Politisasi bansos merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan penyalahgunaan sumber daya negara.
Oleh
HAKIMUL IKHWAN
·4 menit baca
Pemilu 2024 menyisakan persoalan etika dan risiko, salah satunya karena bantuan sosial sebagai alat politik elektoral, bukan bertujuan penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Praktik ini tidak hanya merusak prinsip dasar demokrasi yang menghargai kebebasan memilih, tetapi juga memperlebar ketidakadilan struktural dan berpotensi menjadi ”bara dalam sekam” bagi ketegangan dan konflik sosial.
Dalam penyaluran bantuan sosial (bansos), dua jenis kesalahan yang sering terjadi adalah kesalahan eksklusi (exclusion error) dan kesalahan inklusi (inclusion error). Kesalahan eksklusi terjadi ketika individu atau keluarga yang seharusnya menerima bansos tidak mendapatkannya. Sementara kesalahan inklusi terjadi ketika individu atau keluarga yang seharusnya tidak berhak menerima bantuan justru mendapatkannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ironisnya, kesalahan inklusi dan eksklusi dalam distribusi bantuan tersebut, yang selama ini disebabkan oleh kesalahan teknis—ketersediaan data, problem verifikasi, dan kesesuaian indikator—kini berubah menjadi praktik yang disengaja untuk memengaruhi pilihan politik masyarakat.
Ketidaktepatan penyaluran bansos karena kepentingan politik dan nepotisme, yaitu pemberian bansos dipertukarkan dengan kepentingan politik dan hubungan kekerabatan. Penyaluran bansos dilakukan di wilayah yang berpotensi meningkatkan capaian elektoral, dan mendayagunakan patronase dan hubungan kekerabatan. Penyaluran tersebut tidak mengindahkan akurasi data penerima, mekanisme verifikasi dan validasi, serta kesesuaian indikator penerima manfaat.
Praktik penyaluran bansos dengan motif politik, menggunakan relasi patronase dan kekerabatan, akan meningkatkan persepsi tentang ketidakadilan di tengah masyarakat. Individu atau kelompok yang merasa tereksklusi oleh sistem penyaluran bansos dapat mengalami frustrasi dan kemarahan, dan menjadi bara dalam sekam yang memantik ketegangan serta konflik antarkelompok atau antar-individu dalam masyarakat.
Bansos yang bermotif politik dan nepotisme dapat mengeskalasi rivalitas sosial, apalagi di tengah kontestasi politik dalam proses pemilu. Kelompok dan individu yang berbeda preferensi politik mengalami kekeliruan eksklusi, sementara kelompok lain mengalami kekeliruan inklusi akibat motif politik dan nepotisme di balik penyaluran bansos.
Di tengah komunitas dengan sumber daya terbatas, seperti angka kemiskinan tinggi atau mengalami kelangkaan sumber daya pangan, maka rivalitas mendapatkan bansos sangat tinggi. Perasaan ditinggalkan atau dikecualikan dapat memperkuat garis pemisah antara ”kami” versus ”mereka”, meningkatkan potensi konflik antarkomunitas. Pada akhirnya, praktik penyalahgunaan bansos berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan proses politik demokrasi.
Akibatnya, bansos tidak berfungsi mempersempit kesenjangan sosial dan memperkuat kohesi sosial. Sebaliknya, distribusi bansos secara sporadis yang tidak mengindahkan aspek ketepatan sasaran akan memperlebar jurang kesenjangan dan segregasi sosial.
Pemanfaatan bansos sebagai alat politik melanggar prinsip dasar demokrasi yang menuntut proses pemilihan yang adil dan bebas dari pengaruh tidak sah.
Kesalahan eksklusi membuat kelompok dan individu yang paling membutuhkan tidak menerima bantuan, sementara kesalahan inklusi membuat bantuan sosial—terutama uang dan beras—dinikmati oleh mereka yang kurang atau tidak selayaknya menerima. Kondisi ini tentu saja memperlebar jurang antara kelompok miskin dan lebih mampu secara ekonomi, serta memperburuk kondisi sosial dan ekonomi bagi kelompok rentan.
Berulangnya kesalahan dalam penyaluran bansos dapat mengkristalisasi ketidakadilan struktural dalam masyarakat. Ketika sistematis dan berkelanjutan, kesalahan tersebut akan mempertebal ketidakadilan dan diskriminasi, dan ke depan menjadi semakin sulit untuk diatasi.
Pemanfaatan bansos sebagai alat politik melanggar prinsip dasar demokrasi yang menuntut proses pemilihan yang adil dan bebas dari pengaruh tidak sah. Dalam demokrasi, kekuatan suara rakyat harus didasarkan pada kebebasan pilihan, bukan pada imbalan material atau tekanan.
Korupsi
Sejatinya, bansos dirancang untuk membantu warga yang paling membutuhkan. Menggunakannya sebagai alat politik merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan publik dan penyalahgunaan sumber daya negara yang harusnya dialokasikan berdasarkan kebutuhan, bukan afiliasi politik.
Penggunaan bansos untuk keuntungan politik dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tindakan ini mengalokasikan sumber daya negara secara tidak adil dan mencederai prinsip tata kelola yang baik, yang seharusnya transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan umum.
Dalam konteks pemilu, tindakan semacam ini merupakan bentuk manipulasi elektoral dan pengaruh tidak sah yang bertujuan untuk mengubah pilihan politik rakyat. Ini menciptakan ketidaksetaraan dalam persaingan elektoral dan merusak integritas proses pemilihan.
Dampak ke depan dari praktik-praktik pemberian bansos untuk tujuan politik dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan dan proses demokrasi. Ketika masyarakat merasa bahwa pilihan politik mereka dipengaruhi oleh distribusi bansos, kepercayaan pada keadilan dan obyektivitas sistem politik akan menurun.
Bahkan, penggunaan bansos sebagai alat politik dapat meningkatkan polarisasi sosial dan politik. Masyarakat yang merasa dikeluarkan atau termarjinalisasi dari manfaat sosial karena alasan politik dapat merasa teralienasi dan marah, memperdalam perpecahan sosial dan politik.
Tidak kalah penting adalah pemerintahan yang terpilih melalui praktik manipulatif dan tidak adil akan menghadapi tantangan legitimasi. Kekuasaan yang didapat melalui cara-cara yang merusak prinsip demokrasi akan sulit untuk diterima sebagai pemerintahan yang sah oleh sebagian masyarakat.
Karena itu, demi menjaga prinsip keadilan dan demokrasi, sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas proses pemilu, bukan hanya hasil penghitungan di bilik suara. Hal ini penting mengingat dampak yang akan ditimbulkan berpotensi memicu ketegangan dan konflik sosial, serta meningkatkan kesenjangan dan ketidakadilan.
Hakimul Ikhwan, Dosen di Departemen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM); Peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM