Upaya supaya Rakyat Tidak Sakit
Upaya memberdayakan masyarakat mampu mencegah jatuh sakit adalah dengan mengedukasi. Puskesmas menjadi ujung tombak.
Ihwal kesehatan, agak kecewa menyimak debat calon presiden pada 4 Februari 2024. Menjawab pertanyaan konsep preventif-promotif, capres Anies Baswedan dan capres Ganjar Pranowo merespons sebatas konsep, tak dijabarkan bagaimana implementasinya.
Jawaban capres Prabowo pun tidak sejalan dengan konsep pembangunan kesehatan kita sejak awal. Bahwa bukan membangun lebih banyak rumah sakit dan menambah peralatan medis penyelesaian masalah kesehatan kita, melainkan bagaimana melebarkan layanan kesehatan primer (primary health care) supaya rakyat tidak sakit.
Sejak Instruksi Presiden Puskesmas di era Presiden Soeharto, pembangunan kesehatan kita sudah tepat, bagaimana memberdayakan rakyat lewat 12 program puskesmas. Bahwa program pengobatan (curative) hanyalah satu dari semua program puskesmas, selebihnya program komprehensif untuk promotif-preventif.
Baca juga: Rapor Kesehatan Kita
Di puskesmas ada program ibu dan anak supaya cukup gizi keluarga, mencegah kejadian tengkes, ada kartu sehat menilai tumbuh-kembang anak optimal, supaya angka kematian ibu dan anak rendah, cakupan imunisasi meliputi semua yang memerlukan, kesehatan lingkungan disiangi, kebersihan perorangan lebih dari cuma pintar mencuci tangan, program kesehatan sekolah, dan posyandu.
Keberhasilan layanan puskesmas menentukan umur harapan hidup (life expectancy at birth), yang terkait dengan indeks pembangunan manusia (human development index) juga. Kita membaca indikator umur harapan hidup yang juga ditanyakan dalam debat, sesungguhnya dipengaruhi oleh kualitas layanan medis, angka kematian ibu dan bayi, tingkat pendidikan, tingkat kemiskinan, selain oleh faktor lingkungan. Semua ada di tangan puskesmas.
Revitalisasi puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak layanan medis menjadi penting untuk dikuatkan layanan dan tanggung jawabnya. Fakta yang kita lihat saat ini, selain jumlahnya belum memadai, kinerjanya tidak optimal, padahal vital untuk kondisi masyarakat kita.
Masih banyak puskesmas tanpa dokter, selain tidak semua program puskesmas terimplementasikan dengan baik, berdampak pada derajat kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Nyatanya belum sebagaimana ditargetkan, yakni masyarakatnya belum menjadi sehat semua. Masih banyak masyarakat yang berobat untuk sakit yang sama, yang berarti upaya pencegahan penyakit oleh puskesmas tetap tidak menambah cerdas masyarakat untuk mencegah agar penyakit yang sama tidak datang berulang.
Bahwa kinerja puskesmas dinilai berhasil salah satunya apabila yang datang berobat dari waktu ke waktu semakin berkurang. Ini berarti masyarakatnya sudah dibuat cerdas berupaya agar tidak perlu jatuh sakit.
Untuk bisa begitu, dua pertiga jam kerja kepala puskesmas harus berada di lapangan, bukan di kamar praktik. Kunjungan lapangan dimaksudkan antara lain untuk menemukan masalah kesehatan di masyarakat, selokan, jamban keluarga, apa saja penyakit yang dihadapi masyarakat, adakah yang belum diimunisasi, sudahkah benar terapi TBC-nya, adakah rumah yang perlu di-fogging, memotivasi semua ibu agar mau membawa bayinya ditimbang di posyandu.
Lebih besar peran puskesmas untuk tugas mengedukasi, menciptakan kader kesehatan, kader posyandu, kader KB, dan kesehatan lingkungan, semua itu bisa ditangani SKM.
Faktanya, tidak semua kinerja dokter puskesmas terakreditasi baik. Hanya segelintir dokter teladan yang menunaikan tugasnya seturut program yang digariskan. Selebihnya harus diakui, lebih banyak dokter puskesmas yang tidak tekun membina masyarakat sebagaimana diminta program bisa jadi akibat penghargaan pemerintah terhadap tenaga kesehatan yang kurang layak, mereka perlu mencari tambahan. Ini dilematis.
Pengalaman dari dahulu, tidak mudah mendistribusikan tenaga dokter. Hambatannya hampir semua lulusan dokter tidak mau memilih tugas di daerah terpencil karena alasan penghargaan pemerintah yang kurang layak. Sekolahnya berat dan lama, memunculkan kecemburuan profesi melihat sejawatnya di negara serumpun dihargai lebih layak sebagai profesional dokter. Dahulu banyak dokter Asia brain-drain untuk alasan mendapat penghargaan lebih layak.
Terobosan mengatasi membangun puskesmas yang lebih berkinerja, idealnya kepala puskesmas cukup dipegang sarjana kesehatan masyarakat (SKM), bukan dokter. Selain biaya sekolah SKM tidak setinggi sekolah dokter, SKM juga lebih cocok menatalaksana puskesmas karena sejatinya pekerjaan puskesmas lebih manajerial ketimbang teknis medis.
Tenaga dokter yang ditempatkan di puskesmas bisa frustrasi karena lebih banyak ilmunya yang tidak terpakai di puskesmas melihat lebih banyak penyakit masyarakat yang sebetulnya bisa ditangani perawat dan bidan puskesmas. Lebih besar peran puskesmas untuk tugas mengedukasi, menciptakan kader kesehatan, kader posyandu, kader KB, dan kesehatan lingkungan, semua itu bisa ditangani SKM.
Mengedukasi rakyat
Bahwa konsep pembangunan kesehatan kita sejak dahulu sudah baik, bahkan pernah diadopsi Bangladesh, Thailand, dan negara serumpun. Kita sudah punya Sistem Kesehatan Nasional, tetapi kemudian terlupakan, ganti presiden ganti konsep hingga upaya preventif-promotif telantarkan.
Itu pula alasan saya pikir, kenapa BPJS Kesehatan pernah tekor puluhan triliun rupiah karena rakyat yang diliput sudah sakit semua. Sekali lagi penyebabnya oleh karena pemerintah gagal memberdayakan rakyat mampu membatalkan atau menggagalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya. Selain itu, karena layanan kesehatan berorientasi kuratif, maka anggaran kesehatan seberapa pun akan selalu habis untuk belanja obat dan membayar rumah sakit.
Pembangunan kesehatan kita sekarang ini direcoki oleh munculnya industri kesehatan (industrial medical complex) lebih dua dasawarsa lalu. Merasuknya pengutamaan pembangunan rumah sakit ketimbang puskesmas yang sesungguhnya tidak cocok dengan kondisi rakyat kita yang lebih butuh layanan kesehatan primer puskesmas.
Recokan industri kesehatan ini yang menambah tinggi ongkos berobat. Penyakit empat per lima rakyat tidak membutuhkan peralatan medis canggih, lebih membutuhkan jamban keluarga dan air bersih.
Bangladesh yang pernah mengadopsi konsep pembangunan kesehatan kita, konsep preventive medicine, membuktikan, keberhasilan mengangkat derajat kesehatan rakyat bukan dengan menambah anggaran kesehatan, melainkan dengan upaya layanan kesehatan primer. Ini sebagaimana yang menjadi konsep dasar pembangunan kesehatan kita, yakni upaya memberdayakan masyarakat mampu membatalkan jatuh sakitnya, dengan cara mengedukasi.
Baca juga: Memajukan Layanan Kesehatan Primer atau Rumah Sakit?
Kunci penyelesaian masalah kesehatan kita yang mana pun ialah edukasi. Ingat, dahulu Soeharto membuat kelompencapir untuk petani, menjadi pintar bertani lewat penyuluhan di radio, dan ternyata berhasil mencerdaskan petani.
Kementerian Kesehatan bisa mengadopsi itu untuk menyuluh masyarakat lewat radio dan kita punya banyak stasiun TV juga. Dibuat regulasi yang mewajibkan radio dan stasiun TV untuk rutin menyuluh kesehatan dengan materi preventif disusun oleh pusat.
Stasiun televisi kita selama ini tidak ada program edukasi kesehatan, semua hiburan. Ironis, ketika masyarakat belum lengkap wawasan hidup sehatnya, disuguhi hanya hiburan. Kita melihat masyarakat baru terbiasa cuci tangan sejak pandemi Covid-19, sebelumnya terabaikan, padahal sebetulnya hanya dengan menggalakkan edukasi cuci tangan saja pun semasa pandemi Covid-19, ada hikmah kita bisa mencegah lebih sepuluh penyakit diare.
Kita masih berkutat pada belanja obat, yang menghabiskan banyak anggaran kesehatan nasional, jauh bisa lebih rendah bila mengalokasikan untuk ongkos mengedukasi (baca: komunikasi-informasi-edukasi) masyarakat. Penghematan untuk yang bisa lebih bersesuaian dengan kebutuhan rakyat menjadi lebih sejahtera, yakni upaya menciptakan rakyat yang tidak perlu jatuh sakit.
Handrawan Nadesul, Dokter, Motivator Kesehatan