Nyepi untuk Menjaga Bumi
Belajar dari Nyepi, pemerintah bisa menetapkan Hari Bumi dengan nyepi di rumah untuk mencapai target emisi nol bersih.
Hari ini, umat Hindu di Indonesia, terutama di Bali, menyelenggarakan hari raya Nyepi. Artinya, umat Hindu Bali berdiam diri tanpa melakukan aktivitas di luar rumah selama satu hari atau 24 jam.
Itu adalah sebuah momentum yang sangat baik untuk refleksi diri. Diharapkan, setelah selesai Nyepi, manusia kembali sadar akan kodratnya sebagai bagian dari kosmos (ekosentrisme) sehingga keseimbangan diri dan alam semesta bisa tercapai.
Selama Nyepi, ada empat pantangan atau Catur Brata Penyepian yang harus dipatuhi, yaitu tiadakan api/lampu (Amati Geni), tiadakan keluar rumah (Amati Lelungan), tidak boleh bekerja (Amati Karya), dan tidak boleh bersenang-senang, seperti teriak-teriak di dalam rumah (Amati Lelanguan). Dengan begitu, orang-orang bisa khusyuk beribadah dan introspeksi diri di dalam rumah.
Berkat keempat pantangan itu, secara otomatis Pulau Bali sebagai pusat perayaan Nyepi bagai pulau mati tak berpenghuni. Dalam arti mati yang betul-betul mati. Tidak ada suara, tidak ada nyala lampu, tidak ada sinyal internet, dan jalan-jalan serta bandara menjadi lengang. Semua aktivitas manusia di berbagai sektor dimatisurikan.
Momentum Nyepi ini membawa keberkahan tersendiri untuk alam sekitar. Emisi gas rumah kaca (GRK) hasil produksi manusia yang menyebabkan perubahan iklim bisa diredam dengan signifikan. Dengan begitu, bumi bisa beristirahat sejenak, membentuk performa terbaiknya untuk nanti menghisap gas-gas rumah kaca kembali.
Baca juga: Memaknai Dampak Perubahan Iklim
Masuk ke pekarangan kita
Pada pertengahan 2023, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengumumkan bahwa era pemanasan global sudah berakhir dan era pendidihan global (global boiling) sudah dimulai. Pernyataan tersebut tentu bukan sekadar gertakan untuk menakut-nakuti, melainkan sebuah fakta sains yang perlu disikapi dengan bijak dan ditindaklanjuti.
Tahun 2023 menjadi tahun terpanas, dengan rekor rata-rata temperatur global 1,8 derajat celsius di atas tingkat pra-industri dan akan terus semakin panas. Meningkatnya pemanasan global ini terlihat paradoks, padahal setiap tahun diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Iklim (COP) dan negara-negara sudah berusaha menekan produksi emisi GRK mereka melalui National Determined Contribution (NDC) masing-masing. Artinya, usaha yang sudah dan sedang dilakukan belum berbanding lurus dengan laju perubahan iklim yang semakin cepat.
Hal itu pun selaras dengan keputusan akhir COP 28 yang dilaksanakan pada akhir tahun lalu di Dubai, yakni bahwa usaha negara-negara telah menyimpang dari jalur Paris Agreement sehingga target dan usaha dekarbonisasi perlu ditingkatkan secara radikal dan lebih ambisius lagi. Bahkan, dalam pergelaran tahunan PBB itu, ada forum tempat negara-negara bersepakat untuk meningkatkan target mereka hingga tiga kali lipat meskipun Indonesia tidak ikut serta dalam kesepakatan tersebut.
Dalam kasus Indonesia, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai Enhanced NDC Indonesia belum cukup memadai untuk membawa negeri ini pada jalur 1,5 derajat celsius sesuai Paris Agreement. Jika tidak ada tindak lanjut perbaikan yang radikal, target tersebut akan mengantarkan Indonesia pada temperatur di atas 2 derajat celsius. Jika bumi semakin panas, alam akan semakin rusak dan ekosistem menjadi tidak seimbang.
Dampak nyata perubahan iklim bahkan sudah kita rasakan saat ini. Beberapa waktu yang lalu terjadi angin puting beliung dengan kecepatan tinggi, 36 kilometer per jam, di daerah Sumedang-Bandung, Jawa Barat. Ilmuwan mengatakan kejadian itu dipicu meningkatnya suhu di kawasan tersebut.
Bahkan, dampak perubahan iklim sudah masuk ke pekarangan, ke wilayah-wilayah privat kita. Perubahan iklim menjadi salah satu pemicu langkanya stok beras akhir-akhir ini. Kalaupun ada, harga beras melonjak di pasar-pasar sehingga kebutuhan dapur sebagai wilayah privat terancam.
Fenomena El Nino tahun lalu membuat banyak petani gagal panen. Selain itu, pemerintah sempat menyinggung bahwa banjir yang merendam ribuan hektar sawah di berbagai daerah menjadi salah satu pemicu gagal panen.
Bahkan, dampak perubahan iklim sudah masuk ke pekarangan, ke wilayah-wilayah privat kita.
Jika wilayah dapur sudah terancam, isi seluruh rumah akan ikut terancam. Hal ini yang harus diperhatikan pemerintah. Membiarkan harga beras melonjak akan memicu harga pangan lainnya ikut naik, yang berujung pada ketidakstabilan ekonomi. Rentannya ekonomi akan mengakibatkan ketidakstabilan sosial yang akan mengancam kehidupan manusia.
Dampak-dampak perubahan iklim ini berakar dari tidak seimbangnya hubungan manusia dengan alam. Manusia memandang alam di sekitarnya sebagai obyek yang disediakan oleh Tuhan untuk dieksploitasi. Sudut pandang antroposentrisme ini membuat hubungan manusia dengan alam menjadi berjarak, seolah-olah manusia adalah subyek dan alam adalah obyek.
Oleh karena itu, manusia perlu melihat kembali jauh ke dalam dirinya dan merekonstruksi hubungannya dengan alam yang sudah terbangun sejak ribuan tahun yang lalu meskipun kemudian terputus sejak masa revolusi industri. Perayaan Nyepi tahun ini menjadi momentum yang tepat untuk konsolidasi membangun hubungan yang seimbang antara manusia dan alam, sekaligus menyusun strategi untuk mencapai target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) 2060 atau bahkan lebih cepat.
Hari Bumi dengan Nyepi
Sejauh ini, Indonesia sudah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan produksi emisi GRK dari berbagai sektor. Namun, untuk mencapai target NZE, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, dibutuhkan kerja sama semua kalangan, mulai dari peran swasta hingga tingkat individu.
Upaya sederhana dari tingkat individu sangat berarti, apalagi jika dilakukan dengan masif. Pemerintah perlu menggunakan seluruh instrumen untuk menekan emisi GRK di luar peta jalan dekarbonisasi berbagai sektor yang sudah dibuat. Misalnya, pemerintah bisa menggunakan Nyepi sebagai instrumen untuk menekan emisi.
Para pembuat kebijakan bisa belajar dari hari raya Nyepi, bagaimana hari suci umat Hindu tersebut bekerja menurunkan emisi GRK. KLHK mencatat pada 2015-2019, Nyepi di Bali mengurangi emisi sekitar 12.000-14.000 CO2e. Bahkan, konsentrasi polusi udara di atmosfer turun 47,07 persen dibandingkan dengan hari-hari biasanya. Selain itu, perayaan hari Nyepi juga memberi andil mengurangi gas metana yang sangat berbahaya bagi tubuh dan lingkungan.
Baca juga: Nyepi dan Energi Bersih Bali
Salah satu aksi adaptasi dan mitigasi iklim yang bisa dilakukan adalah membuat peraturan hari Nyepi nasional, tidak hanya di Bali, tetapi merata di seluruh Indonesia. Jika satu hari Nyepi di Bali saja mampu memberi dampak besar terhadap lingkungan, apalagi jika seluruh Indonesia melaksanakan Nyepi. Tentu akan memberikan dampak yang signifikan dalam menurunkan emisi, selain itu akan membentuk kebiasaan baik dan kesadaran untuk lebih menghargai alam.
Tentu saja Nyepi di sini bukan dalam konteks agama, melainkan lebih kepada konteks lingkungan dan pendidikan. Tergantung bagaimana pemerintah menarasikannya dengan baik dan menyusun teknis pelaksanaannya.
Dengan dibuatnya kebijakan hari libur nasional dalam rangka memperingati perubahan iklim, masyarakat Indonesia akan semakin tahu dan pada akhirnya sadar bahwa perubahan iklim itu nyata dan merupakan urgensi bersama. Teknis hari raya Nyepi ini dimodifikasi menjadi Hari Bumi. Jika Nyepi berbasis kebudayaan Hindu Bali, Hari Bumi berbasis kesadaran lingkungan secara universal.
Salah satu aksi adaptasi dan mitigasi iklim yang bisa dilakukan adalah membuat peraturan hari Nyepi nasional, tidak hanya di Bali, tetapi merata di seluruh Indonesia.
Kita pernah memiliki pengalaman berdiam diri di dalam rumah, tanpa ke mana-mana ketika lockdown karena Covid-19. Harusnya hal ini membuat masyarakat sudah tidak kaget dengan adanya Hari Bumi saat masyarakat berdiam diri di dalam rumah selama 24 jam. Di Indonesia atau pun global, Hari Bumi diperingati setiap 22 April. Hari Bumi di Indonesia bisa dirayakan secara khusus dengan libur nasional.
Pada akhirnya, dengan merayakan Hari Bumi dengan cara nyepi di dalam rumah, diharapkan manusia bisa kembali sadar akan kodratnya sebagai bagian dari alam, bagaimana seharusnya berperilaku adil terhadap lingkungan, bertanggung jawab, dan menjaga bumi: rumah kita satu-satunya.
Muhammad Zulkifli, Pegiat Lingkungan Social Project Bali