Sekali Lagi, Urusan Pangan adalah Hidup-Matinya Sebuah Bangsa
Pembangunan bidang pangan mesti diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan pangan serta menyejahterakan petani dan nelayan.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki karena sangat menentukan kesehatan dan kecerdasannya. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif (a lost generation). Dengan kualitas sumber daya manusia semacam ini, tidaklah mungkin sebuah bangsa bisa maju dan sejahtera.
Karena itu, sangat tepat apabila Presiden Soekarno saat berpidato pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor pada 27 April 1952 melontarkan pernyataan profetik bahwa ”urusan pangan adalah hidup-matinya sebuah bangsa”. Pernyataan itu kemudian terlegitimasi oleh hasil penelitian FAO (2000) bahwa negara dengan penduduk lebih dari 100 juta orang akan sulit atau tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat apabila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.
Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan perairan yang subur, semestinya Indonesia bukan hanya dapat berswasembada pangan, melainkan juga menjadi pengekspor pangan ke seluruh dunia (feeding the world). Ironisnya, kita menjadi bangsa pengimpor pangan terbesar di dunia.
Baca juga: Jalan Impor Pangan
Akar masalah pangan
Penyebab paradoks di bidang pangan sangat kompleks dan bersifat multidimensi. Pangan sebagai sebuah sistem, pada subsistem produksi (on-farm)-nya menghadapi masalah serius berupa semakin menyusutnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. Pada 2013-2019, kita kehilangan lahan sawah seluas 300.000 hektar (BPS, 2023).
Produktivitas dan keberlanjutan usaha pertanian, peternakan, dan perikanan budidaya pada umumnya masih rendah lantaran minimnya penggunaan inovasi teknologi yang ramah lingkungan. Diversifikasi spesies budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan masih tertinggal. Pencemaran lingkungan, biodiversity loss, banjir, kekeringan, dan pemanasan global turut mengancam produktivitas dan keberlanjutan produksi pangan.
Pada subsistem sarana produksi (hulu), petani, nelayan, dan peternak kesulitan mendapatkan berbagai sarana produksi yang berkualitas dan relatif murah. Dampaknya, nilai tambah dan daya saing berbagai produk pangan Indonesia pun pada umumnya rendah.
Pada subsistem konsumsi dan pasar, salah satu masalah kronis adalah sangat tingginya konsumsi beras bangsa kita, sekitar 111,2 kilogram per kapita (BPS, 2023). Padahal, rata-rata konsumsi beras dunia hanya 50 kg per kapita (FAO, 2022) dan konsumsi beras yang sehat (tidak mengakibatkan diabetes) maskimum 60 kg per kapita (Kementerian Kesehatan, 2010). Selain itu, sejumlah bahan pangan pokok (seperti beras, jagung, dan gula) yang total volume produksinya sebenarnya lebih besar ketimbang kebutuhan nasional masih tetap impor akibat ulah para mafia pangan.
Sistem Logistik Pangan Nasional (pergudangan, transportasi, dan distribusi) juga karut-marut. Ini berdampak pada tidak efisiennya pengiriman bahan pangan dan berbagai jenis sarana produksi.
Infrastruktur seperti bendungan, jaringan irigasi, listrik, telekomunikasi, dan internet kurang memadai. Banyak bendungan dan jaringan irigasi yang dibangun sejak 1960-an sudah rusak. Sementara, pembangunan bendungan di berbagai wilayah sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagian besar belum dilengkapi dengan pembangunan jaringan irigasinya.
Mayoritas petani, nelayan, peternak, dan produsen pangan lainnya berskala usaha kecil dan mikro serta menjalankan usahanya secara tradisional. Unit usahanya tidak memenuhi economy of scale, tidak menggunakan teknologi budidaya yang terbaik dan mutakhir, tidak menerapkan ISCM (integrated supply chain management system), dan tidak mengindahkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Politik anggaran (APBN) pun masih memandang sektor pangan dengan sebelah mata.
