Kapal Menuju Troya
Narasi ”pilpres satu putaran” yang dimotori salah satu konsultan politik senior bisa berguna dan bisa berbahaya.
Indonesia telah memilih. Hitungan cepat Litbang Kompas per 14 Februari 2024 menunjukkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul mendekati 60 persen dari total sampel. Akankah lilin masih menyala di ujung terowongan?
Troya mengalami kehancuran di abad ke-13 sebelum Masehi (SM). Dasarnya sederhana, ambisi pangeran yang berlebihan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Alexander, anak Priamos dan Hekabe, kembali ke istana setelah bertumbuh dewasa sebagai penggembala dengan nama Paris. Tak disangka, kembalinya Pangeran Troya itu menjadi awal dari akhirnya kejayaan Troya. Paris masih asing dengan tugas sebagai pangeran.
Tentunya, ia harus belajar seperti kakaknya, Hektor, yang pandai berperang. Priamos lantas memberinya tugas perdana, yaitu mengunjungi Menelaos— adiknya Agamemnon yang naik takhta setelah Atreus, ayah mereka, mangkat—di Sparta.
Misi Paris adalah memperkuat hubungan Troya dengan Sparta melalui peluang perkawinan dengan putri Menelaos yang masih remaja—sebagaimana tertuang dalam surat Priamos untuk Menelaos. Setibanya di Sparta, sang pangeran malah jatuh cinta pada Helena, istri Menelaos, lalu memilih untuk kawin lari.
Peristiwa ini mendasari perang besar yang tak lepas dari agenda politik para dewa-dewi di Olympus. Apollo, Artemis, Afrodit, dan Ares, misalnya, berpihak pada Troya, sedangkan Hera, Poseidon, Athena, dan Hefaistos memihak Yunani. Zeus sendiri netral.
Seluruh Yunani bersatu menggempur Troya dalam perang sepuluh tahun dengan alasan ”memulihkan martabat Yunani” yang dinodai Pangeran Troya. Odysseus, Raja Itacha, salah satu sosok besar dalam epos Yunani dan tokoh kunci dalam Odyssey—karya Homeros (sekitar abad ke-8 SM)— sudah berusaha keras untuk absen dari perang—bahkan berpura-pura gangguan ingatan untuk menghindari perang.
Politik dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang. Inilah bangunan dasar berpikir untuk memahami apa yang disebut ”gejala Kawasan” di Asia Tenggara pada dekade kedua abad ke-21.
Ada alasan personal, misalnya, masa lalu yang kurang akur dengan Menelaos. Ujungnya, Odysseus bergabung juga dengan koalisi besar bersama Arkhilles yang berambisi untuk membunuh Hektor, pangeran sulung Troya.
Menarik sekali, di balik alasan ”martabat Yunani”, koalisi besar yang menyerang Troya sesungguhnya digerakkan oleh ambisi ekonomi. Sparta, Athena, dan kota lain di Yunani yang ingin menguasai perdagangan laut. Ketika itu, ekonomi Troya begitu kokoh karena memegang kendali penuh atas jalur dagang laut yang menghubungkan Asia dan Eropa.
Gejala kawasan
Kisah 34 abad yang lalu itu selalu relevan secara transhistorik—setidaknya Iliad dan Odyssey karya Homeros dibaca banyak orang hingga hari ini. Sejarah kekuasaan adalah sejarah ambisi. Politik dan ekonomi ibarat dua sisi mata uang. Inilah bangunan dasar berpikir untuk memahami apa yang disebut ”gejala Kawasan” di Asia Tenggara pada dekade kedua abad ke-21.
Gejala paling menonjol adalah kembalinya rezim lama ke ranah kekuasaan. Bongbong Marcos Junior di Filipina, putra diktator Ferdinand Marcos yang tumbang oleh people power pada 1986, adalah kisah terbaru. Bongbong berkuasa sejak 2022 setelah menggandeng Sara Duterte-Carpio, putri mantan Presiden Rodrigo Duterte (2016-2022). Keduanya kini pecah kongsi karena Duterte menentang ambisi Marcos yang ingin mengubah ketentuan masa jabatan dalam konstitusi.
Contoh lain adalah pulihnya pengaruh Thaksin Shinawatra di Thailand sejak 2023 lalu. Beberapa jam setelah Thaksin tiba 21 Agustus 2023 di Bangkok dari pengasingan selama 15 tahun, kebuntuan di parlemen tiba-tiba terpecahkan dengan terpilihnya Srettha Thavisin dari Partai Pheu Thai sebagai perdana menteri (PM) baru. Thavisin adalah taipan real estat yang lama dekat dengan Thaksin—bahkan ikut membela PM Yingluck Shinawatra, adik kandung Thaksin Shinawatra, yang menang pemilu 2011, saat didesak mundur dari jabatannya pada 2014 silam. Meski tidak sedarah biologis, Thaksin dan Thavisin sedarah ideologis dan sehaluan politik. Keduanya pun dipandang sebagai oligarki sipil paling berpengaruh dalam politik modern Thailand.
Ambisi ekonomi
Kembali soal Perang Troya! Koalisi besar Yunani melawan Troya disatukan oleh ambisi ekonomi, bukan sekadar perebutan Helena oleh Pangeran Troya yang belum cukup pengalaman dalam politik. Di sini, kita memahami bagaimana ambisi ekonomi berbalut taktik politik dapat mengubah sejarah.
Pemilu 2024 merupakan momentum sejarah yang krusial. Hasilnya akan menentukan tujuan: apakah untuk merawat mimpi menuju ”Indonesia Emas” 2045 ataukah mewujudkan ambisi penguasaan ekonomi dalam konteks economic spoils, rampasan ekonomi.
Dua kontingensi itu membawa kita ke persimpangan. Maka, partisipasi di pemilu kali ini adalah keharusan sejarah dan kepedulian moral untuk merawat masa depan Indonesia.
Yang jelas, politik dan ekonomi, setidaknya bagi kaum Schumpeterian, sama-sama dapat dikomersialkan. Masuk akallah kalau banyak pemodal besar berkecimpung di dalam dan di balik koalisi politik. Benar yang dikatakan Jeffrey Winters (2011), pada hakikatnya pertarungan demokrasi adalah persaingan antara kekuatan uang (baca: oligarki) dan partisipasi rakyat.
Pemilu jurdil
Demokrasi memungkinkan siapa pun melakukan apa pun sepanjang itu tidak menabrak hukum, nalar, dan nurani publik. Narasi ”pilpres satu putaran” yang dimotori salah satu konsultan politik senior bisa berguna dan bisa berbahaya.
Berguna dalam rangka menghemat anggaran negara dan meminimalkan potensi gangguan keamanan negara. Dengan catatan, prosedur dan prosesnya betul-betul mencerminkan suara rakyat yang adalah suara Tuhan. Berbahaya kalau melahirkan kecurigaan adanya ”praktik pemaksaan” yang memancing gejolak politik yang tak terkendali.
Namun, apalah artinya semua itu ketika rakyat menjadi alat mainan rezim untuk memuaskan ambisi segelintir raksasa yang melawan prinsip- prinsip etis tentang hidup yang berkeadaban.
Pemilu bukan soal siapa menjadi apa. Pemilu adalah bentuk keterlibatan tertinggi rakyat dalam mengejawantahkan mimpi dan harapan mereka tentang ”hidup bersama sebagai negara-bangsa” melalui kepemimpinan politik yang mengutamakan rakyat sebagai tujuan ontologis kekuasaan.
Intimidasi, pragmatisasi kebijakan publik, manipulasi suara, dan politik uang adalah iblis terburuk yang menghantui roh dan merusak jiwa demokrasi itu sendiri. Kita percaya setiap orang akan berlaku adil, tetapi pengawasan pemilu tetaplah fundamental untuk mencegah serigala-serigala melumat domba-domba yang mungkin sedang duduk tenang.
Merawat mimpi
Bagaimanapun, politisi berhak menyulap diri dalam pemilu. Namun, rakyat juga berhak untuk bersikap mandiri. Maka, seruan moral para profesor dari berbagai kampus belakangan adalah nyanyian nurani yang menguatkan batin demokrasi. Saya percaya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai orang baik dan negarawan yang berpengalaman akan melihat dinamika tersebut sebagai upaya merawat roh demokrasi an sich.
Sebagai pemimpin yang lahir dari rahim rakyat, dan sukses memperjuangkan nasib rakyat dalam sepuluh tahun terakhir, Jokowi lebih mengerti tentang betapa mulianya suara dari kebeningan batin.
Kembali ke Homeros
Homeros memang hanya menulis kisah enam minggu terakhir dari perang panjang Yunani melawan Troya. Namun, karya-karyanya mau melestarikan semangat juang dan kepahlawanan dalam sejarah Yunani yang tentunya inspiratif bagi pembaca lintas zaman.
Kita tidak ingin ambisi Pangeran Troya menjadi setetes nila yang merusak susu satu belanga. Kalau itu terjadi, kita sedang membuka pintu kandang domba agar kawanan serigala menyerbu masuk dengan segala bentuk ambisi ekonomi yang liar dan rakus.
Soeharto unggul dalam 32 tahun menjaga keamanan negara. Namun, apalah artinya semua itu ketika rakyat menjadi alat mainan rezim untuk memuaskan ambisi segelintir raksasa yang melawan prinsip- prinsip etis tentang hidup yang berkeadaban.
Keamanan palsu dalam perspektif disciplinary society-nya Michael Foucault adalah bom waktu yang bakal meruntuhkan semua fondasi dan dinding kastel—bahkan tembok kota Troya sekalipun yang terkenal kokoh pada masanya!
Refleksi
Ada tiga renungan yang perlu untuk pemilu di masa depan. Pertama, ambisi itu sah, tetapi harus selalu disertai dengan kebajikan supaya aksi perebutan kekuasaan dalam pemilu menjadi arena pertempuran gagasan dan ujian kedewasaan dalam berdemokrasi.
Ambisi harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral, bukan hanya secara legal.
Kedua, memilih pemimpin bukan perihal selera. Memilih adalah tindakan personal sekaligus sosial yang mengandung deontologi moral yang mulia.
Pilihan kita dalam pemilu adalah bentuk sumbangsih terhadap demokrasi. Maka, memilih dengan bijak dan rasional adalah keniscayaan yang menghidupkan prinsip ketuhanan dalam realitas yang profan, persatuan dalam perbedaan yang telanjur antagonistik, dan kebersamaan dalam kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketiga, kebimbangan dalam menentukan sikap adalah manusiawi. Teori memberi tahu kita bahwa keluarga, lingkungan bergaul, termasuk afiliasi konvensional dalam bentuk apa pun turut membentuk preferensi politik individu. Namun, sejarah bangsa memanggil kita untuk bertindak mandiri demi kemaslahatan semua. Maka, menggunakan hak pilih bijak adalah tindakan mulia yang mengubah sejarah.
Koalisi besar pasukan Yunani mengerahkan kapal-kapal perang menuju Troya karena terdorong ambisi ekonomi yang berbalut argumen luhur ”memulihkan martabat bangsa”.
Kita, sebagai rakyat, harus bersatu dalam satu kapal ”koalisi kebangsaan” yang bergerak melewati karang dan badai ambisi dangkal para pemburu rente demi merawat martabat, mimpi, dan harapan kita tentang demokrasi berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Boni Hargens Analis Politik