Pajak Karbon, Senjata Ampuh Melawan Pemanasan Global
Penerapan pajak karbon di Indonesia menghadapi tantangan nyata. Salah satunya jadwal implementasi ditetapkan untuk 2025.
Isu pemanasan global di bumi memang menjadi topik yang hangat pada forum-forum internasional beriringan dengan suhu bumi yang juga menghangat. Indonesia pun telah merasakan dampak dari pemanasan global ini. Salah satunya adalah Puncak Jaya di Papua Tengah, satu-satunya ”salju abadi” di Indonesia yang perlahan mulai meleleh dan menghilang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa pada rentang tahun 2016-2022, laju penipisan es terjadi sekitar 2,5 meter per tahun akibat fenomena El Nino. Akibatnya, luas tutupan es di Puncak Jaya pada 2022 sekitar 0,23 kilometer persegi.
Pemanasan global dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia adalah efek rumah kaca. Sebenarnya, efek rumah kaca itu sangat penting bagi kehidupan di bumi.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih
Selama ini, kita sering mendengar kata ”efek rumah kaca” dengan konotasi negatif. Padahal, efek rumah kaca ini merupakan kemampuan alami atmosfer bumi untuk mempertahankan suhu udara panas bumi dengan menggunakan gas rumah kaca berupa gas karbondioksida (CO2), metana, dan dinitrogen monoksida (N2O) untuk menangkap panas matahari, sehingga nyaman untuk dihuni.
Meski demikian, aktivitas manusia berupa pembakaran bahan bakar fosil membuat gas rumah kaca ini terus menumpuk di permukaan bumi dan menangkap semakin banyak energi panas matahari sehingga suhu bumi semakin panas. Data BMKG tahun 2020 menunjukkan, pada 1981-2018, Indonesia mengalami tren kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat Celsius per tahun.
Pemerintah Indonesia mulai melakukan strategi untuk menekan gas rumah kaca yang dihasilkan. Mulai dari uji emisi karbon pada kendaraan bermotor hingga pengenaan pajak karbon yang dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pemberlakuan ketentuan tersebut merupakan implementasi fungsi reguleren dari pajak untuk menekan pengunaan emisi karbon yang berlebihan, utamanya dihasilkan dari penggunaan energi seperti pembangkit listrik. Ini juga sekaligus menjadi wujud keseriusan pemerintah dalam mencapai net zero emission pada 2050 sesuai kesepakatan pada Paris Agreement.
Sesuai laporan Enhanced Nationally Determined Contribution (Enhanced NDC) Indonesia pada 2022, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca per sektor sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan 43,20 persen dengan kerja sama internasional. Namun, komitmen ini mempunyai konsekuensi pembiayaan yang tidak sedikit.
Pajak karbon merupakan salah satu instrumen nonperdagangan dari nilai ekonomi karbon (NEK) sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Second Biennial Update Report pada 2018 mengungkapkan bahwa estimasi biaya mitigasi akumulatif perubahan iklim untuk mencapai NDC sebesar Rp 3.461 triliun hingga 2030. KLHK juga merilis laporan Roadmap NDC Mitigasi Indonesia 2020 mengestimasi biaya serupa pada 2020-2030 dengan menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi sebesar Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun. Oleh karena itu, untuk mencapai target komitmen tersebut, diperlukan kebijakan untuk memastikan kebutuhan pendanaan dapat terpenuhi.
Pajak karbon merupakan salah satu instrumen nonperdagangan dari nilai ekonomi karbon (NEK) sebagai bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk mitigasi perubahan iklim. Sebagai informasi, NEK atau carbon pricing adalah pemberian harga (valuasi) atas emisi gas rumah kaca (GRK) atau karbon.
Diandalkan
Carbon pricing saat ini menjadi salah satu instrumen yang diandalkan dan dipromosikan dalam berbagai forum internasional. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) melalui laporannya bertajuk ”Effective Carbon Rates 2023” menunjukkan bahwa pada 2021, sebanyak 42 persen dari sekitar 40 miliar ton emisi GRK dihargai di 72 negara, termasuk Indonesia, dengan variasi cakupan, harga, dan instrumen penetapan harga yang signifikan di seluruh sektor.
