginya tingkat urbanisasi provinsi-provinsi di Jawa dibandingkan dengan luar Jawa.
Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dalam bentuk ”format panjang” (long form) pada 2023 lalu memungkinkan dilakukannya analisis kondisi urbanisasi Indonesia walaupun kali ini dirilis agak terlambat dibandingkan dengan hasil sensus penduduk sebelumnya.
Profil Penduduk Perkotaan 2020 tentu saja dapat dibandingkan dengan Profil Penduduk Perkotaan 2010 sehingga perubahan serta kontinuitas urbanisasi Indonesia dalam kurun waktu tersebut dapat dikaji.
Tulisan ini mengulas perkembangan urbanisasi Indonesia secara makrodemografis, berbasis hasil sensus 2010 dan 2020 yang merupakan data agregat terlengkap dan akurat, dengan berbagai limitasinya.
Dalam sensus penduduk 2010 dan sebelumnya, suatu lokalitas didefinisikan sebagai ”Desa Perkotaan” dengan kriteria yang meliputi: kepadatan penduduk; jumlah rumah tangga yang berusaha dalam bidang pertanian; dan jumlah fasilitas perkotaan.
BPS kemudian menggunakan penilaian (scoring system) untuk menentukan apakah lokalitas tersebut termasuk kategori ”perkotaan” atau ”perdesaan”. Sesungguhnya, banyak lokalitas yang menunjukkan peralihan dari ”perdesaan” ke ”perkotaan” (semi-urban).
Namun, karena pertimbangan praktis pada skala makro (nasional) dan biaya tinggi, hal tersebut belum dapat dilakukan pada sensus penduduk 2010 dan 2020. Dalam sensus penduduk 2020, kriteria tersebut disempurnakan dalam Peraturan Kepala BPS Nomor 120 Tahun 2020 tentang Klasifikasi Desa Perkotaan dan Perdesaan.
Kriteria yang digunakan pada sensus penduduk 2010 dan 2020 pada dasarnya sama sehingga perbandingan dapat dilakukan.
Jumlah penduduk perkotaan
Jumlah total penduduk Indonesia pada tahun 2020 telah mencapai 275,5 juta jiwa dengan laju pertambahan 1,5 persen per tahun selama satu dasawarsa (2010-2020). Sementara itu, jumlah penduduk perkotaan telah mencapai 155,5 juta jiwa atau 56,4 persen, meningkat dari 49,8 persen pada tahun 2010, dengan laju pertambahan 2,77 persen per tahun.
Laju ini telah melambat dari 4,40 persen pada kurun tahun 1990-2000 dan 3,33 persen pada 2000-2010. Meski demikian, apabila dilihat konsentrasinya, penduduk perkotaan ini 65,8 persen berada di Jawa dengan laju 2,22 persen. Sementara sisanya, 34,2 persen, berada di luar Jawa dengan laju 3,32 persen per tahun.
Perlu pula dicatat bahwa lokalitas perkotaan (urban localities) pada 2020 telah mencapai 29.640 atau meningkat hampir dua kali dari 15.786 pada 2010. Adapun Pulau Jawa mengalami kenaikan dari 9.293 menjadi 16.868 pada periode itu. Kajian terdahulu (2000-2010, Firman, 2015) menunjukkan bahwa pertambahan lokalitas perkotaan itu khususnya terjadi dengan pesat pada wilayah pinggiran kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta.
Pertambahan penduduk kota sebenarnya merupakan bagian dari urbanisasi, tetapi analisisnya hanya dapat dilakukan berbasis kota-kota yang berstatus otonom sebab data dikumpulkan berdasarkan status tersebut.
Persebaran penduduk perkotaan
Data kependudukan hasil sensus terdahulu masih menunjukkan relatif tingginya tingkat urbanisasi provinsi-provinsi di Jawa dibandingkan dengan luar Jawa.
Pola ini mulai berubah seperti dicatat pada hasil sensus penduduk 2010. Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Riau Kepulauan menunjukkan derajat urbanisasi sekitar 40 persen atau lebih.
Pola ini semakin jelas lagi ditunjukkan oleh hasil sensus penduduk 2020. Proporsi penduduk perkotaan di beberapa provinsi di luar Jawa semakin meningkat, misalnya Sumatera Utara (55,5 persen), Kepulauan Bangka Belitung (57,6 persen), Kepulauan Riau (87,1 persen), Bali (66,9 persen), Nusa Tenggara Barat (49,6 persen), Kalimantan Selatan (48,5 persen), Kalimantan Timur (68,6 persen), dan Sulawesi Utara (53,7 persen).
Kondisi ini mengindikasikan bahwa kini, walaupun tingkat urbanisasi masih didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa, provinsi di luar Jawa semakin tinggi derajat urbanisasinya.
Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa provinsi-provinsi luar Jawa itu umumnya merupakan wilayah kaya yang berbasis sumber daya alam, kecuali Bali yang berkembang karena aktivitas wisata. Kemungkinan besar hal ini terjadi sebagai dampak kebijakan desentralisasi fiskal dan administratif yang dimulai sejak tahun 2000 hingga saat ini. Daerah kini punya posisi kewenangan dan bagi hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan masa pra-reformasi sebelum tahun 2000.
