Pengetahuan tentang hak asasi manusia tidak cukup dipelajari secara penelusuran literatur.
Oleh
SARAS DEWI
·4 menit baca
Atmosfer semester baru di kampus selalu sarat dengan letupan semangat dan rasa ingin tahu para mahasiswa. Pembukaan kelas mata kuliah Filsafat dan Hak Asasi Manusia diwarnai dengan pertanyaan yang bersusul-susulan satu demi satu.
Pembahasan tentang hak asasi manusia melalui teropong filosofis, berarti penelusuran kritis tentang cikal bakal konsepsi tentang hak asasi manusia; apakah yang dimaksud dengan hak? Bagaimanakah ide tentang hak dapat muncul? Lalu, apakah landasan filosofisnya sehingga hak mendasar manusia diterima sebagai sesuatu yang bernilai universal?
Itu beberapa saja pertanyaan yang diperbincangkan di kelas, ciri khas dari kelas filsafat adalah lontaran argumentasi yang silih berganti disampaikan. Meski memahami persoalan hak asasi manusia memiliki kegentingannya, bukan berarti tidak ada ruang untuk mempertajam pemikiran melalui debat yang rasional.
Topik diskusi menjadi intens saat membahas sejauh manakah masyarakat di Indonesia memiliki kepekaan pada hak asasi manusia, atau sudah seriuskah Pemerintah Indonesia menegakan hukum baik untuk melindungi hak tersebut, dan menindak para pelanggar? Satu pertanyaan dari mahasiswa yang membuat saya tersentak adalah, ”apakah yang dimaksud dengan 25 tahun reformasi?”
Pertanyaan itu disampaikan dengan segenap penasaran, tanpa terdengar nada canda sedikitpun. Ini pertanyaan sungguhan sebab peserta kelas ini adalah generasi Z yang lahir di atas tahun 2000, mereka jarang sekali mendengar turbulensi sosial dan politik 1998, begitu juga kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi serta belum ada penyelesaian hukum hingga saat ini. Ketidaktahuan itu menggerogoti benak saya, membuat saya berpikir apakah peristiwa-peristiwa itu kelak akan semakin lenyap dan memudar dari ingatan orang-orang?
Pengetahuan tentang hak asasi manusia tidak cukup dipelajari secara penelusuran literatur, mengingat pelanggaran dan kekerasan adalah peristiwa hidup yang masih berlangsung dan perlu diperjuangkan keadilannya. Oleh karena itu, kelas Filsafat dan Hak Asasi Manusia tidak cukup diselenggarakan di ruang kelas—dalam suasana belajar-mengajar sebagaimana yang biasa dilakukan. Kelas juga diadakan pada saat Aksi Kamisan di seberang istana negara bersama dengan narasumber Maria Sumarsih. Ia adalah seorang ibu dari pejuang reformasi bernama Wawan yang terbunuh pada 13 November 1998. Maria Sumarsih menuntut keadilan dari negara, ia bersama orang-orang yang turut bersolidaritas sudah melakukan aksi setiap hari Kamis yang kini sudah sampai aksi ke-808.
Salah seorang mahasiswa saya terenyak mendengarkan langsung cerita Maria Sumarsih, ia menulis puisi di tempat dan membacakannya di hadapan para peserta aksi, ia meneteskan air mata kemudian merangkul Maria Sumarsih. Pelajaran tentang sejarah dan hak asasi manusia, lebih dari cetakan kata-kata di buku, atau sebatas teori-teori megah mengenai keadilan, hak dan kemanusiaan, atau nama-nama korban yang direduksi menjadi angka yang menandai terkatung-katung penyelesaian hukum dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Pendidikan hak asasi manusia adalah pertemuan antarwajah, tentang kerinduan seorang ibu terhadap anaknya, kegigihan seorang ibu bertahan dalam perjuangan demi anaknya dan kegetiran kita semua menyaksikan negara menelantarkan bahkan membiarkan ketidakadilan ini berlarut-larut.
Generasi Z merupakan penduduk asli digital, tetapi pembelajaran tentang masa lalu juga isu-isu seperti pelanggaran hak asasi manusia, tidak otomatis terserap dan lekat meski telah terangkai dalam muatan narasi di platform digital yang beredar. Kita juga mengetahui, pertikaian informasi hingga penciptaan realitas yang terbalik dari kebenaran amat deras di media sosial. Itu mengapa, pembelajaran ini harus dilakukan secara empatik, dialogis antarindividu, lintas kelompok, juga melintasi generasi.
Saya menduga, struktur pengetahuan yang ada—yang terputus-putus ini juga, karena abainya masyarakat tentang ingatan peristiwa di masa silam. Sebab, sudahkah kita mendarah daging soal ditinggikannya martabat hidup, atau apakah pembicaraan mengenai hak dasar manusia sudah menjadi bagian dari artikulasi sosial dan politik kita sehari-hari?
Percakapan mengenai hak asasi manusia bersama mahasiswa berlanjut membahas materi-materi yang pernah mereka pelajari di sekolah. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa Reformasi 1998 tidak terlampau diperbincangkan di sekolah, bahkan seperti ada penyensoran diri yang terjadi. Sebagian yang tahu mengenai kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia justru mengetahuinya dari karya-karya sastra seperti Laut Bercerita karya Leila S Chudori dan Entrok oleh Okky Madasari. Saat ini pun kami sedang mempelajari karya sastra dari Martin Aleida dan Putu Oka Sukanta. Mereka adalah para saksi dan penyintas yang mengingatkan kekejian semasa rezim Orde Baru. Putu Oka Sukanta pernah berbagi puisi yang baru dipublikasi, yang kemudian dibahas oleh para mahasiswa. Sajak itu berjudul ”Di Suatu Apel Bendera di Bui Salemba”. Ia menuliskan:
”Semadi di dalam sel/
Lantai telanjang dingin berdebu/
Satu mug air/
Satu ompreng nasi/
Jatah tiap hari/
Apapun tingkah polah Penguasa/
Batu asah penajam jiwa/...”
Kata aksi di dalam Aksi Kamisan mengingatkan saya tentang buah pemikiran Hannah Arendt yang berjudul The Human Condition (1958). Dalam karya seminal itu, ia berargumentasi bahwa perlu diutamakan aksi politik nyata—selain penguatan pengetahuan dan kajian, sebab, menurut dia, tindakan-tindakan riil dan langsung itulah yang mengindikasikan kehidupan publik yang dinamis dan terbuka dengan kebaruan.
Selain itu, Arendt juga berbicara tentang politik dan natalitas, natalitas dalam hal ini dapat dimengerti sebagai kelahiran. Ketika terbentur dengan kemandekan politik, natalitas dapat dimaknai sebagai kelahiran baru yang berarti generasi baru beserta harapan dan kemungkinan baru. Pada spirit natalitas ini, saya menggantungkan harapan bahwa ingatan tentang sejarah dan cita-cita hak asasi manusia ini dapat selalu digaungkan kembali.
Saras Dewi,Pengajar Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia