Bangsa-bangsa maju di dunia umumnya memperhatikan pembangunan manusia melalui proses edukasi publik dan kebudayaan.
Oleh
BRE REDANA
·3 menit baca
Ke Solo bulan lalu saya beruntung berkesempatan menyaksikan pertunjukan seni rakyat yang saya gemari, ketoprak, di RRI Surakarta yang punya jadwal pentas setiap Selasa malam minggu keempat.
Di mata saya ketoprak RRI Surakarta merupakan salah satu ketoprak terbaik saat ini. Ia memodernisasi diri dengan teknologi digital, lighting modern, tanpa meninggalkan unsur klasik pertunjukan ketoprak. Para pemain menguasai tembang, tari, dan akrobatik bela diri, selain tentu saja akting.
Pertunjukan berlangsung di auditorium dari gedung berkategori cagar budaya yang ada bau-bau art deco. Gratis pula.
Penonton umumnya para sepuh, lelaki ataupun perempuan. Terharu melihat pasangan sepuh saling tuntun masuk auditorium yang di beberapa bagian lantainya berundak.
Pembawa acara mengenakan pakaian tradisional Jawa. Ia memberi pengantar dalam bahasa Jawa halus. Lalu dimulailah pertunjukan dengan gema suara penuh kebanggaan untuk acara yang disiarkan secara langsung melalui radio: “Dari auditorium Sarsito Mangoenkusumo RRI Surakarta.”
Saya tergetar, ikut merasakan kebanggaan tersebut.
RRI merupakan bagian hidup generasi kami.
Bangsa-bangsa maju di dunia umumnya memperhatikan pembangunan manusia melalui proses edukasi publik dan kebudayaan. Untuk membangun bangsa besar (maksudnya tidak sekadar besar mulut) pada rakyat harus ditanamkan rasa bangga, memiliki harga diri, tangan di atas tidak diajari mengemis meminta-minta tangan di bawah.
Ke mana pun pergi yang saya cari adalah ekspresi-ekspresi kultural dari masyarakat setempat terutama melalui karya-karya seni. Di Tiongkok dikenal luas karya sutradara film kenamaan Zhang Yimou yang membikin pertunjukan panggung di beberapa kota di berbagai provinsi dengan tajuk “Impression”, diikuti nama daerah di mana pertunjukan tersebut digelar.
Misalnya Impression Sanjie Liu di kota Yangzhou, Provinsi Jiangsu. Di kota itu Zhang Yimou dan timnya memanfaatkan Sungai Li yang merupakan urat nadi kehidupan setempat sebagai tempat pertunjukan spektakulernya. Di atas sungai diapit gunung-gunung pertunjukan berlangsung, menceritakan hikayat Sanjie Liu yang oleh masyarakat setempat dipercaya lahir dari alam.
Yang hendak ditunjukkan dari pertunjukan ini adalah situasi kehidupan masyarakatnya, kebiasaan-kebiasaan dan tradisinya, dan lain-lain yang berhubungan dengan relasi mereka dengan alam, terutama sungai dan gunung.
Kawasan sungai dan gunung malam itu seketika berubah menjadi seperti sinema. Melibatkan 600 pemain yang semuanya adalah penduduk petani dan nelayan setempat, mereka menari, menyanyi, disertai permainan cahaya dan efek digital yang tidak terbayangkan ongkos produksinya. Hanya negeri yang banyak duit dan paham akan signifikansi kebudayaan sanggup menggelar panggung seperti ini setiap malam.
Lain lagi Impression Lijiang, berlangsung di kota Lijiang, Provinsi Yunnan. Mengambil lokasi di ketinggian Gunung Salju Naga Giok, didukung penduduk yang di situ merupakan etnis Naxi, Yi, dan Bai, pertunjukan menggambarkan bagaimana etnis-etnis ini berhubungan dengan gunung.
“Kami aktor, kami petani, kami para bintang,” demikian seruan ratusan pemain membuka pertunjukan yang berlangsung siang hari, tanpa tata cahaya. Prop panggung semata-mata alam dan gunung. Begitu pun komposisi warna, semua adalah warna alam seperti biru indigo. Jadi teringat sahabat-sahabat saya dari Komunitas Lima Gunung di Jawa Tengah—para petani seniman yang memiliki gengsi dan harga diri.
Orang yang dekat dengan alam, seperti para petani, mengenal ritus tubuh, bahwa tubuh adalah bagian dari kosmis, bentuk kecil dari jagat besar. Mereka yang sadar mengenai pekerti tersebut akan memelihara martabat tubuh (dan tentu saja termasuk pikiran dan roh) dengan menjaga ucapan, tindak tanduk, serta pikiran.
Menjaga harmonisasi diri, salah satu yang saya kenang dari karya Zhang Yimou yang lain lagi, yakni Hero, film kungfu tahun 2002. Ketika padepokannya dihujani anak panah, si pendekar (diperankan aktor Tony Leung) mengontemplasikan diri dengan menulis kaligrafi. Ribuan anak panah menghajar segenap penjuru kecuali tubuh dia.
Pedang dan pena sejatinya sama saja, sama-sama untuk mengawal kesadaran.
Ketoprak yang saya tonton malam itu bercerita tentang adipati yang sewenang-wenang. Dia pun dikalahkan oleh ksatria yang suka bertapa, senantiasa menjaga kesadaran diri.
Tidak ada wilayah abu-abu dalam teater rakyat: salah ya salah. Lengserkan.
Dari auditorium Sarsito Mangoenkusumo: wong edan harus dikalahkan wong eling.