Menurut Sensus Pertanian 2023, proporsi keluarga petani di Indonesia yang lahan usahanya di bawah 0,5 hektar sebanyak 61 persen, bahkan di Pulau Jawa mencapai 80 persen. Padahal, skala ekonomi usaha padi sawah, yang keuntungannya menyejahterakan petani (rata-rata di atas 480 dollar AS atau Rp 7,5 juta per bulan) adalah 1,5 hektar (IPB dan FAO, 2022).
Implikasinya kemudian adalah produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan sebagian besar usaha pertanian, perikanan, dan produksi pangan lainnya sangat rendah. Tidak heran jika kebanyakan petani, peternak, dan nelayan masih miskin. Ini menjadi penyebab utama generasi muda tidak menyukai dan meninggalkan pertanian.
Politik anggaran pun masih memandang sektor pangan dengan sebelah mata. Tahun lalu alokasi anggaran (APBN) untuk Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya Rp 15,318 triliun dan Rp 6,7 triliun. Sementara, Kementerian Pertahanan mencapai Rp 134,3 triliun. Alokasi kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya 8 persen dari total alokasi kredit dan hanya 0,32 persen untuk sektor perikanan (Bank Indonesia, 2023).
Agenda pembangunan pangan
Guna mewujudkan kedaulatan pangan, menyejahterakan petani dan nelayan, dan menjadikan sektor pangan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, pembangunan bidang pangan mesti diarahkan untuk mencapai lima tujuan. Pertama, menghasilkan berbagai komoditas dan produk olahan pangan yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor. Kedua, menyejahterakan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya.
Ketiga, meningkatkan kontribusi sektor pangan terhadap perekonomian nasional. Keempat, meningkatkan status gizi dan kesehatan rakyat. Kelima, memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Pada tataran teknis, kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri secara produktif, efisien, berdaya saing, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Ini dapat direalisasikan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi spesies (varietas) budidaya untuk semua sektor pangan. Program ekstensifikasi diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta hektar tidak dengan membuka hutan lindung.
Optimalisasi usaha perikanan tangkap di laut dan perairan umum darat sesuai dengan potensi produksi lestarinya di perairan NKRI. Indonesia memiliki potensi produksi perikanan tangkap terbesar di dunia, sekitar 15,5 juta ton per tahun terdiri dari 12 juta ton per tahun di laut dan 3,5 juta ton per tahun di perairan umum darat. Hingga kini, kita baru memanfaatkannya sekitar 65 persen.
Baca juga: Basis Ketahanan Pangan Nasional
Demikian juga halnya dengan perikanan budidaya, sekitar 100 juta ton per tahun dan baru diproduksi 23 juta ton pada 2023. Sejak 2009, Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar kedua di dunia setelah China (FAO, 2022). Dengan menggunakan bioteknologi (genome editing), nanoteknologi, dan kecerdasan buatan yang ramah lingkungan, kita pun bisa membudidayakan tanaman pangan (padi) di ekosistem perairan laut, seperti yang dikerjakan China sejak 2007.
Penguatan dan pengembangan produksi bibit dan benih unggul melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan. Peningkatan volume produksi sarana produksi pangan lainnya, mulai dari pakan ternak dan ikan, pupuk, obat-obatan, hingga alat dan mesin pertanian. Dengan demikian, akses petani, peternak, nelayan, dan produsen pangan lainnya terhadap semua sarana produksi yang unggul dan murah akan lebih terjamin.
Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan pangan guna meningkatkan nilai tambah, pasar, multiplier effects, dan lapangan kerja. Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Pangan Nasional untuk memperlancar, mempermudah, dan menjamin keamanan distribusi komoditas hasil panen para petani dan nelayan, dan berbagai jenis sarana produksi.
Revitalisasi dan pembangunan baru infrastruktur pertanian dan perikanan maupun infrastruktur dasar perdesaan, termasuk jaringan jalan, air bersih, listrik, gas, telekomunikasi, dan internet. Peningkatan kapasitas dan etos kerja petani, peternak, nelayan, dan produsen pangan lainnya melalui program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan secara sistemik dan berkesinambungan.
Sederet kebijakan dan program teknikal di atas akan berhasil apabila dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi kinerja dan tumbuh-kembangnya sektor pangan. Sedikitnya ada 11 kebijakan politik-ekonomi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, dan kesejahteraan bagi petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya.
Pertama, stop impor seluruh bahan pangan yang saat ini total volume produksinya lebih besar dari konsumsi (kebutuhan) nasional. Kedua, mengurangi konsumsi beras melalui diversifikasi pangan. Dengan konsumsi per kapita 60 kg, total kebutuhan beras nasional untuk memenuhi 278 juta jiwa penduduk hanya 16,69 juta ton. Pada 2020-2023, rata-rata total konsumsi beras nasional mencapai 35,37 juta dan produksi beras nasional 34,36 juta ton (USDA, 2023).
Kemudian, secara simultan kita tingkatkan proporsi protein hewani, sayuran, dan buah dalam menu keseharian makanan rakyat. Secara bertahap, kita kurangi impor gandum, dengan menggantikan bahan baku untuk produksi mie, roti, dan lainnya dengan sagu, sorgum, dan jenis tanaman pangan lokal lainnya. Sembari terus meningkatkan produksi sapi nasional, untuk mengurangi impor sapi, kita harus meningkatkan konsumsi ikan, dari saat ini 50 kg menjadi 100 kg per kapita seperti di Eslandia dan Jepang.
Dengan konsumsi per kapita 60 kg, total kebutuhan beras nasional untuk memenuhi 278 juta jiwa penduduk hanya 16,69 juta ton.
Ketiga, pengembangan lahan pangan abadi. Tidak boleh ada lagi konversi lahan pertanian dan perikanan untuk penggunaan lahan lainnya. Keempat, akselerasi dan penyempurnaan reformasi agraria untuk memastikan bahwa lahan usaha petani minimal 1,5 ha (sesuai skala ekonomi) melalui redistribusi lahan secara berkeadilan, sertifikasi tanah, penyelesaian konflik agraria, larangan praktik land bank, dan peningkatan kerja sama antara UMKM dengan korporasi besar di bidang pangan secara saling menguntungkan.
Kelima, penguatan dan perluasan peran Bulog sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. Keenam, secara bertahap mengurangi dan akhirnya menghentikan subsidi terhadap input (sarana) produksi seperti pupuk, benih, serta alat dan mesin pertanian karena selama ini kurang tepat sasaran dan sangat rawan penyelewengan. Secara simultan menggantikannya dengan memberikan subsidi ganda untuk hasil panen (double subsidy pada output).
Ketujuh, pengembangan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, dengan mempercepat transisi energi. Kedelapan, stop pencemaran, pengikisan biodiversitas, dan bentuk kerusakan lingkungan lainnya yang mengancam produktivitas dan keberlanjutan usaha produksi pangan.
Kesembilan, penyediaan kredit khusus untuk sektor pangan, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan lebih lunak seperti di negara-negara produsen pangan utama lainnya. Sudah saatnya Indonesia memiliki bank khusus yang melayani semua jenis investasi dan usaha di bidang pangan.
Baca juga: Pangan dalam Debat
Kesepuluh, peningkatan anggaran pembangunan (APBN) untuk sektor pangan guna merevitalisasi dan membangunan baru infrastruktur pertanian dan wilayah pedesaan, penguatan dan pengembangan SDM pangan, dan penguatan dan pengembangan institusi serta regulasi. Kesebelas, menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kinerja dan tumbuh-kembangnya sektor pangan.
Melalui implementasi secara terintegrasi dan berkesinambungan segenap kebijakan teknikal dan politik-ekonomi di atas, maka Indonesia diyakini tidak hanya akan berswasembada pangan, dan petani serta nelayannya hidup sejahtera; tetapi juga bakal mampu feeding the world, dan menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat, paling lambat pada 2035.
Rokhmin Dahuri, Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan-IPB University; Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI)