Luas panen padi terus berkurang karena berbagai hal. Hal ini bisa dimaknai sebagai fenomena menjauh dari padi.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Di Indonesia tidak ada satu komoditas pangan sesuperior padi. Selain partisipasi konsumsi warga dari Sabang sampai Serui nyaris sempurna, hampir 100 persen, padi diusahakan lebih dari 13 juta keluarga, terbesar kedua setelah peternakan. Mereka ini rata-rata petani kecil.
Kontinuitas produksi padi ke depan amat bergantung pada para petani gurem tersebut. Masalahnya, enam tahun terakhir (2018-2023) ada sejumlah hal yang mengkhawatirkan dalam produksi dan produktivitas padi. Ini perlu perhatian superserius.
Pertama, surplus produksi terus menurun. Surplus beras yang pada 2018 sebanyak 4,37 juta ton, pada 2019 menurun menjadi 2,38 juta ton. Demikian selanjutnya terus menurun menjadi 2,13 juta ton pada 2020, kemudian 1,31 juta ton pada 2021, sebanyak 1,34 juta ton pada 2022, dan tinggal 0,35 juta ton pada 2023.
Surplus beras menurun karena dua hal. Di satu sisi, produksi beras menurun, yaitu dari 33,94 juta ton pada 2018 tinggal 31,10 juta ton pada 2023. Di sisi lain, konsumsi naik, yaitu dari 29,56 juta ton pada 2018 menjadi 30,62 juta ton pada 2023.
Kedua, pada periode yang sama produktivitas padi secara nasional hanya tumbuh 0,30 persen per tahun. Ini terjadi karena tidak ada paket atau terobosan teknologi yang mampu menggenjot produksi. Jalinan produktivitas dan pendidikan yang rendah serta dominasi petani gurem membuat inovasi dan adopsi teknologi lambat/rendah.
Contohnya, sampai sekarang 30 persen petani masih menanam varietas padi Ciherang, hasil rakitan tahun 2000. Sementara varietas unggul baru belum diadopsi secara meluas (Suryana, 2022).
Ketiga, luas panen juga menurun secara konsisten pada periode yang sama. Luas panen padi menurun dari 11,378 juta hektar pada 2018 menjadi 10,214 juta hektar pada 2023. Enam tahun luas panen turun 1,164 juta hektar.
Dengan produktivitas 5,26 ton gabah per hektar, penurunan luas panen ini setara 6,122 juta ton gabah atau 3,919 juta ton beras, setara 1,5 bulan kebutuhan beras. Bisa jadi luas panen menurun karena konversi lahan.
Mengancam ketahanan pangan
Namun, penurunan luas panen juga tampak dari luas sawah yang ditanami non-padi yang bertambah luas dari 14.994 hektar pada 2019 menjadi 23.209 hektar pada 2023 atau naik dengan laju 12,71 persen per tahun.
Penurunan luas panen padi yang konsisten ini bisa dimaknai sebagai fenomena petani menjauh atau emoh pada padi. Jika semakin banyak petani menjauh dari padi, pertanyaannya: ada apa? Mengapa petani tak mau menanam padi?
Di kalangan petani Jawa dikenal tiga karakter (Gafar, 2021): ngalah, ngalih, dan ngamuk. Apabila ada kebijakan yang tidak sesuai keinginan petani, mereka akan ngalah (pasrah). Mereka tidak demo atau berunjuk rasa, misalnya menggelar parlemen jalanan di Istana atau DPR.
Apabila situasi ini terus berlanjut, petani bisa ngalih, yakni menanam komoditas lain yang dirasa lebih menguntungkan. Yang terakhir, ngamuk, bukan berarti petani marah-marah kepada pemerintah atau orang lain, melainkan petani akan menanam padi atau tanaman lain buat kebutuhan sendiri. Jika ini terjadi, akan mengancam ketahanan pangan.
Penurunan luas panen padi yang konsisten ini bisa dimaknai sebagai fenomena petani menjauh atau emoh pada padi.
Merujuk fenomena emoh (menanam) padi tersebut, sepertinya (sebagian) petani telah bersikap ngalih atau tidak lagi menanam padi. Mereka beralih menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Apakah menanam padi tidak lagi menguntungkan?
Merujuk Survei Ongkos Usaha Tani Padi 2017 Badan Pusat Statistik, dengan nilai produksi Rp 18,51 juta, ongkos produksi Rp 13,55 juta dan pendapatan Rp 4,95 juta, keuntungan usaha tani padi sawah 26,76 persen. Keuntungan ini lebih besar dari padi ladang (21,26 persen) dan kedelai (11,95 persen).
Ditilik dari rerata lahan yang diusahakan petani, mengacu Hasil Survei Pertanian Antar-sensus atau Supas (BPS 2018), untuk petani padi, dari 13,1 juta rumah tangga, sekitar 9,8 juta atau 75 persen menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar. Untuk Jawa keadaannya lebih memprihatinkan: dari 7,99 juta rumah tangga petani padi, sekitar 6,88 juta atau 86 persen menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar.
Artinya, dengan lahan 0,5 hektar, keuntungan petani maksimal Rp 2,4 juta per musim atau empat bulan atau hanya Rp 600.000 per bulan.
Akan tetapi, menurut hasil Supas 2018, rata-rata penguasaan lahan sawah keluarga petani sebenarnya hanya 0,18 hektar. Artinya, pendapatan rerata keluarga petani padi hanya Rp 891.000 per musim atau Rp 222.000 per bulan.
Nilai pendapatan ini amat rendah dan dipastikan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Bagi petani padi dengan luas lahan supergurem ini, pendapatan dari luar usaha tani jauh lebih penting.
Mereka boleh jadi tidak meninggalkan usaha tani padi. Akan tetapi, usah tani padi hanya bersifat sambilan. Bagi mereka, usaha tani padi tetap penting sebagai bagian dari mekanisme penyelamat pertama (safety first) buat keluarga.
Ketika terjadi gejolak ekonomi, resesi, krisis, atau situasi yang memburuk, mereka setidaknya sudah memiliki mekanisme penyelamat dalam bentuk ketersediaan beras di rumah dari panen sendiri. Hasil panen, yang tentu saja tidak seberapa jumlahnya, disimpan untuk konsumsi sendiri.
Hal ini tak bisa dilepaskan dari posisi ekonomi-politik beras sebagai penopang pangan warga. Nilai strategis beras tak tergantikan. Dalam struktur pengeluaran rumah tangga, terutama yang miskin, beras mendominasi: 22 persen dari total pengeluaran.
Ketika harga beras naik lantaran pemerintah salah kelola, bisa berbuntut panjang. Harga beras naik dan terjadi perebutan di pasar, panic buying bakal terjadi. Hanya warga berkantong tebal yang bisa memborong beras. Jika itu terjadi, petani gurem sudah punya penyelamat.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)