Diplomasi: Indonesia dan Dunia
Ciri utama hubungan internasional pada paruh pertama abad ke-21 nonpolaritas. Tidak lagi didominasi negara adidaya.
Rasanya sudah sejak SD/SMP kita diajarkan betapa strategis dan pentingnya letak geografis Indonesia, di antara dua lautan dan dua benua. Pertanyaannya, apa yang telah kita dapatkan dengan posisi itu, terutama dalam konteks masa kini?
Ketika Singapura lahir pada 1965, sebagian besar wilayahnya yang tanpa sumber daya alam (SDA) masih rata dan kosong, dikelilingi perairan Selat Malaka. Namun, 25 tahun kemudian, Singapura telah berkembang menjadi negara maju, pusat bisnis dan hub Asia dan bahkan dunia.
Sementara Batam, yang diharapkan akan menyaingi atau, kata mendiang BJ Habibie, menampung limpahan (spill over) dari Singapura, masih berkutat dengan ketidakpastian akibat sengketa pengelolaannya; dan Malaka, dengan cerdas ”menyalip” di tikungan.
Pembangunan sebagai diplomasi
Richard N Haass, Presiden Council on Foreign Relations, menekankan bahwa ”foreign policy begins at home”, dan ini menjadi judul bukunya yang terkenal (2013).
Menurut Haass, ”Ancaman terbesar bagi AS bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam negeri. Banyak fondasi kekuatan Amerika yang terkikis… dan dampaknya tidak terbatas pada memburuknya sistem transportasi atau lapangan kerja. Sebaliknya, kekurangan di dalam negeri secara langsung mengancam kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan, bersaing di pasar global, dan mempromosikan kepentingan AS, serta memengaruhi pemikiran dan perilaku negara lain.”
Di masa lalu, Indonesia pernah menerapkan konsep pembangunan yang mengadaptasi pandangan AA Rostow mengenai pertumbuhan ekonomi. Rostow mengajukan tahapan menuju negara maju, mulai dari masyarakat tradisional, masa persiapan, lepas landas(!), menjadi matang, dan menjadi negara industri maju. Dicanangkan negara maju akan terwujud dalam 25 tahun, melalui lima Repelita sehingga Indonesia memasuki tahap ”lepas landas”.
Menurut Haass, dunia tidak lagi didominasi oleh satu atau lebih negara adidaya. Sebaliknya, ciri utama hubungan internasional pada paruh pertama abad ke-21 adalah nonpolaritas.
Pada 1980-1990-an, sejumlah capaian pernah diraih Indonesia. Pada 1984, Indonesia mendapatkan penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia: From Rice Importer to Self Sufficiency, karena keberhasilan swasembada berasnya. Ketika itu produksi beras Indonesia berada di urutan keempat dunia, di bawah China, India, Bangladesh, namun jauh di atas Vietnam dan Thailand (CNBC, 10/9/2023).
Pada 1989, Indonesia meraih Penghargaan Kependudukan PBB (United Nations Population Award/UNPA) karena keberhasilannya menekan pertumbuhan penduduk di bawah 2 persen. Belum lagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil rerata 6,4 persen per tahun pada 1980-1996. Oleh karena itu, Indonesia pernah disebut akan menjadi The Next Asian Tigers bersama Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Taiwan.
Pascareformasi, Indonesia menjadi lebih go international dan diakui masyarakat internasional, bukan hanya karena pembangunan fisik, melainkan juga karena stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, pemajuan HAM, dan komitmen pada isu-isu global. Pembangunan telah menjadi ”modal dasar” (leverage) yang membuat Indonesia naik derajat dari negara berkembang menjadi kekuatan menengah (middle power). Pembangunan jelas menjadi leverage diplomasi yang sangat penting, seperti halnya Singapura.
Paket diplomasi
Di masa lalu pelaksanaan politik luar negeri (polugri) Indonesia dikemas sebagai diplomasi pembangunan, yang di dalamnya lebih mengedepankan pembangunan ekonomi dalam paket TTI (trade, tourism, and investment). Sayangnya, capaian itu seakan terhenti di tengah persaingan kawasan dan global yang semakin keras.
Dari produsen beras terbesar keempat dunia, kini Indonesia menjadi negara pengimpor beras nomor lima dunia pada 2023 di bawah Filipina, China, Irak, dan Nigeria (databoks.katadata.co.id, 12/10/2023).
Dari negara pengekspor minyak dunia, Indonesia ”terpaksa” keluar dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 2008 karena tak mampu memenuhi kuota produksi dan jadi negara pengimpor (net importer) sejak 2003.
Di bidang otomotif, Indonesia yang sejak 1970-an ”memaksakan” dimasukkannya klausul transfer of technology dalam setiap perjanjian bilateral dan internasional hingga kini masih tidak lebih dari perakit (assembler) dan pasar.
Sementara potensi investasi yang besar tertutupi bayang-bayang rumitnya proses membuka usaha di Indonesia, negara yang bertekad secepatnya menjadi anggota OECD. Dalam laporan Bank Dunia, Doing Business 2020, Indonesia tidak mampu meraih posisi lima besar negara dengan kemudahan berusaha di Asia Tenggara.
Menurut Bank Dunia, ketertinggalan Indonesia karena lima hal: memulai usaha, perizinan konstruksi, pendaftaran properti, perdagangan lintas batas, dan penegakan hukum. Contoh, proses perizinan konstruksi masih memakan waktu lama, rerata 200 hari, menempatkan Indonesia di peringkat ke-73. Sementara Singapura, Malaysia, dan Thailand masuk 30 negara dengan peringkat kemudahan berusaha terbaik.
Selain itu, keramahan dan kemurahan hati untuk menarik investor sering kali berlebihan.
Masih segar dalam ingatan, betapa kecewanya Presiden Jokowi yang berbasah-basah menyetir golf cart, mengerahkan ribuan pemandu sorak (cheerleaders) anak SD, dan ”mengosongkan” Bali saat menyambut Raja Arab Saudi (April 2017), namun hasilnya jauh di bawah harapan. Investasi yang disepakati ”hanya” 8 miliar dollar AS dan para pedagang UMKM di Kuta dan Sanur dibuat ”gigit jari” karena hanya segelintir dari 1.500 anggota rombongan Kerajaan Saudi yang belanja.
Selain cepat berpuas diri (’complacency’), tampaknya Indonesia masih mengidap penyakit ’akut’ lainnya, seperti korupsi, ketidakpastian hukum, dan lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan.
Sementara China, hanya dengan mengerahkan beberapa puluh anak SD di Gedung Balai Rakyat Beijing, berhasil mendapatkan investasi 10 kali lipat, 80 miliar dollar AS. Belum lama berlalu, tak lama setelah selesainya perhelatan KTT G20 yang serba extravaganza, Indonesia malah diperkarakan (back-stabbing) Uni Eropa di WTO dalam kaitan kebijakan hilirisasi tambang mineral.
Sebagai middle power yang berharap menjadi bridge builder, Indonesia juga tampaknya canggung dalam melangkah. Ketika Iran dan Arab, dua negara sahabat, berkonflik, Indonesia mengirim Menlu ke Teheran dan Riyadh, sementara Xi Jinping memutuskan datang sendiri dan China pula yang akhirnya berhasil mendamaikan kedua seteru itu.
Ketika Indonesia berwacana untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea yang kian panas karena program nuklir Korea Utara, Singapura justru berhasil mempertemukan Kim Jong Un dan Donald Trump di ”negeri singa” itu (Juni 2018).
Ketika Jokowi nekat mengunjungi Kyiv dan Moskwa di awal perang Ukraina-Rusia tanpa cukup ”amunisi”, pada akhirnya Turki-lah yang berhasil mempertemukan kedua pihak di Istanbul, Juli 2023, guna menyepakatiBlack Sea Grain Deal.
Bahkan, ketika delapan menlu Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), termasuk Indonesia, terbang melakukan kunjungan diplomatik ke ibu kota lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (P5) untuk mengupayakan gencatan senjata dalam perang Israel-Hamas di Gaza, justru Qatar, Mesir, AS, dan Iran dalam waktu singkat berhasil mewujudkannya pada 24 November 2023.
Indonesia sebenarnya memiliki leverage kuat sebagai bridge builder, karena peran aktif dan kontribusinya dalam upaya damai masalah konflik Kamboja (1989) dan Filipina-MNLF (1996). Menteri Luar Negeri Ali Alatas pernah disebut sebagai kandidat kuat sekretaris jenderal PBB, menggantikan Javier Perez de Cuellar, namun ini tak terwujud karena Indonesia terganjal masalah Timor Timur.
Hingga saat ini Indonesia masih belum berhasil menempatkan putra terbaiknya untuk memimpin organisasi-organisasi internasional, terutama dalam kerangka PBB, meskipun sudah dicanangkan dalam kebijakan nasional kita.
Posisi Indonesia
Menurut Haass, dunia tidak lagi didominasi oleh satu atau lebih negara adidaya. Sebaliknya, ciri utama hubungan internasional pada paruh pertama abad ke-21 adalah nonpolaritas. Kekuasaan telah tersebar di antara sejumlah besar entitas yang mampu menggunakan pengaruhnya.
Berapa lama posisi strategis ini akan bertahan dan seberapa jauh negara bisa bertahan di kancah global, akan sangat bergantung pada kemampuan negara membenahi dirinya.
Selama ini kita tampaknya lebih terbuai oleh puji-pujian semu dan juga rasa puas diri (complacency) yang berlebihan sehingga merasa cukup sebagai middle power yang dikenal.
Padahal, SDA dan hayati Indonesia pun semakin habis: hutan raib dibabat, tambang mineral habis dikeruk, dan ikan di laut habis dijaring.
Tidak pada tempatnya lagi posisi silang di antara dua benua dan dua lautan dianggap sebagai leverage dalam diplomasi, karena dalam konteks geopolitik masa kini posisi tersebut lebih membawa konsekuensi kerawanan dan ancaman dari segala penjuru.
Sementara saat ini muncul semakin banyak middle power baru yang aktif di kancah internasional dalam rangka pemajuan pembangunan dan perdamaian, dan siap mengambil alih peran Indonesia.
Pascareformasi, Indonesia menjadi lebih ’go international’ dan diakui masyarakat internasional, bukan hanya karena pembangunan fisik, tetapi juga karena stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, pemajuan HAM, dan komitmen pada isu-isu global.
Paket TTI memang masih relevan saat ini, namun perlu disertai kreativitas dalam mengemasnya, sehingga tidak membuang-buang energi. Diakui atau tidak, kemasan Malaysia Truly Asia dan Amazing Thailand, misalnya, masih lebih bersinar di mancanegara dibandingkan Wonderful Indonesia.
Satu dasawarsa terakhir memang telah memperlihatkan kemajuan Indonesia, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Selain cepat berpuas diri (complacency), tampaknya Indonesia masih mengidap penyakit ”akut” lainnya, seperti korupsi, ketidakpastian hukum, dan lemahnya koordinasi antarpemangku kepentingan.
Artinya, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, bukan hanya dalam memberantas penyakit akut/ kronis, tetapi lebih penting lagi membangun keterpaduan dan komitmen untuk ”bertarung” di dunia internasional yang kompetisinya kian ketat.
Seperti kata Haass lagi, pembangunan di dalam negeri pada akhirnya menjadi faktor penentu dalam pelaksanaan polugri dan diplomasi. Dan mengadaptasi Harold Lasswell, dalam diplomasi pun Indonesia perlu berpegang pada adagium who gets what, when and how.
Baca juga: Arah Diplomasi Indonesia Tahun 2023
Jangan sampai, Indonesia, yang sudah lepas landas, malah terpaksa melakukan pendaratan darurat hanya karena kebocoran tangki pesawatnya, akibat keteledoran kita sendiri.
Dian Wirengjurit, Duta Besar dan Diplomat Utama