Keadilan Restoratif Sektor Keuangan
Salah satu wujud keadilan restoratif yang sudah dikenal sejak zaman dahulu adalah mediasi antara pelaku dan korban.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XXI/ 2023 yang mengabulkan judicial review atas Pasal 8 angka 2 dalam Pasal 49 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan mengubah ketentuan tentang penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Penyidikan yang semula ”hanya dapat” dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini ”dapat” dilakukan penyidik OJK.
Dengan kata lain, ketentuan penyidikan atas tindak pidana perbankan, perbankan syariah, pasar modal, dan perasuransian kini juga dapat dilakukan penyidik OJK, penyidik Polri, dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pada kementerian/lembaga tertentu.
Pertimbangan hukum (ratio decidendi) dari MK tersebut cukup beralasan mengingat kedudukan dan fungsi penyidik Polri sebagai penegak hukum telah diatur dalam Konstitusi Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 dengan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan oleh lembaga lain di luar Polri sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi.
Yang menarik, politik hukum dari UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang disusun secara omnibus telah merespons perkembangan tindak pidana ekonomi dengan memperkenalkan keadilan restoratif dan prinsip una via, yang tidak lagi mengedepankan sanksi pidana sebagai primadona, tetapi pada pemulihan keadaan pihak yang dirugikan dan juga alternatif sanksi (administratif).
Salah satu wujud keadilan restoratif yang sudah dikenal sejak zaman dahulu adalah mediasi antara pelaku dan korban.
Terinspirasi KUHP baru
”Pembalasan mungkin adalah perasaan yang amat kuat, tujuan yang diinginkan, dan ’kepahitan’ yang bisa diterima. Namun, tidak ada satu pun yang memedulikan hak-hak mendasar dari para korban. Menikmati kepuasan dari pembalasan dan adu domba jelas bertentangan dengan harapan agar insan manusia hidup damai dengan sesamanya,” demikian pandangan Albert Eglash yang dikenal sebagai penggagas keadilan restoratif.
Eglash juga menambahkan, keadilan restoratif adalah kesempatan yang ”sengaja dikondisikan” bagi pelaku dan korban tindak pidana untuk memulihkan hubungan mereka bersamaan dengan kesempatan bagi pelaku untuk mencari cara bagaimana memulihkan kerugian yang telah dilakukan pada korban tindak pidana.
Sederhananya, keadilan restoratif itu dapat dimaknai sebagai konsep dan proses. Secara konsep, keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara pidana yang tidak menitikberatkan pada pembalasan atau penghukuman. Secara proses, keadilan restoratif adalah pengalihan penyelesaian perkara ke luar proses peradilan pidana (out of court settlement).
Salah satu wujud keadilan restoratif yang sudah dikenal sejak zaman dahulu adalah mediasi antara pelaku dan korban (victim/offender mediation), yaitu proses yang memberikan kesempatan kepada korban untuk bertemu dengan pelaku tindak pidana dalam suatu pengaturan yang aman dan terstruktur serta terlibat dalam proses mediasi mengenai penyelesaian tindak pidana tersebut.
Mungkin tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan restoratif yang diperkenalkan dalam UU P2SK telah terinspirasi oleh politik hukum yang hendak diwujudkan oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru) yang akan berlaku efektif 2 Januari 2026 sebagai paradigma baru dari hukum pidana dan sistem pemidanaan modern (the new paradigm of criminal law).
Argumentasi ini juga senyatanya bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 132 Ayat (1) Huruf j KUHP Baru yang menyebutkan bahwa kewenangan penuntutan dinyatakan gugur jika telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam suatu UU, yang berlaku sebagai mekanisme kontrol bagi seluruh ketentuan tindak pidana yang ada, kecuali untuk lima tindak pidana khusus di Bab XXXV KUHP Baru.
Keadilan restoratif dan ”una via”
Salah satu contoh pengaturan keadilan restoratif dalam UU P2SK adalah Pasal 14 dalam Pasal 37D Ayat (3) UU P2SK yang mengatur dalam tahap penyelidikan, pihak yang diduga melakukan tindak pidana perbankan dapat mengajukan permohonan kepada OJK (penegak hukum) untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor perbankan.
Selanjutnya, OJK akan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan menghitung nilai kerugian dengan mempertimbangkan: 1) ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul, 2) nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran, dan 3) dampak terhadap sektor perbankan, bank, kepentingan nasabah, dan masyarakat.
Pembalasan mungkin adalah perasaan yang amat kuat, tujuan yang diinginkan, dan ’kepahitan’ yang bisa diterima.
Dengan disetujuinya permohonan penyelesaian pelanggaran oleh OJK, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran juga wajib melaksanakan kesepakatan, termasuk membayar ganti rugi yang merupakan hak dari pihak yang dirugikan, sebagai dasar dan alasan yang obyektif untuk menghentikan penyelidikan tersebut.
Sementara mengenai prinsip una via yang diatur dalam Pasal 22 angka 40 dalam Pasal 100 A UU P2SK, di mana ketentuannya dimaksudkan untuk sektor pasar modal merupakan pertimbangan bagi OJK untuk melanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak, yang didasarkan pada dibukanya ”pilihan” antara sanksi pidana dan sanksi administratif.
Prinsip una via itu berasal dari postulat Latin, electa una via (non datur recursus ad alteram), artinya ”satu rute telah dipilih” sebagai perluasan dari prinsip ne bis in idem melalui pengenaan sanksi atau tindakan administratif lainnya, yang tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk memperbaiki tatanan hukum yang terganggu.
Meski prinsip una via ini cenderung dimaksudkan untuk sektor pasar modal yang telah diubah melalui UU P2SK, penulis meyakini bahwa dengan penafsiran sistematis, prinsip tersebut juga merupakan satu bagian utuh yang tidak terpisahkan dengan keadilan restoratif yang telah dijiwai dalam politik hukum dari UU P2SK.
Implementasi ke depan
Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XXI/2023 setidaknya telah menyisakan pekerjaan rumah untuk penyidik OJK, penyidik Polri, dan PPNS pada kementerian/lembaga tertentu untuk mempersiapkan dan menyesuaikan bagaimana implementasi dari penerapan keadilan restoratif dan prinsip una via tersebut.
Keberadaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 sebagai aturan pelaksanaan dari UU P2SK yang mencoba menjadi ”pintu darurat” untuk menyelamatkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) dalam sektor keuangan juga tampaknya perlu disesuaikan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 59/PUU-XXI/2023.
Hal yang paling sulit tentu bukanlah bagaimana menerapkan keadilan restoratif, melainkan bagaimana mengubah paradigma dari aparat penegak hukum dan masyarakat untuk tidak lagi mengedepankan pembalasan (keadilan retributif) sebagai tujuan hukum (a paradigm shift in the criminal justice system).
Baca juga: Keadilan Restoratif Bergeser Jadi Cara Hentikan Perkara
Semua itu bertujuan tiada lain untuk mengembangkan dan menguatkan sektor keuangan Indonesia sekaligus melindungi kepentingan masyarakat, konsumen, nasabah, dan pelaku usaha untuk senantiasa memiliki rasa kepercayaan (trust) pada sektor keuangan dengan tetap menjunjung prinsip kehati-hatian (prudential principle).
Albert Aries,Pengajar FH Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi