Menjaga Pertumbuhan Berkelanjutan
Mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang ekspansif rata-rata di atas 5 persen bukanlah pekerjaan yang mudah.
Di tengah melambatnya ekonomi global, perekonomian Indonesia pada 2023 masih memperlihatkan keperkasaannya, tumbuh sebesar 5,05 persen (yoy).
Meskipun angka pertumbuhan tahun 2023 tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang mencapai 5,31 persen, tetapi masih mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi ekspansif di atas 5 persen.
Di sinilah ada pesan penting dari pertumbuhan ekonomi tersebut, yakni bahwa kita masih mampu menjaga ketahanan dan resiliensi ekonomi nasional, di tengah badai ketidakpastian global. Pencapaian pertumbuhan ekonomi di 2023 merupakan pencapaian terbaik mengingat Indonesia mampu mengendalikan ketidakpastian global dengan kebijakan ekonomi yang akomodatif, tepat sasaran, dan tepat waktu.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi di 2023 tersebut semakin berkualitas, dan diikuti dengan semakin berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran.
Pertumbuhan ekonomi juga melampaui perkiraan dari beberapa lembaga internasional. PwC meramalkan pertumbuhan sebesar 4,8 persen, OECD 4,9 persen, dan Bank Dunia sebesar 4,9 persen. Sementara Dana Moneter Internasional (IMF) meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 masih mampu berada di kisaran 5 persen, sama halnya dengan ramalan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Baca juga: Strategi Jitu Mendorong Pertumbuhan Ekonomi
Raksasa dunia, seperti China, di luar dugaan mampu membukukan pertumbuhan 5,2 persen di 2023, lebih tinggi dibandingkan tahun 2022 yang 3 persen. Amerika Serikat (AS) tumbuh 2,5 persen, meningkat dibandingkan tahun 2022 yang hanya 1,9 persen. India yang pada 2022 tumbuh 7,2 persen, diramalkan masih akan tumbuh di atas 7 persen pada 2023.
Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dari ketiga raksasa ekonomi tersebut secara langsung memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian global, dan efek domino terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara lainnya, melalui peningkatan permintaan mereka akan barang dan jasa dari negara-negara tersebut.
China, AS, dan India masih menjadi tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia sehingga peningkatan pertumbuhan di kedua negara itu berpengaruh positif bagi Indonesia.
Pendorong pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi yang ekspansif di sepanjang 2023 membuktikan bahwa mesin-mesin ekonomi terus berjalan. Kondisi tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang terus tumbuh, sebesar 2,55 persen dari total pertumbuhan ekonomi 5,05 persen di 2023.
Momentum hari Natal dan perayaan Tahun Baru juga jadi salah satu pemicu pergerakan pertumbuhan mengingat adanya peningkatan mobilitas manusia, yang memengaruhi sektor transportasi dan perhotelan. Persiapan pemilu pada Februari 2024 juga telah dirasakan dampaknya di periode triwulan III-2023 sehingga memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Meskipun dampak El Nino menyebabkan kekeringan berkepanjangan dan membuat harga bahan pangan meningkat, dengan dukungan kebijakan fiskal dalam bentuk bantuan sosial pemerintah, tingkat daya beli masyarakat masih tetap terjaga.
Pertumbuhan ekonomi yang ekspansif di sepanjang 2023 membuktikan bahwa mesin-mesin ekonomi terus berjalan.
Optimisme pertumbuhan ekonomi tersebut juga terlihat dari meningkatnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Desember 2023 sebesar 123,8, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2022 sebesar 119,9.
Masyarakat semakin yakin dan percaya bahwa perekonomian nasional sudah bergerak di jalur yang tepat untuk terus tumbuh dan berkembang.
Kondisi ini diperkuat oleh meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir 2023 yang tidak terbendung menembus rekor baru, yaitu 7.300, menguat dibandingkan dengan IHSG tahun 2022 yang mencapai 6.850.
Semakin bullish-nya pasar modal di tahun 2023 tersebut memberikan indikasi bahwa investor lokal dan asing percaya terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. Mereka memiliki ekspektasi bahwa harga-harga saham tidak hanya akan terus meningkat, tetapi juga memiliki kinerja yang lebih baik dalam menghasilkan arus kas.
Keberhasilan Bank Indonesia meredam laju inflasi di 2023 di level 2,61 persen (yoy) dibandingkan dengan tahun 2022 sebesar 5,51 persen merupakan sebuah prestasi yang luar biasa. Kita bisa membandingkan dengan laju inflasi di negara-negara maju yang biasanya lebih rendah dari Indonesia, yang tetap bertahan tinggi.
Inflasi di AS pada 2023 masih bertengger di 3,4 persen, negara-negara Uni Eropa 3,4 persen, dan India 5,69 persen.
