Jika program makan siang gratis menyasar sekolah, hendaknya mengarah pada pencerdasan dan pemajuan peradaban.
Oleh
HARYADI BASKORO
·4 menit baca
Program makan siang gratis perlu dikonsepsi dan dimaknai lebih mendalam sebab kronologinya muncul dari rahim kampanye Pilpres 2024 yang pragmatis dan hingga kini masih dianggap kontroversial di sana-sini. Ketika program ini langsung diakomodasi oleh pemerintahan aktual, dibicarakan di tingkat presiden dan kabinetnya, disusun anggarannya secara nasional, dan bahkan mulai disimulasikan penerapannya, perlu dimurnikan dari kepentingan-kepentingan politis.
Program semacam ini bukanlah hal yang baru. Jepang, misalnya, sudah merintis program makan siang gratis sejak 1889 dan kini 90 persen sekolah di ”negeri sakura” itu sudah menerapkannya. Semoga kunjungan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada simulasi program makan siang gratis di SMP N 2 Curug, Tangerang, Banten pada 29 Februari 2024 merupakan keseriusan nirpencitraan.
Gerak cepat merupakan ciri khas pembangunan era Presiden Joko Widodo. Namun, kebijakan intuitif tanpa konsep mendalam tidak hanya berpotensi resistensi, tetapi juga kemangkrakan dan kegagalan, bahkan rawan penyalahgunaan.
Menjadikan anak sekolah sebagai target itu tepat sasaran jika program makan siang gratis ini diintegrasikan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi. Menurut Kompas.com (22/2/2024), program makan siang gratis di Jepang terus-menerus diperbarui dan diperdalam konsepnya. Pembaruan pada 1954 di-upgrade pada 2005 dengan pendekatan teori Shokuiku dan aplikasi Kyoshoku.
Menurut Naomi Aiba dari Kanagawa Institute of Technology Jepang, tujuan Shokuiku adalah membangun pola makan dan gaya hidup sehat. Dalam aplikasinya, program makan siang gratis di Jepang ini diintegrasikan dengan pembelajaran ilmu gizi dan nutrisi, pendidikan moral, etika, kedisiplinan, dan kemandirian.
Penyakit pembangunan kita adalah tidak memikirkan secara holistik soal output, outcome, dan impact yang berkelanjutan. Kita hanya mengerjakan output, puas jika ada kegiatan yang kasatmata dan bisa diekspos. Para pejabat bangga jika bisa menggunting pita sambil orasi. Semua itu berangkat dari motivasi kekuasaan tanpa memikirkan akibat setiap kebijakan hari ini di kemudian hari.
Program makan siang gratis di Jepang tak hanya urusan perut anak-anak dikenyangkan. Keberhasilan program itu diukur dari outcome berupa peningkatan kompetensi belajar apa saja yang dimiliki oleh para siswa setelah mengikuti program itu.
Mereka juga memikirkan supaya program itu memiliki impact bagi peningkatan kualitas hidup dalam jangka panjang. Menurut Kementerian Kesehatan Jepang, penduduk Jepang yang berumur lebih dari 100 tahun pada 2022 ada 90.526 orang. Menurut World Population Review (2023), Jepang adalah bangsa yang punya rata-raya IQ tertinggi di dunia (skor 106,48), sedangkan Indonesia di urutan ke-129 (skor 78,49).
Bagaimana hubungan antara program makan siang gratis di sekolah dan program Merdeka Belajar? Seharusnya, sejak awal dipadukan.
Pencerdasan juga harus menjadi outcome dari program makan siang gratis di Indonesia. Karena itu, sejak awal program ini harus diintegrasikan dengan sistem pembelajaran dan kegiatan belajar-mengajar di sekolah.
Urusan makan setidaknya bisa langsung dikaitkan dengan pembelajaran ilmu biologi, ilmu kimia, dan ilmu kesehatan. Paling tidak bisa didesain sebagai bentuk ”selebrasi belajar” seperti dipromosikan dalam teori-teori pembelajaran populer berbasis ilmu psikologi terapan.
