Bayar Utang pada Rakyat
Lebih dari separuh hidupnya didedikasikan bagi rakyat yang terpinggirkan agar bisa dihargai harkatnya.
Ilustrasi/Heryunanto
”Aku ingin membayar utang pada rakyat”.
YB Mangunwijaya
Pagi itu, bersandar di pundak sahabatnya, Mohamad Sobary, seusai acara seminar perbukuan di Hotel Le Meridien, 10 Februari 1999, YB Mangunwijaya Pr (1929-1999) kena serangan jantung.
Tak lama kemudian, ia meninggal di RS Carolus, Jakarta. Ratusan pelayat silih berganti memenuhi Gereja Katedral sepanjang malam. Esok hari, jenazah diterbangkan dengan pesawat bantuan kawan dekatnya sejak mahasiswa di Jerman, BJ Habibie, ke Yogyakarta.
Ribuan pelayat memadati jalan dari Bandara Adisutjipto menuju kampus Seminari Tinggi, Kentungan, kapel seminari, sampai proses mengantarkannya ke peristirahatan terakhir di pemakaman KAS, belakang seminari. Pemakaman Romo Mangun ibarat pemakaman seorang raja.
Membela yang terpinggirkan
Romo Mangun masuk seminari ketika usia sudah tidak muda lagi. Semangat dasar sebagai fokus pelayanannya: ”aku ingin membayar utang pada rakyat”.
Semangat ini menjadi elan karya dan spiritualitas imamatnya, berbuah lebat dalam berbagai bentuk: arsitektur, sastra-budaya, sosial-politik, gerakan sosial. Pembelaan dan pendampingan rakyat yang terpinggirkan dan tersisih, yang terlindas roda kemajuan yang mengabaikan martabat kemanusiaan.
Perjuangan membela yang miskin dan terpinggirkan demi penghargaan harkat kemanusiaan bukanlah jalan pelayanan tanpa bahaya.
Kepergiannya meninggalkan jejak langkah karya warna-warni, digerakkan oleh naluri kasih penghargaan pada harkat kemanusiaan. Ia membela dan mendampingi kelompok masyarakat miskin dan terpinggirkan: warga masyarakat yang disebut sebagai ”sampah” (Kali Code) ataupun ”tumbal” proyek pembangunan (Kedung Ombo).
Hal itu menyebabkan ia sering berseberangan dan berbenturan dengan aparat/pemerintah. Yang ditentangnya bukanlah proyek pembangunan, melainkan cara menyikapi dan proses pelaksanaan yang menistakan hak asasi manusia.
Naluri, kasih, semangat, dan hati membela yang terpinggirkan tak hanya dilakukan lewat kata-kata (seminar, ceramah, khotbah), tetapi juga tulisan (artikel, buku fiksi, nonfiksi).
Pembelaan dan pendampingan juga dilakukan dalam beragam karya pemuliaan manusia (arsitektur, sastra, sosial politik, sastra-kebudayaan), sekaligus pembudayaan jangka panjang lewat konsep dan praksis pendidikan sekolah merdeka dengan mendirikan SD Eksperimental Mangunan, Kalasan.
Memorabilia tentang rohaniwan YB Mangunwijaya ditampilkan dalam pameran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 di Jogja National Museum, Yogyakarta, Kamis (14/10/2021).
Sekolah ini mengeksplorasi gagasan dasar pendidikan Romo Mangun: manusia yang eksploratif, kreatif, dan integral. Sampai saat ini sekolah itu terus berkembang, setia dengan kekhasan Romo Mangun: sekolah untuk orang miskin dan terpinggirkan, tetapi sebagai sekolah eksperimental (penyeragaman adalah racun kreativitas).
Gagasan-gagasannya menerobos sekat waktu. Setelah kepergiannya, karya, gagasan, dan perjuangannya membela hak- hak kelompok terpinggirkan dikenang dan coba diresapi sebagai teguran-teguran atas nama kemaslahatan bersama.
Karena itu, ia disebut sebagai guru kemanusiaan dan guru kebangsaan, serta sekaligus guru iman, karena panggilan hidupnya sebagai rohaniwan.
Lebih dari separuh hidupnya didedikasikan bagi rakyat yang terpinggirkan agar bisa dihargai harkatnya, agar bisa berkembang hidup sebagai manusia merdeka, bangkit dari mengidap sakit kronis inlander. Oleh karena itu, Romo Mangun juga dikenal sebagai seorang aktivis.
Yang ditentangnya bukanlah proyek pembangunan, melainkan cara menyikapi dan proses pelaksanaan yang menistakan hak asasi manusia.
Tidak tiba-tiba
Romo Mangun adalah homo faber, manusia pembuat. Ia mencintai rakyatnya, masyarakatnya, bangsa dan negaranya, tidak hanya dengan kata-kata atau khotbah, tetapi lewat berbagai karya. Perjuangan membela yang miskin dan terpinggirkan demi penghargaan harkat kemanusiaan bukanlah jalan pelayanan tanpa bahaya.
Sejak awal ia sadar, melawan arus umum (nggiwar) berarti memasuki zona tidak nyaman. Romo Mangun siap tidak populer dan siap mati untuk itu.
Dengan izin Uskup Keuskupan Agung Semarang Justinus Kardinal Darmoyuwono, pemimpinnya waktu itu, dia tinggal dan hidup bersama di lingkungan ”sampah” masyarakat di pinggir Kali Code.
Dengan demikian, kata-kata dan karyanya tidak sekadar alat komunikasi, tetapi juga penuh kuasa, mampu menggerakkan naluri penghargaan kemanusiaan, tanpa pamrih kekuasaan, popularitas, pujian, atau kepentingan elektoral jabatan publik.
Elan pembelaan pada masyarakat terpinggirkan dan disisihkan tidak tumbuh berkembang tiba-tiba, tetapi sebuah keutamaan yang berkembang pelan-pelan dan bertahun-tahun.
Setelah terlibat dalam medan perjuangan bersenjata dalam Tentara Pelajar (TRIP), ia tergerak ucapan komandannya, Mayor Isman, di Malang. Mas Isman meminta rakyat tidak mengelu-elukan pasukan TRIP sebagai pahlawan, sebab tangan mereka ”berlumuran darah” membunuh orang, merampok, dan membakar rumah.
Ucapan komandannya itu membuat hatinya gelisah. Ibarat pelatuk yang memantik motivasinya. Terjadilah titik temu antara benih keberpihakan dan niat membantu rakyat sebagai medan perjuangan yang baru. Perjuangan kemanusiaan, tidak lagi dengan kokangan bedil.
Proses formasi panggilan dan pilihan hidupnya didasari kajian ilmiah filsafat dan teologi dalam karya-karyanya kemudian. Sebagai rohaniwan, sepulang dari Jerman menjalani tugas belajar sebagai calon arsitek, ia ditugasi berkarya di rumah retret dan paroki Salam, Magelang. Di sana dia mengerjakan jenis-jenis pekerjaan sangat sederhana, seperti membersihkan kamar mandi dan toilet yang baru saja dipakai peserta retret yang dia bimbing sebelumnya.
Baca juga: Petruk
Elan kecintaannya pada penghargaan martabat manusia semakin terbentuk dan berkembang. Anak sulung dari 12 bersaudara keluarga guru ini tetap setia dengan panggilan dan pilihannya: keluar dari zona nyaman, ikut mengantar bangsa ini keluar dari belenggu kemapanan dan sikap tunduk pada hal-hal yang tidak adil.
Dengan proses kepemimpinan transformatifnya yang dihasilkan dari praksis (praktik dan refleksi), Romo Mangun menghidupi pilihan karya imamatnya sampai meninggal.
Warisan keteladanan dan karyanya menjadi abadi.
St Sularto, Wartawan Senior