Mitigasi Perubahan Iklim dan Tata Kelola Pasar Tenaga Listrik
Pasar tenaga listrik yang birokratis dan monopolistik menghambat dan mencegah tansisi menuju energi rendah karbon.
Oleh
CENUK WIDIYASTRISNA SAYEKTI
·4 menit baca
Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-28 (COP 28) di Dubai pada 2023 menghadirkan diskusi menarik tentang perubahan iklim yang semakin intensif. Topik penting yang menjadi diskusi dalam konferensi tersebut adalah reformasi tata kelola sektor ketenagalistrikan untuk mengakomodasi energi terbarukan. Hal ini disebabkan di beberapa negara, faktor keberhasilan menuju transisi energi dipengaruhi oleh bentuk pasar di sektor tenaga listrik.
Pada konferensi tersebut, negara-negara juga ditekan untuk meninjau kembali dan memperkuat target tahun 2030 dalam rencana iklim nasionalnya, mempercepat upaya menuju penghapusan pembangkit listrik tenaga batubara, dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien.
COP 28 juga menekankan tentang pentingnya bauran energi bersih, termasuk energi rendah emisi dan terbarukan, sebagai bagian dari diversifikasi sumber dan sistem energi.
Sebagai salah satu negara penyumbang karbon terbesar di dunia, Indonesia berkontribusi dalam kenaikan suhu global. Salah satu sektor penyumbang emisi terbesar di Indonesia adalah sektor energi listrik.
Pada 2022, emisi dari kategori pembangkit listrik justru meningkat pesat. Alasan utama tingginya emisi di sektor ketenagalistrikan adalah masih dominannya penggunaan bahan bakar fosil, terutama batubara. Ini dibuktikan dengan sebanyak 812 perusahaan tambang batubara mengajukan kenaikan produksi batubara dan disetujui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) oleh pemerintah pada 2022.
Penggunaan batubara pada sektor ketenagalistrikan pun meningkat signifikan untuk realisasi pada 2015-2021, yaitu sebesar 60 persen. Tingginya penggunaan batubara ini tentu saja memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan mempercepat laju perubahan iklim global.
Paris Agreement 2015 yang telah diratifikasi menjadi undang-undang seharusnya menjadi tolok ukur bagi Indonesia untuk mencapai net zero dan menjadi dasar komitmen Indonesia untuk konsisten dalam memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi penggunaan batubara.
Akan tetapi, konsistensi pemerintah diragukan keseriusannya dalam memitigasi perubahan iklim ekstrem. PLN, sebagai satu-satunya entitas yang berwenang mendistribusikan listrik, merupakan pengguna batubara terbesar di sektor tersebut.
Tidak saja pada jalur distribusi, tetapi juga dari pembangkit, transmisi, dan penjualannya menjadi hak penuh PLN. Penguasaan pada jaringan ini oleh PLN bukan tanpa risiko bagi mitigasi perubahan iklim. Jika hanya terdapat satu pelaku usaha mengendalikan jaringan listrik dan penetapan harga, lalu di saat bersamaan memiliki infrastruktur atau aset bahan bakar fosil yang terus digunakan, maka yang terjadi adalah locked-in emissions.
PLN, sebagai satu-satunya entitas yang berwenang mendistribusikan listrik, merupakan pengguna batubara terbesar di sektor tersebut.
Kondisi locked-in ini yang akan menghambat dan mencegah transisi menuju energi rendah karbon. Akibatnya, upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk transisi energi bersih hanya hiasan di atas kertas karena pasar tenaga listrik yang birokratis dan monopolistik.
Dengan struktur pasar yang demikian, mustahil bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi terbarukan ke dalam bauran energi karena absennya keterlibatan sektor swasta. Oleh karena itu, reformasi pada tata kelola industri listrik saat ini perlu dipertimbangkan.
Tantangan
Ada sejumlah tantangan dalam reformasi tata kelola industri listrik. Pertama, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hukum persaingan usaha secara alamiah bertentangan dengan monopoli karena mengurangi campur tangan pemerintah dan menghilangkan hambatan masuk bagi sektor swasta. Akan tetapi, di dalam hukum persaingan usaha terdapat kondisi khusus yang dikecualikan bagi PLN yang dapat menghambat reformasi tata kelola pasar tenaga listrik.
Ketentuan dalam Pasal 50 huruf a UU No 5/1999 memberikan pengecualian atas penguasaan pangsa pasar oleh PLN karena amanah konstitusi. Dengan begitu, PLN dapat memanfaatkan posisinya sebagai satu-satunya pembeli (monopsoni) daya listrik dari pemasok dan sebagai satu-satunya penjual (monopoli) daya listrik kepada konsumen. Kedua hal itu dapat dilakukan oleh PLN bukan sebagai pelanggaran UU No 5/1999.
Pengecualian tersebut dikuatkan oleh Pasal 51 UU No 5/1999 yang mengakui hak monopoli kepada badan usaha milik negara dan/atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan monopoli atas barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara.
Dengan didasarkan pada kedua pasal tersebut, monopoli yang dimiliki PLN dipandang sangat beralasan. Hal ini mengingat PLN telah memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan akses pada tenaga listrik.
Kedua, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. UU ini mengatur bahwa PLN tidak lagi memonopoli penuh atas usaha penyediaan listrik di Indonesia. Akan tetapi, UU ini ditolak karena dianggap meliberalisasi pasar dan menghilangkan peran negara untuk menguasai komoditas penting bagi hajat hidup orang banyak. MK membatalkan UU tersebut pada 2004 dan mengembalikan UU No 15/1985 tentang Ketenagalistrikan.
Pada 2015, MK melalui putusan No 111/PUU-XIII/2015 memutuskan Pasal 10 dan 11 UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan inkonstitusional secara bersyarat. Kedua pasal tersebut dianggap menjadi bagian dari privatisasi sektor ketenagalistrikan karena memisahkan usaha penyediaan tenaga listrik yang terdiri dari pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan. Putusan MK tersebut memperkuat posisi PLN dalam memonopoli pasar tenaga listrik.
Ketiga, strategi. Untuk mencapai reformasi tata kelola industri tenaga listrik tentu saja bukan perkara mudah. Tidak cukup reformasi dalam hal regulasi, tetapi juga sangat penting untuk menafsirkan kembali konsep kepemilikan, sifat monopoli alami, dan konsep-konsep mendasar dalam industri jaringan tenaga listrik. Dengan demikian, reformasi perlu diiringi dengan persaingan sehat karena tanpa hal itu hanya akan menyerahkan kekuatan monopoli oleh negara kepada swasta.
Cenuk Sayekti, Dosen Sekolah Pascasarjana, Pusat Studi Lingkungan dan Energi Terbarukan Universitas Airlangga