Kasus bunuh diri yang melibatkan satu keluarga di Jakarta kembali mengentakkan kita. Apa yang terjadi tidak hanya di keluarga itu, tetapi juga di masyarakat.
Apa pun motifnya, kasus tewasnya ayah, ibu, dan dua anak karena melompat dari lantai 21 gedung apartemen tersebut menggugah kesadaran kita bahwa masyarakat sedang tidak baik-baik saja. Di tengah kondisi angka bunuh diri yang terus naik (data Pusat Kriminal Nasional Polri), kasus bunuh diri yang melibatkan satu keluarga berulang terjadi.
Sebelumnya terjadi kasus bunuh diri yang melibatkan ayah, ibu, dan anak di Malang, Jawa Timur. Juga kematian empat anak di Jagakarsa, Jakarta, diduga karena dibunuh ayahnya, yang kemudian berusaha bunuh diri. Selain itu, kematian ibu dan anak di Depok, Jawa Barat, yang diduga bunuh diri.
Baca juga: Deretan Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, dari Depresi hingga Tekanan Ekonomi
Dari empat kasus itu, terlepas apakah mereka pernah minta bantuan kepada orang lain atau tidak, untuk menyelesaikan permasalahannya, keluarga-keluarga itu berusaha menyelesaikan permasalahannya sendiri, tragisnya, dengan cara bunuh diri.
Pada dasarnya, bunuh diri bisa dicegah dengan memberikan bantuan atau dukungan sosial ataupun mental kepada mereka yang mempunyai keinginan bunuh diri. Namun, hal ini akan sulit dilakukan apabila relasi sosial di antara anggota masyarakat dalam komunitas tersebut tidak erat. Tuntutan hidup yang tinggi membuat mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Mereka juga datang dari latar belakang berbeda-beda.
Kasus bunuh diri sekeluarga yang berulang ini juga menjadi momentum bagi kita untuk lebih peka melihat permasalahan di sekitar kita. Lebih dari itu, ini menjadi momentum untuk membangun dan memperkuat interaksi sosial yang positif di masyarakat, bisa melalui komunitas agama, sosial, lingkungan keluarga ataupun perumahan.
Interaksi sosial yang positif diharapkan akan menumbuhkan empati terhadap orang lain, apa pun kondisi dan permasalahan yang sedang dihadapi orang lain tersebut. Hubungan sosial yang sehat ini merupakan salah satu kunci untuk menjaga kesehatan mental. Membutuhkan kesadaran individu untuk terlibat dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca juga: Jangan Buru-buru Bunuh Diri, Kamu Tak Sendiri
Kesehatan mental juga perlu dijaga layaknya kesehatan fisik (Kompas.id, 13/10/2023), tetapi banyak kalangan yang belum menyadarinya. Padahal, siapa pun bisa mengalaminya, dan faktanya kasus gangguan kesehatan mental meningkat. Ini merupakan masalah kesehatan yang serius.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa depresi, gangguan kesehatan mental penyebab utama bunuh diri, berada di urutan keempat penyakit di dunia. Diprediksi, depresi akan menjadi masalah gangguan kesehatan yang utama. Idealnya, ini juga menjadi prioritas utama dalam layanan kesehatan.
Meski belum menjadi prioritas utama, pemerintah melalui Undang-Undang Kesehatan yang baru telah menempatkan kesehatan mental di layanan primer seperti puskesmas. Ini perlu diperkuat dengan literasi kesehatan mental.