Mengamankan Produksi Beras
Perlu dilakukan berbagai upaya mengamankan produksi beras di dalam negeri. Terlalu riskan menggantungkan dari impor.
Sampai minggu ketiga Februari 2024, rata-rata harga beras medium secara nasional masih mengalami peningkatan.
Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional, per 15 Februari 2024, menunjukkan rata-rata harga beras medium di tingkat konsumen sebesar Rp 14.031 per kilogram, meningkat hampir 4,00 persen secara bulanan dan 15,03 secara tahunan.
Rata-rata harga beras tertinggi ada di Papua Pegunungan sebesar Rp 21.500 dan terendah di Jambi Rp 12.575.
Kantor Staf Presiden, dalam rilis mingguannya tentang Laporan Hasil Pemantauan Harga Pangan Strategis, sudah lama memasukkan harga beras dalam status tak aman. Hal ini karena harganya jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Selain itu, dilihat dari disparitas harga antardaerah, beras masuk dalam kategori disparitas rendah dengan persentase perbedaan harga antardaerah selalu di bawah 10 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa harga beras medium tinggi secara merata, hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Faktor pemicu
Bertahannya harga beras tinggi setahun terakhir disebabkan banyak hal, antara lain kenaikan biaya produksi, penurunan produksi beras nasional, dan tingginya harga beras di pasaran global.
Peningkatan biaya produksi dipicu oleh naiknya harga beberapa input produksi, terutama pupuk. Berdasarkan data Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), biaya produksi padi mengalami peningkatan 29,91 persen dibandingkan dengan biaya produksi tahun 2019.
Memperhatikan masih terbukanya upaya peningkatan produktivitas melalui perbaikan nutrisi tanaman, maka hal pertama yang perlu dipastikan adalah tersedianya nutrisi tanaman secara memadai di tingkat petani, terutama pupuk dan benih.
Dari sisi produksi, berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS (2023), diperkirakan produksi beras tahun 2023 turun sekitar 645.000 ton, yaitu dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 30,9 juta ton pada 2023. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan luas panen, sekitar 255.000 hektar atau 2,45 persen, dibandingkan dengan data tahun lalu.
Penurunan ini diperkirakan terus berlanjut. Berdasarkan data Kerangka Sampel Area yang dikutip Kompas, 13 Februari 2024, produksi gabah kering giling (GKG) pada Januari-Maret 2024 diperkirakan 10,1 juta ton, jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 16,2 juta ton.
Apabila dicermati secara saksama, proses penurunan produksi ini telah berlangsung selama enam tahun terakhir. Selama 2018-2023, produksi padi menurun dengan laju 1,63 persen. Hal ini terutama karena penurunan luas areal panen 1,81 persen per tahun, sedangkan produktivitas relatif tetap di kisaran 52 kuintal per hektar.
Dampak dari penurunan ini terlihat dari berkurangnya surplus tahunan beras, yaitu pengurangan produksi terhadap konsumsi tahunan. Pada 2018, surplus beras masih sekitar 4,37 juta ton. Jumlah surplus ini terus berkurang dari tahun ke tahun dan pada 2023 diperkirakan surplus tahunan tinggal sekitar 270.000 ton.
Secara global, peningkatan harga beras disebabkan berkurangnya stok beras di pasaran dunia karena adanya penghentian ekspor beras oleh India sejak 20 Juli 2023. Kebijakan ini berpengaruh langsung terhadap harga beras dunia.
Ilustrasi/Heryunanto
Hasil kajian IFPRI (2023) menunjukkan, penghentian ekspor India telah memicu peningkatan harga beras Thailand sebesar 14 persen dan harga beras di Vietnam 22 persen. Kondisi ini dapat dipahami karena India merupakan eksportir utama beras dunia. Berdasarkan data tahun 2022, dari 53,9 juta ton jumlah beras yang diperdagangkan, sekitar 21,5 juta ton atau 40 persen diekspor oleh India.
