Uang Kuliah Tunggal: Sengkarut Pendanaan Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah investasi masa depan bangsa sehingga tidak bisa dianggap sebagai biaya semata.
Uang kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri atau PTN telah disinggung dalam debat calon presiden 2024 karena dianggap mahal.
Uang kuliah tunggal (UKT) adalah biaya yang dikenakan kepada mahasiswa yang digunakan PTN untuk kegiatan operasionalnya.
Sesuai Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), sumber pendanaan pendidikan tinggi dari pemerintah dan masyarakat. Yang bersumber dari masyarakat, antara lain, hibah, wakaf, dan sumbangan individu atau perusahaan. Namun, proporsinya secara umum relatif kecil dan tidak rutin.
Saat ini tarif UKT tiap PTN harus dikonsultasikan dan mendapat persetujuan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Pengusulan tarif UKT tiap program studi (prodi) harus berdasarkan pada biaya kuliah tunggal (BKT) tiap daerah yang mengacu matriks Standar Satuan Biaya Operasional PTN yang meliputi aspek proses pembelajaran, struktur biaya penyelenggaraan program, dan status akreditasi prodi.
Pendidikan tinggi adalah investasi masa depan bangsa sehingga tidak bisa dianggap sebagai biaya semata.
BKT adalah keseluruhan biaya operasional per tahun yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa pada prodi di PTN. Penghitungan BKT tidak termasuk komponen biaya-biaya yang asumsinya ditanggung oleh pemerintah, antara lain biaya dosen dan pegawai PNS serta belanja modal/investasi.
Sumber pendanaan PTN
Sumber pendanaan PTN dari mahasiswa dan pemerintah diatur dalam UU Dikti. Pada Pasal 88 Ayat (4), pemerintah mengatur UKT prodi sarjana dan diploma di PTN agar tetap terjangkau. Ini diwujudkan melalui pemaknaan UKT sebagai tarif uang kuliah yang tidak tunggal, tetapi berjenjang sesuai kondisi ekonomi mahasiswa.
Walau berjenjang, tarif UKT tidak boleh melebihi BKT. Dengan demikian, secara rerata penerimaan PTN dari mahasiswa akan kurang dari BKT. Hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah melalui subsidi untuk PTN.
Pada Pasal 89 Ayat (5), pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN dari anggaran fungsi pendidikan. Subsidi pemerintah ke PTN diberikan dalam bentuk Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) untuk PTN Satuan Kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU), serta Bantuan Pendanaan PTN Badan Hukum (BPPTN-BH).
Penghitungan alokasi subsidi untuk PTN sebesar jumlah mahasiswa program sarjana dan diploma yang membayar kurang dari BKT dikalikan selisih pembayaran UKT dan BKT untuk tiap mahasiswa. Implikasinya, PTN yang banyak memberi UKT ”murah” yang lebih rendah dari BKT seharusnya mendapat subsidi yang makin besar dari pemerintah.
Sayangnya, kemampuan Ditjen Dikti Kemendikbudristek untuk memberikan subsidi kepada PTN sangat terbatas, bahkan tidak mencukupi kalau mengikuti rumus sesuai UU Dikti tersebut. Pada 2023, Ditjen Dikti hanya mendapatkan alokasi anggaran 0,6 persen dari APBN (rupiah murni).
Karena keterbatasan alokasi anggaran Ditjen Dikti untuk subsidi, PTN berusaha menjaga keberlangsungan operasional dan mutu akademiknya, antara lain dengan sumber pendanaan dari mahasiswa. Pada PTN-BH, pendanaan dari mahasiswa dapat mencapai 30-40 persen dari anggaran. Proporsi tersebut makin besar di PTN Satker dan BLU yang bisa mencapai 60-90 persen dari anggaran.
Potensi solusi
Ketergantungan yang besar terhadap sumber pendanaan dari mahasiswa ini kemudian membuat PTN seolah ”berhadap-hadapan” dengan masyarakat. Bahkan, ada persepsi sebagian masyarakat, uang kuliah di PTN adalah mahal karena ada komersialisasi pendidikan.
Jika situasi ini terus terjadi, peran pendidikan tinggi dalam menyiapkan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi mimpi semata.
Persepsi tersebut muncul karena sebagian masyarakat tahunya sektor pendidikan telah mendapat alokasi 20 persen APBN. Hal tersebut menimbulkan ekspektasi biaya pendidikan yang gratis. Padahal, anggaran pendidikan itu tidak hanya untuk Kemendikbudristek, tetapi juga untuk semua fungsi pendidikan di semua kementerian/lembaga (K/L) pemerintah.
PTN juga sering dikritik dan disorot karena dinamika pembayaran UKT mahasiswa. Masalah yang sering muncul adalah ketidakakuratan penentuan jenjang UKT yang sesuai. Hal ini kadang menimbulkan keberatan dan protes dari mahasiswa. Tak semua masalah bersumber dari PTN. Ada juga masalah karena mahasiswa tak memberi data kondisi status ekonomi yang lengkap dan terkini.
Di sisi lain, PTN dihadapkan pada tuntutan peningkatan kesejahteraan dosen dan tenaga kependidikan, indikator kinerja yang makin meningkat, dan akses pendidikan tinggi yang terjangkau untuk semua.
Dosen PTN di lingkungan Kemendikbudristek tidak mendapat tunjangan kinerja dari pemerintah. Karena itu, pengelola PTN harus kreatif untuk mencari sumber pendanaan agar bisa memberikan tunjangan dan insentif yang layak.
Salah satu potensi solusi adalah memperbesar Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah dan beasiswa LPDP. Makin besar alokasi KIP Kuliah, akan makin banyak mahasiswa yang tidak mampu ekonominya bisa kuliah tanpa harus mencari alternatif ke pindar. Peran LPDP juga dapat makin diperluas ke mahasiswa program sarjana di kampus dalam negeri.
Baca juga: Biaya Kuliah yang Makin Tinggi
Kombinasi solusi LPDP dan KIP Kuliah ini dapat mengurangi potensi kegaduhan antara masyarakat dan PTN.
Pendidikan tinggi adalah investasi masa depan bangsa sehingga tidak bisa dianggap sebagai biaya semata. Agar UKT bisa lebih terjangkau atau bahkan gratis, dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah melalui subsidi yang lebih besar ke PTN. Tanpa komitmen pendanaan itu akan berimplikasi pada PTN beroperasi di bawah standar biaya operasional.
Hal ini dapat membawa risiko penurunan mutu pendidikan tinggi dan dapat memicu PTN untuk mencari pendanaan dari mahasiswa melalui UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) secara berlebihan. Jika situasi ini terus terjadi, peran pendidikan tinggi dalam menyiapkan Indonesia Emas 2045 hanya menjadi mimpi semata.
Didi Achjari,Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada