Memahami Pemilu 2024
Pemerintahan mendatang perlu dikritisi lebih cermat agar penyimpangan yang mulai terjadi bisa segera dikoreksi.
William Liddle, seorang Indonesianis, menulis artikel di Kompas dalam rangkaian esai Renungan Pemilu (Kompas, 26/1/2024). Dalam esainya, Bill, yang menukil Power dkk (2020), mengungkapkan proses ”penggerusan” kualitas demokrasi Indonesia melalui serentetan manuver politik penguasa.
Manuver berlanjut semakin terus terang dan benderang. Tampak terutama pada masa transisi memulai periode kedua masa pemerintahan penguasa saat ini. Ini semua berlangsung sampai hari pencoblosan Pemilu 2024. Maka, tahun politik saat ini terhitung lebih lama dari biasanya: 2019-2024.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Banyak pihak dan pengamat mencurigai proses di tahun-tahun politik ini sebagai langkah beragam pengondisian. Disinggung, antara lain, proses revisi UU KPK, UU Ciptaker, UU IKN, diskursus presiden tiga periode, dan narasi penundaan pemilu. Langkah ini terendus sebagai bagian dari kemungkinan rangkaian terencana kecurangan pemilu. Terlebih saat keluar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI /2023. Putusan ini mengantarkan anak sulung presiden menjadi cawapres dalam Pemilu 2024.
Terhadap proses macam ini disematkan label TSM—bahwa niat kecurangan pemilu itu dicurigai telah begitu terstruktur, sistematis, dan masif. Maka, membuncah sederet kecurigaan lain terkait praktik-praktik: intimidasi dan penggiringan suara, pemanfaatan fasilitas dan sumber daya negara, ketidaknetralan birokrasi dan ASN, personalisasi bantuan sosial, dan sejenisnya.
Cawe-cawe presiden dalam pemilu kali ini pun dinilai banyak kalangan kian hari kian terang-terangan, baik dalam sikap, ucap, maupun tindakan. Syahwat membangun dinasti kekuasaan dicurigai menjadi latar mengapa ia abai atas dan tak lagi hirau berbagai komentar kritis, sinis, dan pedas yang bermunculan di ruang publik. Jadilah pemilu kali ini diikuti peserta pseudo-incumbent.
Kecurigaan memuncak saat proses hitung cepat dimulai sesaat seusai hari pencoblosan, 14 Februari 2024. Angka elektoral pasangan calon pseudo-incumbent unggul dalam hitung cepat berbagai lembaga survei. Sejurus, sang pasangan calon dan para pendukung merayakan kemenangan. Perayaan yang gegap gempita, mendahului hasil hitung nyata dan penetapan KPU. Selain dicemburui sebagai langkah ketergesaan, perayaan ini dicurigai pula sebagai langkah lain pengondisian. Diduga ini membuat mati gaya pasangan lain dan para pemilihnya serta membuat sesak napas hitung nyata KPU yang masih berproses.
Publik akhirnya terpaksa mengamini berlanjutnya berbagai ”produk legal”, tapi tidak legitimate karena banyak prosesnya yang dinilai terang-terangan menabrak aturan, etika, dan kepatutan. Bahkan, terkesan kuat menghalalkan segala cara. Dalam renungan Bill, ”...tren (rusak)-nya (demokrasi) sudah mencapai tingkat seburuk Orde Baru”.
Sederet kecurigaan yang terendus selama tahun-tahun politik dan memerlukan pembuktian itu dinilai sebagai sekadar kepedulian segelintir rakyat menengah atas.
Yang sungguh mengherankan, menguatnya anggapan hasil elektoral hitung cepat itu sebagai final. Sekaligus cermin kehendak para pemilihnya yang lalu dimaknai sebagai kehendak rakyat kebanyakan. Sederet kecurigaan yang terendus selama tahun-tahun politik dan memerlukan pembuktian itu dinilai sebagai sekadar kepedulian segelintir rakyat menengah atas.
Saatnya melirik temuan Higashijima dalam The Dictator’s Dilemma at the Ballot Box (2022). Ia mengembangkan teori pemilu otokratis. Teori ini diujinya dalam studi kasus komparatif di Kazakhstan dan Kirgistan. Terungkap cara para penguasa diktator merancang pemilu dan konsekuensi pemilu otokratis itu atas tatanan politik pascapemilu. Salah satu temuan empirisnya adalah perlunya kebijakan (penguatan proses) pemantauan pemilu dan bantuan internasional untuk itu.
Untuk konteks Indonesia, perlukah penguatan proses pemantauan pemilu dan bantuan (pengawas) internasional?
Bubulak, Bogor Barat
Jangan Lupakan Penderitaan Rakyat
Menjelang pemilu yang lalu, para pendekar perguruan tinggi ramai-ramai turun gunung. Mereka menulis di media masa, juga para guru besar menyampaikan sikapnya. Semua menyuarakan, antara lain, tentang pudarnya demokrasi dan lunturnya sifat negarawan presiden. Namun, dengan entengnya ditanggapi bahwa hal itu merupakan tanda adanya demokrasi.
Rupanya gebrakan para pendekar agak terlambat sehingga sulit menggoyahkan pendirian presiden yang merasa selalu di jalur yang benar karena jarang mendapat kritik.
Oleh sebab itu, merujuk pada pengalaman tersebut, seyogianya para pendekar jangan buru-buru naik kembali ke gunung. Pemerintahan mendatang perlu dikritisi lebih cermat agar penyimpangan yang mulai terjadi bisa segera dikoreksi.
Perguruan tinggi punya SDM dari segala bidang ilmu sehingga tidak sulit untuk ikut memandu jalannya pemerintahan. Tidak hanya lewat tulisan atau secara verbal, tetapi juga tindakan nyata.
Para pendekar kampus bersama mahasiswa bergerak bersama, misalnya mendampingi warga eks Kampung Bayam yang diintimidasi (Kompas, 19/2/2024).
Membuat gerakan untuk menekan perusak lingkungan, penyebar polusi dan penyakit bagi siswa, di Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Kompas, 12/2/2024).
Mengadvokasi proyek-proyek besar yang rawan gagal, seperti lumbung pangan.
Mengingatkan alumni untuk tidak mencoreng wajah almamaternya.
Pemerintahan mendatang perlu dikritisi lebih cermat agar penyimpangan yang mulai terjadi bisa segera dikoreksi.
Kegiatan tersebut tentu berada pada darma ketiga perguruan tinggi, yaitu bidang pengabdian masyarakat. Bidang ini perlu ditingkatkan mutunya dan digalakkan selaras dengan konsep Kampus Merdeka.
Kiranya masih banyak hal yang bisa dikerjakan, tidak hanya mengejar peringkat perguruan tinggi di tingkat global, tetapi juga jangan melupakan penderitaan rakyat. Keberadaan perguruan tinggi harus bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat sekitar.
A AGOES SOEDIAMHADI
Langenarjan, Yogyakarta