Kota besar dan kota menengah/kecil
Pertambahan penduduk kota sebenarnya merupakan bagian dari urbanisasi, tetapi analisisnya hanya dapat dilakukan berbasis kota-kota yang berstatus otonom sebab data dikumpulkan berdasarkan status tersebut. Padahal, sesungguhnya banyak wilayah perkotaan, yang telah mencirikan kehidupan kota secara sosial-ekonomi, tetapi tak memiliki status kota otonom—misalnya Jatinangor, Cianjur, dan Cipanas di Jawa Barat—sehingga data penduduk di kawasan perkotaan seperti itu tidak dapat dicatat secara resmi pada sensus penduduk.
Pada tahun 2010 terdapat 11 kota di Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa (millionaire plus cities) yang meliputi Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Bekasi, Palembang, Semarang, Tangerang, Depok, Makassar, dan Tangerang Selatan. Sepuluh tahun kemudian pada 2020, kota dengan kategori tersebut telah berjumlah menjadi 15 dengan tambahan Bandar Lampung, Batam, Bogor, dan Pekanbaru.
Perlu dicatat bahwa sembilan dari kota-kota tersebut berlokasi di Jawa dan enam di antaranya berada di Aglomerasi (Pengelompokan) Jabodetabekpunjur, kawasan perkotaan terbesar di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Aglomerasi Jabodetabekpunjur masih merupakan primate city (kota unggul) Indonesia, yang mencerminkan ketimpangan (disparitas) kota dan wilayah, serupa seperti Bangkok Metropolitan Area di Thailand.
Baca juga: Urbanisasi dan Transformasi Kota
Menelisik perkembangan penduduk kota-kota menengah dan kecil, yang dalam hal ini disederhanakan menjadi kota otonom dengan jumlah penduduk antara 100.000 dan 1 juta jiwa, terlihat bahwa perkembangan jumlah penduduk kota-kota menengah dan kecil di luar Jawa secara umum menunjukkan laju yang relatif lebih tinggi ketimbang kota-kota menengah dan kecil di Jawa.
Sebagian tumbuh dengan laju yang lebih rendah dibandingkan dengan pertambahan rata-rata penduduk secara nasional, yaitu 1,5 persen per tahun.
Beberapa kota menengah dan kecil di luar Jawa dengan perkembangan jumlah penduduk per tahun yang tinggi (di atas 2,5 persen per tahun) meliputi Langsa, Tebing Tinggi, Binjai, Prabumulih, Pangkal Pinang, Kupang, Singkawang, Palangkaraya, Banjarbaru, Balikpapan, Bontang, Tarakan, Palopo, Sorong, dan Jayapura.
Hal ini merupakan suatu indikasi bahwa kota-kota tersebut berperan sebagai pusat kegiatan sosial-ekonomi dan pendayagunaan sumber daya alam di wilayahnya. Sementara itu, peran kota-kota menengah dan kecil di Jawa kurang membawakan peran tersebut karena diambil alih oleh kota-kota besar.
Lebih tersebar dan semakin cepat
Data hasil sensus penduduk 2020 sangat kaya untuk mengungkapkan fenomena sosial-ekonomi di masyarakat secara makro, termasuk urbanisasi.
Perlu diakui bahwa memang data demografi hasil sensus itu tak sepenuhnya dapat menjelaskan fenomena urbanisasi, tetapi setidaknya dapat memberikan informasi mengenai kondisi urbanisasi di Indonesia secara makro dan agregat.
Walau masih Jawa-sentris, urbanisasi di Indonesia sudah lebih tersebar dan berlangsung makin cepat di banyak provinsi di luar Jawa, khususnya setelah tahun 2000 di era desentralisasi dan otonomi daerah,
Sementara itu, urbanisasi dan perkembangan fisik kota-kota di Jawa semakin menunjukkan ciri mega-region. Beberapa aglomerasi utama perkotaan, seperti Jabodetabekpunjur, Cekungan Bandung, Gerbang Kertasusila (Metro Surabaya), Kedungsepur (Semarang Raya), secara fisik semakin menyambung dengan cepat, membentuk sabuk wilayah perkotaan.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi sudah tidak terjadi pada kawasan pusat kota besar, tetapi bergeser ke wilayah pinggiran kota, yang sering disebut fenomena pasca-suburbanisasi (post-suburbanisation).
Baca juga: Pembangunan IKN dan Urbanisasi Berkualitas di Kota-kota Lain
Kota-kota menengah dan kecil di luar Jawa tetap menunjukkan fungsi dan perannya sebagai pusat kegiatan sosial-ekonomi dan pendayagunaan sumber daya alam.
Sementara bagi kota-kota menengah dan kecil di Jawa tampaknya peran tersebut sudah didominasi oleh kota-kota besar, terkait dengan aksesibilitas dan konektivitas yang semakin meningkat karena pembangunan infrastruktur.
Kondisi urbanisasi seperti yang telah dikemukakan di atas merupakan indikasi tantangan dan peluang yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan dalam lingkup nasional dan regional (wilayah).
Tommy Firman,Purnabakti Dosen ITB