Berdasarkan data Food Outlook yang dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), November 2023, diperkirakan pada 2024 produksi beras dunia 523,9 juta ton atau mengalami peningkatan 0,8 persen ketimbang tahun lalu. Sementara jumlah beras yang diperdagangkan mengalami penurunan 0,3 persen dari 53 juta ton pada 2023 menjadi 52,8 juta ton.
Intensifikasi dan perluasan tanam
Memperhatikan kecenderungan penurunan produksi di dalam negeri dan prediksi penurunan jumlah beras yang diperdagangkan tahun 2024, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengamankan produksi beras di dalam negeri. Terlalu riskan menggantungkan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri dari impor, terlebih begitu labilnya jumlah besaran beras yang diperdagangkan karena kebijakan negara pengekspor, seperti kasus India tahun 2023.
Dari sisi petani, harga gabah dan beras yang bertahan tinggi merupakan insentif untuk terus mengusahakan lahannya. Upaya mengamankan produksi beras di dalam negeri tentunya harus dapat menjawab dua masalah utama yang ada, yaitu penurunan luas areal panen dan stagnasi produktivitas selama enam tahun terakhir.
Apabila dicermati secara saksama, proses penurunan produksi ini telah berlangsung selama enam tahun terakhir.
Terkait dengan luas areal panen, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memperbarui data baku lahan sawah. Data baku lahan sawah yang digunakan saat ini adalah data Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019, yaitu 7.463.948 hektar.
Memperhatikan begitu pesatnya pembangunan infrastruktur lima tahun terakhir, terutama di Jawa, dan belum efektifnya pengendalian alih fungsi lahan sawah serta minimnya pencetakan sawah baru, maka besaran baku lahan sawah perlu diperbarui datanya.
Hal ini menjadi penting karena berbagai penghitungan yang dilakukan BPS terhadap luas panen, indeks pertanaman, serta perkiraan produksi didasarkan pada luas lahan baku ini.
Dalam jangka pendek, perluasan areal panen lebih memungkinkan untuk dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman. Hal itu dilakukan dengan meningkatkan intensitas tanam padi pada satu hamparan lahan, dari sekali tanam menjadi dua kali tanam, atau dari dua kali tanam menjadi tiga kali tanam dalam setahun. Upaya perluasan areal panen melalui pencetakan lahan sawah baru, apalagi di lahan rawa, akan membutuhkan waktu yang lebih lama bisa efektif memperluas areal panen.
Secara nasional potensi peningkatan intensitas tanam padi masih sangat terbuka. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, selama 2023, rata-rata Indeks Pertanaman (IP) yang sudah di atas IP200 atau penanaman padi lebih dua kali setahun baru ada di 14 kabupaten. Yang dominan saat ini, rata-rata indeks pertanaman IP100 hingga IP200 ini ada di 285 kabupaten. Bahkan, masih ditemui adanya rata-rata indeks pertanaman kurang dari IP100, yang ditemui di 156 kabupaten.
Peningkatan indeks pertanaman bisa dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan sarana irigasi yang ada, terutama saat kemarau. Pemerintah telah membangun berbagai sarana irigasi, mulai dari bendungan, pemanfaatan sumur dangkal dan dalam, hingga embung.
Selama 2014 hingga 2024, pemerintah merancang pembangunan 61 bendungan baru. Sampai 2023, telah selesai dibangun 44 bendungan, 37 di antaranya dapat membantu mengairi sawah petani seluas 305.979 hektar. Pada 2024 ini dilanjutkan pembangunan 17 waduk lagi, ditargetkan dapat mengairi 87.590 hektar sawah baru.
Apabila semua bendungan dan sarana irigasi pendukung yang telah dibangun dapat berfungsi optimal, terbuka peluang untuk meningkatkan intensitas tanam. Untuk itu, efektivitas dari keberadaan bendungan dan sarana irigasi perlu dikawal di lapangan, apakah sudah berfungsi seperti yang direncanakan.
