Tanpa saya duga, dari pergaulan tersebut terkuak apa yang hendak saya cari tatkala melakukan tugas penelitian dulu.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Perhatian sejumlah orang terhadap survei, statistik, dan angka-angka belakangan ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi tatkala belajar penelitian ilmu-ilmu sosial di Banda Aceh. Waktu itu pertengahan tahun 1980-an. Ilmu-ilmu sosial dan humaniora masih berjaya, tidak seperti saat ini ketika yang laku ilmu apa saja, pokoknya bisa mendatangkan uang dengan segera.
Di bawah bimbingan dosen utama, ahli ilmu politik dari Ohio, Prof William Liddle, kami sekitar 10 orang selama setahun belajar teori dan melakukan praktik penelitian di Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) di Kampus Universitas Syiah Kuala di kawasan Darussalam yang saya cintai sampai sekarang.
Bergaul dengan banyak mahasiswa di Darussalam, saya putuskan memilih topik penelitian mengenai persepsi anak-anak muda di Aceh mengenai ”pusat”—dalam hal ini Indonesia. Setidaknya sampai pada waktu itu, Aceh selalu punya ketegangan hubungan dengan pusat.
Tertarik pada angka-angka—statistik saya anggap sexy—saya melakukan penelitian secara kuantitatif dengan membagikan kuesioner, selain wawancara. Hasilnya adalah angka-angka yang kemudian dianalisis, dibahas, didiskusikan bersama teman-teman di kelas, termasuk dengan Profesor Liddle.
Seperti biasanya, saya tidak merasa puas dengan apa yang saya hasilkan, entah berupa kajian akademik seperti di atas, cerpen, novel, dan lain-lain yang pernah saya tulis. Bergulat mencari kebenaran, truth, adalah never ending process. Sekali kita merasa menemukan, di situ kita tamat, begitu menurut keyakinan saya.
Berselang beberapa tahun kemudian, pada akhir tahun 1980-an saya kembali ke Banda Aceh. Bukan untuk penelitian, melainkan oleh Pak Jakob Oetama, pemimpin Kompas, diminta untuk membantu koran Serambi Indonesia. Dengan gembira saya melakukannya. Bertemu kembali dengan teman-teman di Aceh yang saya kenal sebelumnya.
Pekerjaan jurnalistik bagi saya adalah kongko dengan teman-teman sesama wartawan, ke sana kemari bersama-sama, mendiskusikan apa saja, bahkan soal lirikan dan senyum dianalisis dakik-dakik dengan pendekatan psikologi fenomenologis.
Malam seusai deadline, bersama teman-teman Serambi Indonesia yang semua masih menyala semangatnya—maklum menggarap koran baru—kami biasa nongkrong di Rex di Peunayong, pusat kota Banda Aceh. Terkadang ikut gabung seniman-seniman, aktivis, dokter, juru parkir yang piawai bikin puisi (semoga damai di sis-iNya, Bang Hasbi Burman) dan lain-lain, ngobrol sembari menikmati nasi goreng atau martabak hingga dini hari.
Tanpa saya duga, dari pergaulan tersebut terkuak apa yang hendak saya cari tatkala melakukan tugas penelitian dulu—yang bahkan telah saya lupakan.
Apa itu? Perasaan-perasaan mendalam yang rasanya sulit terungkap lewat kerangka asumsi penelitian, terlebih oleh angka-angka.
Saya ingat, sambil makan nasi dan kuah pliek u, seorang teman menuturkan diri dan keluarganya ketika di Aceh bergolak gerakan Darul Islam tahun 1950-an sampai awal 1960-an. Ia sudah remaja kala itu, dan bisa mengingat bagaimana penderitaan keluarga dan orang-orang kampung.
“Sangat sedih kalau mengenangnya. Kami berusaha melupakan dan menutupinya karena bakal menyulitkan kehidupan kami pada masa-masa selanjutnya,” katanya dengan mata agak berkaca-kaca.
Belum lagi trauma pada masa-masa berikutnya. Akhir tahun 1980-an sampai tahun 1998, di Aceh diberlakukan DOM (daerah operasi militer). Ada teman ataupun kenalan yang dianggap terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan diringkus dalam operasi militer tersebut.
”Bagaimana nasib mereka?” tanya saya pada seorang teman.
Waktu itu saya sudah tidak lagi tinggal di Aceh.
”Kalau datang di persidangan tidak ditandu, berarti lumayan baik,” jawab teman tadi menggambarkan penyiksaan yang mereka alami.
Dari situ saya menemukan pengertian baru mengenai penelitian. Angka-angka tidaklah seberapa dibandingkan kompleksitas manusia dengan sejarahnya (di negeri ini sejarah dikubur), kepahitan hidupnya, kesedihan, penderitaan, cinta, dan lain sebagainya.
Sekarang ilmu-ilmu sosial yang digunakan sebagai dasar-dasar kebijakan publik bangkrut. Entah apa kini dasar kebijakan publik. Banyak sekali kebijakan yang terkesan dibikin seenak perut.
Inikah yang namanya zaman big data dan algoritma yang dirayakan semua pihak, ketika kegagalan kemanusiaan disulap dengan keberhasilan angka-angka?
Yang jelas ini bukan lagi zaman narrative Rex berikut martabak dan nasi goreng: kenangan usang dari sikap kepenulisan yang saya jalani sampai hari ini.***