Pimpinan partai, termasuk Golkar, seharusnya mengingat kembali bahwa fungsi partai adalah membentuk kader.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO
·2 menit baca
Kegaduhan cenderung menjadi ciri perpolitikan nasional. Kali ini situasi politik di Indonesia gaduh sebab usulan Joko Widodo menjadi Ketua Umum Golkar.
Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar, jika sesuai jadwal, akan digelar Desember nanti. Namun, seperti diberitakan harian ini, bursa pencalonan ketua umum sudah menghangat. Sejumlah nama yang disebut-sebut akan bertarung memperebutkan kursi Golkar 1, yaitu Menteri Koordinator Perekonomian, yang adalah Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto; Ketua MPR Bambang Soesatyo; Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita; Menteri Investasi Bahlil Lahadalia; dan Presiden Jokowi (Kompas, 12/4/2024).
Presiden Jokowi adalah kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Dia menjadi Wali Kota Surakarta (Jawa Tengah), Gubernur DKI Jakarta, dan presiden melalui pencalonan dari PDI-P. Anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wali Kota Surakarta, dan menantunya, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan (Sumatera Utara) juga melalui pencalonan dari PDI-P.
Jokowi memang tak pernah bersentuhan dalam kaderisasi dan kepengurusan partai, termasuk di PDI-P. Ia juga tak pernah tercatat sebagai pengurus partai lain. Kemunculan namanya sebagai calon Ketua Umum Golkar, yang tahun ini berusia 60 tahun, menimbulkan beragam pertanyaan dan kegaduhan, tak terbatas pada keanggotaannya di PDI-P atau di Golkar. Tak sedikit pula tokoh Golkar, termasuk mantan Ketua Umum M Jusuf Kalla yang mempertanyakan, dan mengingatkan tak ada seseorang yang bisa memimpin partai itu tanpa pernah menjadi kader atau pengurus Golkar.
Sejumlah kalangan, termasuk kader Golkar, menilai Jokowi memiliki kedekatan dengan Golkar. Kedekatan itu berkontribusi pada kenaikan suara partai berlambang beringin itu pada Pemilu 2024. Mengacu hasil hitung cepat Litbang Kompas, Golkar menduduki posisi kedua setelah PDI-P dengan raihan 14,64 persen suara. PDI-P meraup 16,31 persen suara. Jika dihitung perolehan kursi di parlemen, bisa jadi Golkar mengungguli partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri itu.
Hanta Yudha AR dalam artikelnya di harian ini, 27 Mei 2011, mengingatkan fungsi partai untuk melakukan kaderisasi. Namun, parpol di negeri ini gagal mengantisipasi penyakit kronis dan penyimpangan, yakni pragmatisme, kartelisme dalam suksesi kepengurusan, oligarkisme, dan faksionalisme. Pragmatisme dalam parpol menguat sebagai imbas kegagalan menjalankan kaderisasi dan ideologisasi.
Pragmatisme kaderisasi partai dan kepemimpinan nasional sebenarnya sudah terjadi di negeri ini. Gejala lompat pagar politisi sudah lama terjadi, terutama sejak Orde Baru tumbang dan gerakan Reformasi bergulir di negeri ini tahun 1998. Sejumlah kader Golkar, yang diidentikkan dengan Orde Baru, berpindah ke partai lain, termasuk PDI-P atau membentuk partai baru. Partai juga mengambil tokoh yang bukan kadernya untuk menjadi calon kepala daerah.
Pimpinan partai, termasuk Golkar, seharusnya mengingat kembali bahwa fungsi partai adalah membentuk kader. Tidak hanya mencari kemenangan dengan jalan pintas.