Upaya peningkatan produktivitas juga masih terbuka untuk dilakukan melalui peningkatan penggunaan input produksi, terutama benih dan pupuk.
Hasil penelaahan yang dilakukan 33 ilmuwan yang tergabung dalam studi Global Yield Gap Atlas, suatu kerja sama University of Nebraska-Lincoln dengan mitranya di Indonesia, atas komoditas padi, jagung, dan kelapa sawit, yang dirilis Januari 2023, terungkap pada ketiga tanaman ini masih terbuka peluang bagi peningkatan produktivitas melalui peningkatan nutrisi tanaman.
Salah satu rekomendasi dari tim ini, untuk tanaman padi umumnya cukup nitrogen dan fosfor, tetapi kekurangan kalium. Peningkatan penggunaan pupuk kalium pada padi berpotensi meningkatkan hasil secara signifikan.
Baca juga: Pangan dalam Debat
Dukungan riset
Memperhatikan masih terbukanya upaya peningkatan produktivitas melalui perbaikan nutrisi tanaman, hal pertama yang perlu dipastikan adalah tersedianya nutrisi tanaman secara memadai di tingkat petani, terutama pupuk dan benih. Dari sisi ketersediaan pupuk, pemerintah telah menyatakan akan meningkatkan anggaran subsidi pupuk pada 2024 sebesar Rp 14 triliun (Kompas, 3/1/2023).
Hal kedua yang perlu dikawal adalah bagaimana semua input produksi digunakan secara tepat dan benar di tingkat petani. Upaya ini memerlukan dukungan rekomendasi paket teknologi spesifik lokasi. Kementerian Pertanian, melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, terakhir mengeluarkan paket rekomendasi teknologi padi spesifik lokasi, berkisar 6-7 tahun yang lalu, melalui apa yang disebut dengan Jajar Legowo Super.
Paket teknologi ini memadukan pengaturan jarak tanam dengan penggunaan varietas unggul baru (VUB) dengan potensi hasil tinggi. Selain itu, digunakan pupuk hayati dan dekomposer serta pemupukan berimbang berdasarkan hasil analisis dari perangkat uji tanah sawah (PUTS) sederhana, yang dapat digunakan langsung oleh petani.
Dalam penerapan teknologi di lapangan, selain penyuluh, pengawalan dilakukan peneliti yang tersebar di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Saat ini, karena sebagian besar peneliti Badan Litbang Pertanian sudah beralih ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), upaya ini banyak yang tidak berlanjut.
Terlalu riskan menggantungkan pemenuhan kebutuhan beras dalam negeri dari impor, terlebih begitu labilnya jumlah besaran beras yang diperdagangkan karena kebijakan negara pengekspor, seperti kasus India tahun 2023.
Ke depan perlu dipastikan untuk terus berlanjutnya penelitian tentang paket teknologi padi spesifik lokasi serta terbukanya kesempatan peneliti untuk bekerja langsung dengan petani dalam suatu program riset padi jangka panjang dan berkelanjutan. Kita berharap makin terjalinnya komunikasi yang baik antara BRIN dan direktorat jenderal teknis terkait di Kementerian Pertanian.
Terakhir, dukungan riset dasar dan juga untuk kegiatan pemuliaan bagi penyediaan benih padi yang baik perlu terus mendapat perhatian. Secara khusus keberlanjutan riset padi di Balai Besar Padi Sukamandi, yang sekarang namanya berubah menjadi Balai Besar Pengujian Standar Instrumen Padi, harus tetap berlanjut. Terutama kepastian bagi para penelitinya yang pindah ke BRIN, masih bisa memanfaatkan seluruh fasilitas penelitian yang ada dan juga sumber daya genetik padi sebagai bahan baku kegiatan pemuliaan.
Erizal Jamal Dt TumangguangProfesor Riset BRIN dan Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia