Apa Kabar Satgas PPKS
Semua PTN telah membentuk Satgas PPKS, juga sejumlah PTS. Sistem monitoring dan evaluasi perlu diperkuat.
Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Peringatan ini untuk merayakan berbagai hasil pencapaian perempuan di berbagai bidang, perjuangan perempuan dalam perdamaian dan kesetaraan.
Hari Perempuan Internasional ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 1975. Namun, sejatinya, peringatan Hari Perempuan Internasional telah diusulkan sejak konferensi pekerja perempuan tahun 1910 di Copenhagen.
Salah satu perjuangan perempuan yang masih terus dilakukan adalah mencapai keadilan dan kesetaraan. Ketidakadilan banyak dialami perempuan dalam berbagai bentuk, salah satunya masih banyak kekerasan yang dialami perempuan termasuk kekerasan seksual. Meskipun tentu saja ada kasus kekerasan yang korbannya laki-laki, jumlahnya relatif sedikit.
Baca juga: Ketidakadilan terhadap Perempuan Belum Berakhir
Kekerasan terjadi biasanya akibat adanya relasi yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki. Ini seperti terjadi pada kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah perguruan tingggi swasta di Jakarta yang ramai diperbincangkan dan viral di media sosial.
Berbagai kebijakan untuk menangani dan mencegah kekerasan dibuat. Misalnya, pemerintah telah mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all form of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, mengesahkan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, juga UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Keberpihakan kepada korban
Pengesahan UU TPKS merupakan cerminan keberpihakan terhadap hak para korban kekerasan seksual yang umumnya adalah perempuan. Selain berbagai upaya penanganan korban kekerasan seksual, UU ini juga mengatur tentang berbagai upaya pencegahan kekerasan mulai dari keluarga sampai masyarakat.
Sebelum UU TPKS disahkan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai komitmen untuk memberikan perlindungan terhadap sivitas akademika. Meskipun di awal ada berbagai perdebatan tentang isi pemendibudristek ini, ini membawa angin segar bagi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Salah satu amanat permendikbudristek ini adalah pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Berdasarkan data BPS pada 2022, terdapat 4.004 perguruan tinggi, terdiri dari 184 (4,6 persen) perguruan tinggi negeri (PTN) dan 3.820 (95,4 persen) perguruan tinggi swasta (PTS). Dari jumlah itu, sebanyak 3.107 (77,6 persen) merupakan perguruan tinggi di bawah Kemendikbudristek dan 897 (22,4 persen) merupakan perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama. Adapun total jumlah mahasiswa sekitar 9,2 juta orang dan dosen sebanyak 316.912 orang.
Amanat pembentukan satgas untuk perguruan tinggi negeri sifatnya wajib. Berdasarkan data hasil kajian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dengan Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Uhamka tahun 2023, sudah semua PTN yang sebanyak 184 membentuk satgas PPKS ini. Dan, dari data Kemendikbudristek yang diambil pada September 2023, kurang lebih ada 1.321 orang yang menjadi satuan tugas PPKS di PTN dan 1.273 orang di PTS.
Berbagai praktik baik juga sudah mulai banyak dilakukan perguruan tinggi, misalnya dengan sosialisasi dan edukasi untuk seluruh sivitas akademika.
Menilik hasil kualitatif dari 58 perguruan tinggi, dilihat dari tingkat pendidikan ketua satgas PPKS, sebanyak 68,08 persen (32 orang) merupakan lulusan strata 3, bahkan 7 di antaranya bergelar profesor; dan 31,92 persen merupakan lulusan strata 2 (KPPPA, 2023). Hal ini menunjukkan kepedulian untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi sangat tinggi. Selain itu, juga menunjukkan antusiasme dan kepedulian untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan di perguruan tinggi.
Dari penelusuran di situs web Satgas PPKS di 20 perguruan tinggi, berbagai bentuk pencegahan kekerasan seksual telah banyak dilakukan, di antaranya melalui road show ke seluruh fakultas, program self development bagi mahasiswa, pelatihan intensif penanganan kasus kekerasan seksual, pengenalan standard operating procedure (SOP), dan berbagai panduan PPKS bagi fakultas, pelatihan konseling, lokakarya, seminar, deklarasi, kampanye, dan lomba kreatif. Adapun langkah konkret penanganan kekerasan, antara lain, melalui pemberian bantuan psikologis, pendampingan hukum dan visum bagi korban, serta konseling bagi pelaku.
Berbagai praktik baik juga sudah mulai banyak dilakukan perguruan tinggi, misalnya sosialisasi dan edukasi untuk seluruh sivitas akademika melalui berbagai model seperti seminar, lokakarya, tur kampus, stadium general, pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru; sharing session dengan pers mahasiswa; pelatihan digitalisasi konseling; deklarasi tolak kekerasan seksual di kampus; serta pencegahan melalui pembelajaran seperti pengembangan modul, pengembangan metodologi dan diseminasi dan sosialisasi modul secara intensif.
Melihat perkembangan paling tidak dari dua tahun terakhir ini, dukungan sumber daya manusia Satgas PPKS sangat mumpuni. Hal ini mengingat perguruan tinggi sebagai center of excellent yang banyak terdiri dari para intelektual.
Namun, di sisi lain, berbagai dukungan sumber daya lain masih perlu terus di dorong, misalnya terkait dengan pendanaan dan sarana dan prasarana. Hal ini bisa dilihat dari peraturan rektor tentang PPKS di 15 universitas, hanya tiga universitas yang mencantumkan pendanaan di peraturan rektornya. Untuk menjamin pelaksanaan tugas-tugas Satgas PPKS perlu kepastian pencantuman pendanaan untuk aktivitasnya.
Menjadi bagian dari Satgas PPKS saat ini juga belum dapat dikonversi menjadi poin kredit dalam pelaksanaan dharma perguruan tinggi, khususnya pengabdian kepada masyarakat. Apabila ini bisa dikonversi, bisa menjadi salah satu reward para para anggota PPKS yang pada umumnya banyak didasarkan pada aspek sosialnya saja yang lebih diutamakan.
Baca juga: Mengungkap Kekerasan Seksual di Kampus
Beberapa catatan lain yang bisa menjadi rekomendasi dalam pelaksanaan tugas-tugas Satgas PPKS dan bagi perguruan tinggi, antara lain, pencegahan kekerasan seksual perlu terus dilakukan sebagai upaya preventif. Ini bisa dilakukan melalui inovasi pembelajaran, penguatan tata kelola, serta melalui penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Apabila terjadi kasus TPKS di kampus, penanganan kasus harus dipastikan keberpihakan terhadap korban dan saksi. Selain itu, pakta integritas implementasi PPKS juga perlu melibatkan seluruh sivitas akademika serta kode etik juga perlu diselaraskan dengan PPKS.
Upaya melakukan komunikasi dan bersinergi dengan berbagai pihak perlu terus dilakukan. Informasi dan edukasi PPKS perlu terus dilakukan oleh seluruh sivitas akademika termasuk melakukan pendidikan kesetaraan jender, hak-hak disabilitas, kesehatan reproduksi sebagaimana tertuang di Pasal 34 Ayat di Permendikbudristek 30/2021.
Selain itu, sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan permendikbudristek juga perlu diperkuat dengan instrumen yang mudah dipakai berbagai pihak. Integrasi data kasus kekerasan seksual juga perlu dilakukan sehingga diharapkan penanganan kasus akan lebih komprehensif mengingat berbagai kasus kekerasan seksual biasanya sangat komplikatif.
Indra Gunawan, Pegawai Kementerian PPPA