AS menggertak dan mengancam akan menggunakan veto agar draf resolusi untuk gencatan senjata di Gaza tidak bisa diadopsi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Upaya terbaru mendorong gencatan senjata di Gaza terganjal lagi. Tak hanya oleh Israel, tetapi juga Amerika Serikat. Dunia melihat ada wajah ganda AS dalam isu ini.
Konfirmasi terbaru wajah ganda Washington tecermin dari sikap mereka terhadap rancangan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB usulan Aljazair yang mendorong gencatan senjata demi kemanusiaan serta pembebasan seluruh sandera Israel di tangan Hamas segera dan tanpa syarat. Pemungutan suara atas rancangan resolusi itu dijadwalkan di DK PBB, New York, AS, Selasa (20/2/2024) waktu setempat.
Namun, seperti diberitakan, AS menggertak dan mengancam akan menggunakan hak veto agar rancangan resolusi tak bisa diadopsi. Melalui pernyataan, Sabtu (17/2/2024), Wakil Tetap AS di PBB Linda Thomas-Greenfield memastikan rancangan resolusi itu tidak akan bisa diadopsi (Kompas.id, 19/2/2024). Alasannya, rancangan resolusi itu membahayakan upaya AS mencari solusi atas konflik Gaza.
Perang Gaza memasuki bulan kelima, menelan korban lebih dari 29.000 warga Palestina dan sekitar 1.200 warga Israel, menyusul serangan Hamas ke Israel, 7 Oktober 2023. Sekitar 250 warga Israel disandera Hamas, lebih dari 100 orang diyakini masih ditahan di Gaza.
Blok negara-negara Arab di PBB mendorong gencatan senjata. Tidak hanya untuk menghentikan bencana kemanusiaan warga Palestina di Gaza, tetapi juga demi bebasnya sandera Israel di tangan Hamas.
Secara paralel, digelar perundingan tak langsung antara Hamas dan Israel dengan mediasi Qatar, Mesir, serta AS. Melalui diplomasi ulang-alik (shuttle diplomacy) Menteri Luar Negeri Antony Blinken, AS menawarkan paket ambisius: penghentian pertempuran—satu atau dua bulan, pertukaran sandera warga Israel dan tahanan Palestina plus lini masa menuju gencatan senjata permanen hingga rancangan komprehensif perdamaian Palestina-Israel, yang mencakup berdirinya negara Palestina dan pengakuan Arab Saudi atas Israel.
Proposal ambisius itu diungkapkan media AS, The Washington Post (14/2/2024), mengutip pejabat AS dan Arab. The Economist juga melansir rancangan damai yang belum pernah ditawarkan AS itu. Namun, Israel menolak rancangan ini.
Bagi Israel, opsi mengakhiri krisis hanyalah Hamas menyerah total dan melepaskan sandera atau, jika tidak, Israel akan menghancurkan Hamas dengan meneruskan gempuran ke Rafah, Gaza selatan, paling lambat awal Ramadhan atau 11 Maret. Seruan komunitas internasional agar Israel mengurungkan niat itu, mengingat masifnya dampak kemanusiaan yang akan muncul, tidak dipedulikan Israel.
Pada poin itu, kita belum melihat upaya yang benar-benar serius dari Washington untuk mencegah ancaman bencana kemanusiaan di Rafah.
Bahkan, melalui sejumlah tindakan, antara lain pembekuan dana bantuan untuk UNRWA, badan PBB yang mengurus pengungsi Palestina, rencana mengirim paket persenjataan baru untuk Israel, seperti dilansir The Wall Street Journal (17/2/2024), meneguhkan wajah ganda AS.