"Swift-nomics"
Indonesia Incorporated masih tahap wacana, sementara Singapore Incorporated setiap saat dijalankan.
Seminggu sebelum konser Coldplay di Singapura, Menteri Pemuda dan Olahraga RI Dito Ariotedjo berkunjung ke Singapura.
Tujuannya bertemu Menteri Komunitas, Kebudayaan, dan Pemuda Singapura Edwin Tong guna membuka kemungkinan kerja sama menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia U-20. Dalam diskusi yang santai, Dito sempat menanyakan bagaimana grup musik asal Inggris, Coldplay, bisa konser enam kali di Singapura, sementara di Jakarta hanya satu kali. Tong menjelaskan, kementeriannya berbicara langsung dengan manajer Coldplay.
Yang pertama ditanya, untuk tur dunia kali ini, Coldplay akan main di mana saja dan di mana kota terakhir dari turnya. Ketika disampaikan bahwa Singapura menjadi kota terakhir dari tur awal 2024, maka ditawarkan kemungkinan Coldplay untuk tidak tampil sekali.
Tawaran lebih dari satu kali konser tentunya diikuti dengan berbagai benefit. Pemerintah Singapura memang memiliki anggaran untuk menghidupkan pariwisata dan ekonomi pascapandemi Covid-19. Setelah kesepakatan konser dicapai, pelaksanaannya diberikan kepada pihak penyelenggara (event organizer/EO) yang profesional dan biasa menangani konser besar seperti itu.
Pemerintah Singapura tak terlibat lagi dalam urusan teknis penyelenggaraan karena tak punya keahlian untuk itu. Menurut Tong, Pemerintah Singapura tidak menuntut anggaran yang dikeluarkan untuk mendatangkan Coldplay dikembalikan karena itu merupakan anggaran yang sudah disediakan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.
Para EO harus berpikir berulang kali untuk menyiapkan sebuah konser karena semua harus diurus sendiri.
Hasil yang didapatkan dari konser selama enam hari itu sepenuhnya menjadi hak semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam pelaksanaan konser. Pihak perusahaan penerbangan, hotel, restoran, merchandise, taksi, mendapatkan keuntungan dari konser yang selalu dipenuhi penonton itu.
Visi panjang
Kini muncul kembali pertanyaan berkaitan dengan konser enam hari penyanyi pop AS, Taylor Swift, di Singapura. Wartawan The Sydney Morning Herald mengangkat isu itu dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong saat jumpa pers bersama PM Australia Anthony Albanese di Melbourne.
PM Lee menjelaskan persis sama seperti apa yang sebelumnya diutarakan Tong bahwa pemerintahannya melakukan kesepakatan bisnis dengan manajemen Swift. Singapura mengharapkan bisa mendapatkan konser eksklusif di Asia Tenggara dan bersedia membayar kompensasi untuk itu.
Penentuan mau atau tidaknya Swift memberikan ”konser eksklusif” selama enam kali di Singapura berada sepenuhnya pada pihak artis. Kalau kemudian Swift memutuskan itu, menurut PM Lee, bukan berarti Singapura berniat merugikan negara ASEAN yang lain dengan tak bisa menggelar konser dari artis yang paling banyak pengikutnya itu. Sebab, pendekatan seperti ini bisa juga diterapkan negara lain. Mereka bisa membangun komunikasi dengan manajemen Swift dan menawarkan kompensasi menarik agar sang artis mau menyetujui konser eksklusif di negara itu.
Seperti halnya konser Coldplay, Singapura memang menangguk untung dari penyelenggaraan konser berkelas dunia itu. Hampir semua pencinta Swift dari seluruh penjuru dunia datang ke Singapura untuk menyaksikan penampilan bintang idola mereka.
Semua orang mulai menghitung keuntungan yang didapatkan Singapura dengan menjadi tuan rumah konser eksklusif Taylor Swift. Ada yang menyatakan bahwa nilai ekonomi yang didapatkan Singapura ratusan kali lebih besar dari investasi yang ditanamkan.
Baik Coldplay, Taylor Swift, maupun artis-artis yang lain menjadi fenomena ekonomi yang luar biasa. Tidak keliru juga kalau dikatakan Swift-nomics karena penampilan seorang artis bisa memberikan manfaat ekonomi yang luar biasa kepada sebuah negara.
Singapura bisa melakukan ini karena mereka memiliki visi ekonomi yang panjang. Mereka menyadari kekuatan mereka ada di bidang jasa. Apalagi setelah tahun lalu sektor manufaktur tumbuh negatif lebih dari 4 persen dan nilai ekspornya turun lebih dari 20 persen.
Hanya sektor jasa yang tumbuh positif dan karena terjadi di semua bidang, mulai dari komunikasi, transportasi, perdagangan, perhotelan, hingga restoran; itulah yang membuat ekonomi Singapura masih bisa tumbuh positif tahun lalu.
Dalam pidato nota keuangan 2024, Wakil PM dan Menteri Keuangan Lawrence Wong menjelaskan, tantangan yang dihadapi Singapura ke depan tidaklah mudah. Ketegangan geopolitik dan ketidakpastian global membuat Singapura harus lebih lincah (agile). Wong mengajak semua warga bekerja keras dan membuat ekonomi Singapura bisa tumbuh 1-2 persen beberapa tahun ke depan.
Ada yang menyatakan bahwa nilai ekonomi yang didapatkan Singapura ratusan kali lebih besar dari investasi yang ditanamkan.
Pendekatan yang dilakukan Singapura untuk mengundang artis-artis besar dunia sebagai penggerak perekonomian dipersiapkan secara matang dari jauh hari. Setelah Swift, Singapura juga akan menghadirkan artis ternama Rod Stewart dan Bruno Mars.
Ekosistem mendukung
Singapura bisa melakukan itu karena mereka memiliki ekosistem yang mendukung. Pertama, pemerintah yang berorientasi pasar dan memahami pasar. Pemerintah tak berpikir ekonomi jangka pendek, tetapi berjangka panjang.
Pemerintah Singapura mau turun tangan untuk berbicara dengan manajemen artis. Pejabat yang ditunjuk punya kewenangan untuk menawarkan kompensasi dan tak harus dicurigai ada hanky-panky. Kompensasi untuk menghadirkan artis besar juga tak harus memikirkan keuntungan (return) secara langsung. Yang jauh lebih diperhatikan pemerintah adalah dampak ekonomi yang didapatkan untuk jangka panjang.
Dengan konser yang dikunjungi jutaan fans mancanegara, ekonomi Singapura akan bertumbuh. Kalaupun ada dampak langsung yang bisa dirasakan adalah pajak barang dan jasa (goods and services tax/GST) dari berbagai transaksi yang kemudian terjadi.
Kepuasan dari para fans menyaksikan konser menambah kredibilitas dan popularitas Singapura. Miliaran pembicaraan di media sosial merupakan promosi yang nilainya tak terkira, priceless.
Para penonton tak pernah kapok datang ke Singapura karena mereka tak perlu kebingungan untuk datang dan pulang dari tempat konser karena fasilitas transportasi yang bagus. Mereka tak harus kelaparan dan kehausan sebab di mana-mana bisa mudah didapatkan tempat makan dan minum. Fasilitas sanitasi seluruh kota keadaannya prima. Dan, keamanan sangat terjamin karena nyaris tidak ada pencuri dan pencopet.
Seorang impresario dihubungi pejabat tinggi untuk membuat apa yang dilakukan Singapura, dengan mendatangkan Taylor Swift ke Indonesia. Kita bukan tak mampu menjadikan Jakarta, misalnya, sebagai pusat kebudayaan dan pusat hiburan. Buktinya Peter F Gontha sukses menggelar festival jazz terbesar di Asia mulai dari namanya JakJazz hingga sekarang ini Java Jazz.
Satu yang perlu diperbaiki adalah ekosistemnya. Bagaimana orang mau disuruh datang ke Indonesia kalau ketika menonton Ed Sheeran di Jakarta International Stadium (JIS) perlu dua jam untuk berangkat dan dua jam untuk pulang.
Para EO harus berpikir berulang kali untuk menyiapkan sebuah konser karena semua harus diurus sendiri. Mereka harus meminta izin polisi dan memohon bantuan untuk pengaturan lalu lintasnya. Juga menghubungi tentara untuk menjamin keamanan. Mereka harus negosiasi dengan preman-preman untuk mengatur parkir kendaraan.
Belum lagi negosiasi dengan pihak hotel untuk akomodasi. Tak mungkin sebuah EO mampu bernegosiasi dengan manajemen artis dunia, apalagi menawarkan kompensasi bagi sesuatu yang eksklusif. Mereka tak punya kemampuan finansial untuk melakukan itu.
Baca juga: Puluhan Triliun Pesona Taylor Swift
Bahkan menjamin kerahasiaan tempat tinggal artis pun mereka tak bisa, sebab semua informasi mudah bocor di Indonesia. Perlu cara pandang berbeda jika ingin menyaingi Singapura. Indonesia Incorporated yang didengung-dengungkan masih tahap wacana, sementara Singapore Incorporated setiap saat dijalankan.
Suryopratomo, Duta Besar RI untuk Singapura