Dalam laporannya, OECD menjelaskan bahwa emisi CO2 Indonesia dari penggunaan energi menyumbang 57 persen dari emisi GRK. Pada 2021, emisi CO2 dari penggunaan energi dihargai melalui cukai bahan bakar atau Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang dipungut oleh pemerintah daerah.
OECD juga menyebutkan bahwa penetapan harga atas emisi mayoritas berasal dari sektor transportasi jalan raya dan emisi GRK lainnya yang merupakan 43 persen dari emisi nasional, belum tercakup dalam penetapan instrumen harga karbon Indonesia saat ini. Pajak karbon dapat mengakomodasi harga karbon dari emisi gas rumah kaca yang tidak tercakup dalam PBBKB.
Baca juga: Era Baru Pajak Karbon
Pajak karbon akan dikenakan kepada wajib pajak badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebagai bagian dari NEK, pajak karbon akan dikenakan bersamaan dengan penerapan mekanisme perdagangan karbon.
Perdagangan karbon menggunakan sistem cap-and-trade dan cap-and-tax. Cap-and-tax adalah pengenaan pajak karbon atas kelebihan emisi karbon yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), sedangkan cap-and-trade adalah sistem perdagangan di mana entitas yang menghasilkan emisi melewati batas yang telah ditetapkan harus membeli izin emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi lebih sedikit atau membeli sertifikat penurunan emisi (SPE/offset carbon).
Kedua sistem ini akan diselaraskan agar dapat menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan. Pemerintah Indonesia mengenakan pajak karbon dengan tarif emisi sebesar Rp 30.000 per t-CO2e (ton karbon dioksida ekuivalen).
Pajak karbon telah diterapkan oleh sejumlah negara dan terdapat hasil positif dari kebijakan tersebut. Contohnya adalah Jepang dan Singapura. Jepang memberlakukan pajak karbon pada Oktober 2012 dan dikenakan pada bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, produk minyak, gas alam dan batubara, dengan tarif JPY 2,89 per t-CO2 atau sekitar Rp 25.625.
Pada 2020, Jepang berhasil mengurangi emisi karbonnya sebesar 0,5 persen dibandingkan dengan tingkat emisi pada 1990. Selain itu, Jepang juga menghasilkan pendapatan dari pajak karbon, yaitu sekitar 260 miliar yen Jepang (Rp 31,87 triliun) pada 2016.
Singapura baru memberlakukan pajak karbon pada 2019. Singapura menetapkan pajak sebesar 5 dollar Singapura per t-CO2 atau sekitar Rp 58.025 dan dikenakan atas fasilitas yang menghasilkan emisi karbon lebih dari 25.000 t-CO2. Singapura berencana menaikkan pajak karbonnya secara bertahap menjadi 80 dollar Singapura per ton karbon dioksida sebagai langkah serius Pemerintah Singapura dalam menekan penggunaan gas rumah kaca.
Pajak karbon telah diterapkan oleh sejumlah negara dan terdapat hasil positif dari kebijakan tersebut.
Secara keseluruhan, pajak karbon mewakili langkah penting Pemerintah Indonesia dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim sesuai dengan komitmen yang telah disepakati dalam Paris Agreement. Saat ini, penerapan pajak karbon di Indonesia, meskipun penting, menghadapi tantangan nyata. Salah satunya adalah jadwal implementasi yang ditetapkan untuk tahun 2025.
Meski memberikan insentif ekonomi untuk pengurangan emisi dan mendukung target penurunan emisi sesuai komitmen Paris Agreement, keterlambatan ini menimbulkan pertanyaan publik tentang kesiapan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, dengan perkembangan pasar karbon, kita dapat tetap berharap kemajuan signifikan dalam upaya nasional memerangi perubahan iklim.
Jody Pratama Pongtiku, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan
Instagram: overlordpapua