Upaya pencerdasan bangsa harus menjadi konvergensi pembangunan sumber daya manusia. Namun, kolaborasi multipihak yang terfokus itu sulit sebab penyakit kronis pembangunan kita adalah budaya kerja ego sektoral.
Kita bekerja sendiri-sendiri sehingga program-program yang dilaksanakan tidak hanya tumpang tindih, tetapi malah bertabrakan. Tidak ada program yang holistik-komprehensif berbasis sinergi dan kolaborasi multipihak.
Sebagai contoh, bagaimana hubungan antara program makan siang gratis di sekolah dan program Merdeka Belajar? Seharusnya, sejak awal dipadukan. Makan siang gratis jangan justru menjadi bentuk penindasan baru terhadap kemerdekaan belajar anak. Sebaliknya, misalnya, anak bisa belajar memasak, meneliti menu sehat, berinovasi menciptakan menu baru secara kreatif, hingga belajar menjadi foodpreneur.
Peradaban
Program makan siang gratis adalah soal output, outcome, impact yang harus mengarah pada peningkatan kualitas manusia yang berbudaya. Manusia dan hewan sama-sama butuh makan, kebudayaanlah yang membedakan keduanya.
Menurut antropolog AL Kroeber (1917), kebudayaan itu bersifat ”superorganik”, berevolusi terus-menerus melampaui evolusi organisme manusia. Antropolog Koentjaraningrat (1990) mendefinisikan peradaban (civilization) sebagai level kebudayaan yang berkualitas tinggi, halus, indah, mulia, agung, luhur.
Pendidikan sumber daya manusia seharusnya mengarahkan manusia supaya berperadaban tinggi. Manusia makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Program makan siang gratis adalah supaya anak sehat (output), cerdas dan berkepribadian (outcome), serta berperadaban (impact).
Program makan siang gratis seperti itulah yang akan menyelamatkan generasi muda dari pembusukan peradaban. Generasi hari ini tumbuh dalam kubangan budaya populer (pop culture) yang remeh-temeh, mengutamakan kenikmatan sesaat, mengesampingkan nilai luhur, mengabaikan filosofi, merelatifkan segala hal, serta mengacu pada hal-hal populer saja. Era post-truth mendehidrasi kerohanian mereka sedemikian parah hingga tak lagi percaya Tuhan dan malah menuhankan diri.
Makan, sebagaimana berbusana, kini tinggal urusan jasmaniah. Yang penting kenyang dan tubuh terbalut. Manusia dianggap hanya seonggok daging sehingga makanan atau pakaian mewah dan mahal dinilai bisa mendongkrak martabatnya. Pemerintah, politisi, dan masyarakat sama-sama pragmatis. Idealisme terbeli jika ada sogok, fulus, kompensasi, dan iming-iming urusan perut.
Padahal, berbusana dalam kearifan kita adalah representasi multikecerdasan. Batik tulis tradisional, misalnya, motif dan ornamennya penuh makna nilai luhur. Berbusana itu tindakan meditatif reflektif karena apa yang kita kenakan harus sepadan dengan kualitas karakter kita. Sekarang, batik motif parang rusak yang bermakna pemimpin bijak malah dikenakan para koruptor. Batik motif udan liris yang bermakna menjaga kesuburan malah dikenakan para pengusaha perusak hutan.
Begitu pula dengan hal makan. Program makan siang gratis semestinya didesain untuk mengajarkan berdoa dan bersyukur atas rezeki dari Tuhan (spiritual quotient), sopan santun, etika, etiket (emotional quotient), kesabaran dan disiplin (adversity quotient), kerja sama antarteman (interpersonal/social intelligence), memahami kebutuhan diri (intrapersonal intelligence), dan sebagainya. Generasi dengan multikecerdasan seperti itulah yang akan membangun peradaban Indonesia yang maju.
Haryadi Baskoro, Forum Ketahanan dan Pembangunan Nasional; Antropolog-Teolog