Baca juga: Di Balik (Angka) Inflasi
Inflasi adalah momok yang sangat ditakuti karena dampaknya sangat luas, mendorong harga barang dan jasa semakin mahal, sehingga daya beli masyarakat semakin melemah. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat, meningkatkan pengangguran dan kemiskinan.
Kebijakan moneter ketat (tight money policy) yang dicanangkan BI dengan menaikkan suku bunga acuan beberapa kali, serta ditopang dengan kebijakan lainnya, pada akhirnya mampu mengendalikan inflasi pada level serendah mungkin.
Satu hal positif lain adalah kebijakan moneter ketat itu ternyata tak mengurangi ketersediaan aliran likuiditas di pasar, yang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Impian ke depan
Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap ekspansif dalam jangka panjang merupakan impian yang perlu dipertahankan oleh kita semua.
Dengan menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, diharapkan kita bisa mencapai tiga tujuan besar.
Pertama, sudah saatnya Indonesia segera bertransisi menjadi negara maju karena sumber daya yang dimiliki sangat besar dan memudahkan Indonesia menjadi negara maju, dengan pendapatan per kapita masyarakat rata-rata bisa mencapai minimum 13.845 dollar AS.
Menurut data BPS, pada 2023 pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih 4.919 dollar AS, atau masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country), dan perlu selangkah lagi untuk menjadi negara berpendapatan tinggi (high income country).
Menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap ekspansif dalam jangka panjang merupakan impian yang perlu dipertahankan oleh kita semua.
Kedua, berbagai studi menunjukkan bahwa setiap tahun diperkirakan terdapat 3 juta orang yang memasuki angkatan kerja baru. Diasumsikan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap maksimum 500.000 tenaga kerja baru.
Oleh sebab itu, dengan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, baru mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja saja.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga diperlukan untuk memastikan adanya pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sehingga kue pembangunan ekonomi dapat dinikmati dan dirasakan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini penting karena pemerataan kesejahteraan menjadi benteng pertahanan yang kuat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Tantangan jangka panjang
Mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang ekspansif rata-rata di atas 5 persen bukanlah pekerjaan yang mudah. Pengaruh ketidakpastian global masih terus membayangi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Terdapat berbagai tantangan dan ancaman yang perlu diperhatikan dan berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Pertama, masalah geopolitik yang diperkirakan masih terus berlangsung serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
Perang Rusia dan Ukraina, memanasnya situasi di Semenanjung Korea, pertikaian Israel dengan Hamas, dan terus berlangsungnya konflik China dengan Taiwan tidak bisa diramalkan waktunya kapan akan selesai. Memanasnya situasi di Laut Merah juga menjadikan jalur transportasi perdagangan dan logistik menjadi terganggu.
Situasi ini tidak hanya meningkatkan biaya logistik, tetapi juga mengganggu rantai pasok barang (supply chain). Yang paling ditakutkan adalah apabila masalah geopolitik tersebut meningkat eskalasinya sehingga menjadi perang terbuka dan semakin meluas.
Baca juga: Ekonomi Tetap Solid di Tengah Badai
Kedua, laporan terbaru Global Risk Report 2024 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum meramalkan bahwa risiko terbesar yang dihadapi umat manusia dalam kurun waktu 10 tahun ke depan adalah berkaitan dengan risiko perubahan iklim.
Risiko perubahan iklim membawa dampak signifikan terhadap kelangsungan hidup manusia ke depan sehingga perlu dilakukan upaya global untuk mengatasinya.
Pencapaian target nol emisi karbon (net zero emission) pada 2050-2060 memang masih jauh, tetapi perlu dibuat strategi percepatan mulai dari sekarang. Munculnya pemanasan global yang masih terus berlangsung telah melahirkan bencana kekeringan yang telah mengganggu rantai pasok bahan makanan ataupun turunan risiko-risiko lainnya. Berbagai bencana alam, khususnya banjir, di berbagai belahan dunia membuktikan bahwa ancaman perubahan iklim sangat dahsyat dampaknya.
Ketiga, munculnya ketakutan terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi China yang memiliki efek spiral terhadap perekonomian global. Data menunjukkan, ekonomi China menyumbang sekitar 20 persen dari seluruh produk domestik bruto (PDB) dunia sehingga menjadi salah satu motor penggerak perekonomian global.
Selain itu, China juga menjadi importir terbesar kedua di dunia yang pangsanya mencapai sekitar 11 persen dari seluruh nilai impor global.
Ancaman menurunnya pertumbuhan ekonomi China menjadi semakin nyata dan dipicu oleh berbagai faktor, antara lain melemahnya sektor properti yang mengarah menuju krisis properti, menurunnya permintaan ekspor barang-barang China, dan semakin meningkatnya utang pemerintah dan korporasi.
Agus SugiartoKepala OJK Institute