Terbangkan Kembali Burung-burung Manyar
Gagasan dan pemikiran Romo Mangun hidup hingga kini. Salah satunya Manusia 2045 dalam novel ”Burung-burung Manyar”.
Ilustrasi
Generasi sebelum tahun 2000-an termasuk generasi yang beruntung karena pernah berjumpa secara langsung dengan Romo Mangunwijaya. Perjumpaan bisa berupa tatap muka secara langsung maupun melalui kiprah-kiprah kemanusiaan yang beliau lakukan, seperti pendampingan kepada masyarakat Kali Code, Yogyakarta; warga Kedung Ombo Boyolali; atau lewat karya-karya yang dia hasilkan berupa buku dan artikel.
Menarik memahami kembali Manusia 2045 yang pernah digagas Romo Mangun dengan menghidupkan ”roh” dari novelnya yang berjudul Burung-burung Manyar: Nasionalisme dan Kekeluargaan.
Pergi terlalu pagi
Ketika Romo Mangun wafat, saya sedang berada nun jauh di Madagaskar. Saya hanya mendengarkan beritanya melalui radio yang biasa dipakai untuk mendengar berita-berita dari Tanah Air. Dan sore itu, saya amat kaget ketiga mendengar berita kepergian Romo Mangun ketika beliau sedang mengisi sebuah seminar di Jakarta.
Baca juga: 25 Tahun Wafatnya Romo Mangun, Imam yang Berkarya di Luar Altar
Saya menemukan jejak narasi yang indah dan mengesankan tentang kepergian Romo Mangun melalui catatan Ignas Kleden, ”Mangunwijaya telah meninggal dunia dalam suatu kematian yang demikian mudah dan cepat sehingga tidak segera meyakinkan teman-temannya pada Rabu siang 10 Februari 1999 di Hotel Le Meridien, Jakarta. Siang itu dia menjadi pembicara…. pada simposium dua hari yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia dengan tema ‘Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia’. Acara itu berakhir pukul 13.30 dan para peserta dipersilakan menuju ruang lain untuk makan siang. Romo Mangunwijaya masih berbicara dengan beberapa orang, dan terakhir bersama Sdr Mohamad Sobary. Kemudian dengan begitu saja dia menjadi lemas dan menahankan dirinya pada bahu Sobary yang lalu membaringkannya di atas karpet dan mencoba menolongnya dengan melakukan pijatan.” (Kompas, Jumat, 12 Februari 1999)
Di saat-saat terakhir hidupnya, Mangunwijaya masih memikirkan dunia perbukuan nasional dan peran buku dalam membentuk masyarakat baru Indonesia. Menariknya, tema membentuk masyarakat baru Indonesia sejalan dengan artikel yang pernah ditulisnya di harian Kompas dengan judul ”Tugas Generasi Muda demi Tahun 2045” (Jumat, 5 Desember 1997).
Beliau menulis ketika reformasi belum ”lahir”, dan beliau meninggalkan kita ketika reformasi baru seumur jagung. Kepergiannya yang terlalu pagi tidak menyurutkan semangat kita untuk meneruskan cita-citanya menuju Indonesia 2045. Hal itu bisa kita lihat dari banyak tulisan tentang Romo Mangun setelah beliau wafat.
Dalam artikel yang berjudul ”Tugas Generasi Muda demi Tahun 2045” tersebut Romo Mangun menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam memperjuangkan terwujudnya cita-cita Indonesia untuk mencapai tahun 2045 yang lebih baik. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan dan pemahaman yang kuat tentang sejarah serta kondisi sosial dan politik bangsa Indonesia untuk generasi muda. Romo Mangun begitu membanggakan para pejuang muda (yang wakili oleh Soekarno-Hatta dan orang-orang muda sezaman). Mereka adalah para pemuda yang ”berani memersiapkan paradigma baru bagi hari depan bangsa”.
Pesan utama dari novel itu adalah pentingnya semangat nasionalisme, kejujuran, dan keadilan bagi generasi muda Indonesia untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan maju pada tahun 2045.
Romo Mangun menegaskannya dalam tiga modal. ”Pertama, hati yang mampu mendengar dan ikut merasakan penderitaan rakyat dan secara pribadi tak gentar menderita pula. Kedua, mereka berinteligensi tinggi, mampu menyerap segala yang baik dan bijak dari budaya dunia, Asia, Eropa, Amerika dan benua-benua lain. … Dan yang ketiga, Soekarno-Hatta dan kawan-kawan selalu mencari jalan damai, jalan tanpa kekerasan. Tanpa mengabaikan hak membela diri bila kekerasan dipakai lawan. Dari tiga bentuk modal itu tentulah ada satu dua yang masih kurang dan perlu ditingkatkan pada generasi muda sekarang, tergantung situasi dan posisi.” (ibid, alinea 13 dan 14)
Pesan yang sudah berusia 27 tahun itu tetaplah dan bahkan semakin relevan menuju Indonesia 2045. Namun sayang, Romo Mangun pergi terlalu cepat sehingga tidak sempat menyaksikan gagasannya tentang ketiga modal itu benar-benar dihidup-wariskan orang muda dewasa ini.
Terbangkan kembali ”Burung Manyar”
Mangunwijaya, tokoh Katolik, sastrawan, arsitek, dan banyak predikat lain yang melekat kepadanya, merupakan sosok yang sangat peduli dengan bangsa Indonesia. Dari jejak-jejak gagasan yang ditinggalkan dalam bentuk artikel atau buku kita menemukan salah satu keprihatinan yang sangat mendalam tentang masa depan bangsa Indonesia dan orang muda, terutama mengenai keadaan orang muda di tahun 2045, yaitu tahun di mana Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya.
Mari kita coba melihat kembali roh novel Burung-burung Manyar. Pesan utama dari novel itu adalah pentingnya semangat nasionalisme, kejujuran, dan keadilan bagi generasi muda Indonesia untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan maju pada tahun 2045. Novel ini menggambarkan perjuangan tokoh nasionalis untuk membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan, yang menjadi contoh bagi generasi muda untuk tetap mempertahankan semangat perjuangan dan nasionalisme dalam menghadapi tantangan dan memajukan bangsa.
Dari jejak-jejak gagasan yang ditinggalkan dalam bentuk artikel atau buku kita menemukan salah satu keprihatinan yang sangat mendalam tentang masa depan bangsa Indonesia dan orang muda.
Selain itu, kejujuran dan integritas dalam berkehidupan bermasyarakat juga ditekankan dalam novel ini sebagai prinsip penting bagi mewujudkan tata kelola yang baik dan meraih kemajuan yang berkelanjutan.
Dalam kaitannya dengan visi Indonesia 2045, pesan utama novel ini menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia harus memiliki semangat nasionalisme yang kuat, integritas dan kejujuran yang tinggi, serta komitmen untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan adil. Sebagai penerus bangsa, generasi muda memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan visi Indonesia 2045 yang lebih maju dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, mengambil nilai-nilai dari novel Burung-burung Manyar, generasi muda Indonesia diharapkan dapat mengembangkan semangat perjuangan dan semangat nasionalisme, serta selalu berjuang untuk keadilan sosial dan kemajuan Indonesia yang berkelanjutan.
Agar bisa mewujudkan semua itu, tentu saja sorotan lain dari novel itu yang patut mendapat atensi kita adalah peran keluarga dan sosial dalam membentuk karakter dan sikap seseorang, serta pentingnya kejujuran dan konsistensi dalam bersikap dan bertindak (satunya kata dan perbuatan yang tidak mudah berubah sesuai kepentingan dan kebutuhan).
Baca juga: Bayar Utang pada Rakyat
Sekali lagi, menurut hemat saya, Romo Mangun menekankan bahwa keluarga yang harmonis dan lingkungan sosial yang membimbing akan membantu seseorang (orang muda) untuk mendapatkan pengalaman dan pemahaman terhadap keindahan dan kebenaran. Keluarga dan lingkungan sosial dapat menjadi aset yang paling mahal dalam hidup seseorang. Kolaborasi peran keluarga dan lingkungan sosial yang baik akan membawa seseorang menjadi berkat bagi sesama.
Akhirnya, di tangan generasi mudalah burung-burung manyar siap diterbangkan kembali dalam konteks kekinian. Semoga harapan Romo Mangun menjadi kenyataan, sebagaimana yang diungkapkan di akhir tulisan pada 5 Desember 1997 itu. ”Pada perayaan HUT RI 100 tahun nanti (semoga sebelumnya sudah, berkat globalisasi akselerasi perbaikan hidup planeter) kita sudah akan memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas ketakutan.”
Alfred B Jogo Ena, Direktur Penerbit Bajawa Press; Anggota Panitia Haul 25 Tahun Wafatnya Romo YB Mangunwijaya; Alumnus Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta