Memperkuat Budaya Demokrasi
Solusi bagi rapuhnya demokrasi adalah memperkuatnya, bukan justru membenarkan praktik yang memperlemah demokrasi.
Tulisan Ulil Abshar Abdalla, ”Memahami Kemenangan Prabowo” (Kompas, 15/2/2024), satu hari setelah pemilu, menghadirkan pesan yang menarik untuk dicermati. Dalam tulisan itu, Ulil berpendapat kemenangan Prabowo Subianto merupakan satu bukti bahwa rakyat tetap menginginkan jalan pembangunan Joko Widodo (Jokowi).
Lebih jauh, dia menyampaikan kritik tentang adanya jarak antara apa yang dianggap sebagai isu prioritas bagi kaum terdidik dan masyarakat luas.
Bagi golongan pertama, isu kemunduran demokrasi merupakan perkara serius yang semestinya jadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan. Untuk itu, perubahan rezim mesti dilakukan guna menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Pasangan Prabowo- Gibran yang dilihat sebagai kelanjutan rezim Jokowi dan maju dalam pilpres setelah melalui perkara etika yang melibatkan Mahkamah Konstitusi semestinya bukan menjadi pilihan.
Sementara itu, bagi masyarakat umum, perkara itu bukanlah yang utama. Ternyata rakyat memiliki pikiran mereka sendiri tentang apa yang mereka sebut penting, yang oleh Ulil disebut sebagai popular wisdom. Menariknya, meskipun Ulil tak menampik bahwa Indonesia memang mengalami kemunduran demokrasi, ia juga menyerang para intelektual yang membunyikan alarm tanda bahaya untuk menyelamatkan demokrasi kita.
Solusi bagi rapuhnya demokrasi adalah memperkuatnya, bukan justru membenarkan praktik yang memperlemah demokrasi untuk kemudian berpaling pada otoriterisme.
Rapuhnya dukungan pada demokrasi
Namun, benarkah apa yang diklaim Ulil? Benarkah masyarakat kebanyakan tak peduli pada kemunduran demokrasi dan dengan demikian tidak mendukung nilai-nilai demokrasi?
Dalam studi ilmu politik, pertanyaan semacam ini merupakan satu pertanyaan kunci dalam tradisi riset tentang budaya politik. Secara sederhana, budaya politik dapat didefinisikan sebagai sikap, keyakinan, emosi, dan nilai masyarakat terhadap sistem politik dan isu politik termasuk dalam hal ini: demokrasi (Kavanagh, 1972).
Survei yang dilakukan Asian Barometer (dalam Warburton dan Aspinall, 2019) menghasilkan temuan menarik tentang rendahnya dukungan masyarakat pada demokrasi. Saat ditanya apakah warga menilai demokrasi lebih penting dari pembangunan ekonomi, hanya 7 persen responden yang setuju. Sementara sebagian besar warga (93 persen) lebih memilih pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain, dalam situasi di mana kesulitan ekonomi mengimpit kehidupan sehari- hari, masyarakat rela mengorbankan hak demokrasi mereka. Tampak masyarakat secara umum tak melihat demokrasi sebagai satu sistem untuk melindungi hak warga negara, kompetisi pemilu yang adil, dan pengawasan terhadap kekuasaan.
Alih-alih, mereka melihat demokrasi sebagai tata pemerintahan yang baik yang menghasilkan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Pendeknya, pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang menghasilkan kinerja ekonomi yang memuaskan.
Melihat angka ini tak mengherankan jika The Economist Intelligence Units (EIU), lembaga dunia yang bermarkas di London, melaporkan bahwa skor budaya demokrasi Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Dalam laporan EIU, budaya demokrasi merupakan satu dari lima indikator pengukuran demokrasi selain: fungsi pemerintahan, pemilu dan pluralisme, partisipasi politik, dan kebebasan sipil.
Dalam hal budaya demokrasi, kita pernah mendapat skor yang lumayan pada 2015 dan 2016 sebesar 6,25 dari skala 1-10. Skor ini tidak buruk meskipun juga tidak terlalu baik.
Setelahnya, selama tiga tahun berturut-turut (2017-2019), skor ini kemudian turun dan stagnan di angka 5,63. Skor yang rendah itu lalu menurun menjadi 4,38 pada 2020 dan stagnan pada 2021, 2022, dan 2023. Tren penurunan ini seiring dengan penurunan nilai rata-rata indeks demokrasi kita dari tahun ke tahun yang membenarkan pendapat berbagai ilmuwan politik tentang kemunduran demokrasi di Indonesia.
Dengan kata lain, dalam situasi di mana kesulitan ekonomi mengimpit kehidupan sehari-hari, masyarakat rela mengorbankan hak demokrasi mereka.
Angka di atas menunjukkan bahwa dua dekade lebih reformasi ternyata waktu yang terlalu singkat untuk memastikan nilai-nilai demokrasi dapat terinternalisasi dengan baik di kalangan masyarakat secara luas. Namun, dua dekade sesungguhnya waktu yang teramat singkat dibandingkan negara-negara demokrasi yang telah mapan, seperti AS dan Inggris, yang telah mempraktikkan demokrasi selama ratusan tahun.
Jauh-jauh hari, ilmuwan politik Samuel P Huntington (1993) telah mengingatkan bahwa transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi merupakan proses yang panjang dan diperlukan ikhtiar untuk merawat dan memapankan institusi dan budaya demokrasi. Di sini tugas parpol dan kaum terdidik untuk mengisi kekosongan.
Pendidikan politik
Sayangnya, tugas pendidikan politik ini abai dijalankan oleh partai politik dan elitenya. Jangankan melakukan pendidikan, berbagai studi justru menyebutkan parpol salah satu lembaga yang paling lamban dalam membenahi dirinya sejak era Reformasi. Sudah jamak diketahui, partai memiliki masalah serius dalam hal perkaderan dan regenerasi.
Oligarki dan politik dinasti juga kental terjadi di dalam partai politik kita, dan menjadikannya justru sebagai salah satu lembaga yang paling tidak demokratis. Alih-alih memberikan pendidikan demokrasi kepada publik secara luas, elite justru sibuk mempertontonkan perilaku yang memunggungi nilai-nilai demokrasi.
Menjelang Pemilu 2024, akrobat itu bahkan termanifestasi dalam bentuk paling serius berupa pengingkaran aturan main demokratis dalam skandal keputusan MK yang menyalahi etika kehidupan bernegara.
Dengan keadaan ini, tidak mengherankan jika survei dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik. Pada 2023, misalnya, survei Populi Center menemukan, hanya 59,3 persen yang percaya pada partai politik. Pada tahun yang sama survei Indikator Politik bahkan menemukan angka yang sedikit lebih buruk: 58 persen.
Dalam konteks ini, protes dari ribuan akademisi, dari setidaknya 70 universitas dan ratusan aktivis masyarakat sipil dari sekurangnya 20 organisasi, harus dimaknai sebagai upaya untuk mengisi disfungsi partai dalam kerja pendidikan politik ini.
Alih-alih melihatnya sebagai ”kesombongan tersembunyi” seperti yang dituduhkan Ulil, teguran itu adalah pengingat bahwa nilai-nilai dan etika demokrasi harus kembali dipeluk dan dilaksanakan sepenuh hati. Masyarakat sipil dan akademisi sudah benar dengan menunjukkan bahwa demokrasi kita dalam ancaman. Mereka menolak untuk menyerah dan menormalisasi segala dugaan pelanggaran etika dan kecurangan pemilu yang terjadi.
Baca juga: Memahami Kemenangan Prabowo
Selanjutnya, pendidikan demokrasi mesti dilanjutkan di kampus-kampus dengan memasukkannya dalam kurikulum universitas. Masyarakat sipil perlu melanjutkan ikhtiar sekolah demokrasi yang kini sudah mulai dilakukan. Nilai-nilai demokrasi harus terus disebarkan tanpa kenal kata henti.
Solusi bagi rapuhnya demokrasi adalah memperkuatnya bukan justru membenarkan praktik yang memperlemah demokrasi untuk kemudian berpaling pada otoriterisme.
Wijayanto,Pengajar Media dan Demokrasi Universitas Diponegoro; Direktur Pusat Media dan Demokrasi; Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES