logo Kompas.id
OpiniJurang Otoritarianisme...
Iklan

Jurang Otoritarianisme Kompetitif

Sidang MKMK dan jurnalisme investigatif telah mengungkap bagaimana cabang kekuasaan eksekutif mengontaminasi MK.

Oleh
ARYA BUDI
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/4_wr4TY_vgCe-_rfcu09k4R7eqQ=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F14%2Fb4ce3809-870c-4838-9ccd-e44c5ae1a83e_jpg.jpg

Lebih dari satu dekade lalu, seorang profesor Harvard bernama Steven Levitsky bersama koleganya, Lucan Way, merumuskan sebuah bentuk rezim pemerintahan otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarianism).

Terinspirasi dari banyaknya otokrat di sejumlah negara setelah berakhirnya Perang Dingin yang ternyata bukan hanya memelihara pemilu, melainkan juga berkontestasi secara kompetitif dalam pemilu. Sederhananya, rezim ini adalah hasil ”kawin silang” antara cara kerja pemerintahan otoritarianisme dan demokrasi elektoral.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Tentu ada cukup banyak tipologi rezim pemerintahan yang dirumuskan para ilmuwan politik dan ratusan adjective yang melengkapi demokrasi sebagai kata benda. Tetapi, yang menarik, karakteristik dasar otoritarianisme kompetitif adalah penggunaan institusi dan mekanisme demokrasi elektoral untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan sang pemimpin rezim petahana secara terus-menerus.

Pluralitas politik tetap hadir, bukan seperti monopolitik era Orde Baru, dan bahkan oposisi tetap mempunyai ruang bergerak. Sang penguasa juga tetap bertarung secara kompetitif dengan aktor politik yang jamak ataupun dengan oposisi rival. Hanya, terdapat rekayasa elektoral dan rekayasa institusional yang dikondisikan negara untuk memastikan kemenangan pemilu ada di pihaknya.

Indonesia di bawah Soeharto tak bisa masuk ke tipologi ini karena sang otokrat memelihara pemilu yang bahkan tak lagi kompetitif. Namun, beberapa negara di Eropa Timur, seperti Hongaria dan Polandia, menjadi contoh terkini sebagaimana dikupas Levitsky dan Way dalam publikasi terbaru mereka di Journal of Democracy, akhir 2020.

Sementara di kawasan tetangga kita, Malaysia dan Singapura sudah lama menjadi contoh bekerjanya rezim ini. Sayangnya, suka atau tidak, Indonesia saat ini sedang berjalan menuju tepi jurang otoritarianisme kompetitif.

Jika sang petahana tidak menekan tombol untuk menghentikan segenap campur tangan instrumen kekuasaan sebagai ’tim sukses’, dia tidak hanya akan mewariskan model pemerintahan developmentalis, tapi lebih dari itu: cara kerja kekuasaan ’tepi jurang’.

Rantai sebab

Setidaknya, ada beberapa peristiwa penting yang sudah diketahui publik, tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa ”langkah-langkah” ini menunjukkan bahwa kita sedang berjalan ke bibir jurang otoritarianisme kompetitif. Sebagai sebuah perjalanan periode pemerintahan, kita perlu melacak secara temporal beberapa peristiwa sebagai sebuah rantai sebab (causal chain).

Pertama, jauh sebelum pernyataan tegas Jokowi bahwa presiden dan pejabat lain boleh berpihak dan berkampanye dalam pemilu, telah terjadi intervensi institusi yudikatif dan bahkan penarikan lembaga sampiran negara (auxiliary state institution) yang krusial pada bidang penegakan hukum berada di dalam jalur ”komando” eksekutif.

Sulit dibantah, sidang putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyebut Ketua MK Anwar Usman tak beretika adalah penanda paling kasatmata bahwa Indonesia sedang berjalan menuju tepi jurang otoritarianisme kompetitif.

Sidang MKMK dan laporan jurnalisme investigatif telah mengungkap bagaimana cabang kekuasaan eksekutif mengontaminasi MK demi survivalitas elektoral. Jauh sebelum kasus MK, KPK yang demikian lumpuh dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi presidential toolbox melalui revisi UU KPK dan penjinakan para pegawai sebagai state apparatchik yang harus tunduk patuh pada nalar bekerjanya eksekutif.

Bekerjanya lembaga penegak hukum dan institusi yudikatif yang mengikuti langgam eksekutif berimplikasi pada terkonsolidasinya cabang Montesqueiuan lainnya, yaitu legislatif. Sebagai kepanjangan tangan partai, lembaga legislatif tidak hanya seremonial, tapi juga korporatis sebagai sekutu patuh kekuasaan eksekutif karena penguasaannya atas palu sidang.

Partai politik, menurut Richard Katz dan Peter Mair, sejak akhir 1990-an, wajahnya lebih banyak muncul sebagai pelaku kartel. Namun kini, hampir semua partai dengan kursi legislatif—apalagi partai dengan platform kementerian di kabinet—telah lama menari mengikuti irama musik eksekutif.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/LdrgEeHYmIEdkt5vveM2Xuav51I=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F30%2Fcdb41e5e-fe9d-40b6-aa2d-b404df242867_jpg.jpg

Pengesahan sejumlah RUU usulan pemerintah—termasuk APBN dan Ibu Kota Nusantara (IKN)—dengan cepat dan mulus serta layunya kasus beberapa nama tokoh petinggi partai mengonfirmasi terkonsolidasinya cabang kekuasaan legislatif dan partai di bawah satu chief executive tunggal.

Ketiga, hal paling menyedihkan yang kita lihat dan bahkan alami adalah munculnya ekspresi otokratik dalam merespons kritik warga. Penyadapan dan pengambilalihan perangkat komunikasi adalah hal yang jamak kita dengar atas penanda ketiga ini.

Ekspresi otokratik lain adalah penyelidikan hingga kerja-kerja spionase dalam merespons para tukang kritik atau siapa pun yang melawan kehendak penguasa. Kasus-kasus seperti ini dialami baik oleh elemen mahasiswa, tokoh publik, maupun warga biasa yang melancarkan kritik terhadap pemerintah.

Tentu saja, operasi ini bisa jadi tidak di bawah komando langsung orang nomor satu di republik. Tapi, pembiaran reaksi otokratik oleh institusi-institusi kekuasaan negara adalah hal yang paling mudah kita cium.

Praktik klientelisme

Terakhir adalah kerentanan negara terhadap praktik klientelistik yang dikerjakan melalui distribusi ”kebutuhan publik”, baik dalam bentuk uang maupun barang, dalam rangka kepentingan elektoral.

Secara legal-formal, tentu distribusi ”logistik” itu bisa saja sah sebagai sebuah paket kebijakan dan tanpa kerangka teoretis, kita akan bersifat judgemental jika buru-buru melabeli bantuan sosial sebagai instrumen kekuasaan dalam kontestasi elektoral.

Namun, dalam literatur, para sarjana menyebut mekanisme kebijakan disebut sebagai pork barrel politics jika sebuah politik kebijakan dirancang untuk membuat rakyat kenyang sebagai instrumen merawat legitimasi dan dukungan politik.

Sidang MKMK dan laporan jurnalisme investigatif telah mengungkap bagaimana cabang kekuasaan eksekutif mengontaminasi MK demi survivalitas elektoral.

Alat ukur paling sederhana apakah sebuah paket kebijakan merupakan pork barrel adalah bentuk kebijakan yang bisa langsung dinikmati penerima (immediate benefit), seperti distribusi sembako dan uang tunai dengan pergerakan kurva volume distribusi yang terus meningkat menjelang hari pemungutan suara dan turun setelah pemilu.

Laporan media sudah mengungkap adanya distribusi bansos, tetapi belum ada cukup data yang menunjukkan sebaran dan kurva volume distribusinya. Tapi, yang jelas, implikasi elektoralnya sudah tercium. Seorang kawan dari Sumba, NTB, bercerita, banyak warga di sana yang menginginkan pasangan calon penerus petahana karena mereka menginginkan bantuan tunai ataupun bansos bisa terus mereka terima.

Persoalannya, selain penggunaan bantuan itu pada saat yang sama menguras dana negara yang sebagian bersumber dari pajak rakyat lintas simpatisan, kebijakan pork barrel ini sangat rentan jadi state clientelism. Yakni, pertukaran suara (vote) dengan pangan (food) antara kontestan penerus petahana dan para pemilih rentan—kelas ekonomi menengah-bawah—yang jumlahnya berdasar survei Poltracking dari waktu ke waktu sekitar 70 persen pemilih.

Beberapa hari menuju pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu menentukan apakah negara kembali mengambil jarak cukup jauh dari panggung kontestasi atau justru semakin eksplisit masuk ke arena sebagai kontestan dengan masifnya perangkat-instrumen negara yang bekerja secara terstruktur dan sistematis sebagai pendulang suara pasangan calon.

Suka atau tidak, pemegang kendali atas tombol bom waktu jatuhnya Indonesia ke dalam jurang otoritarianisme kompetitif berada di tangan the sitting president. Jika sang petahana tidak menekan tombol untuk menghentikan segenap campur tangan instrumen kekuasaan sebagai ”tim sukses”, dia tidak hanya akan mewariskan model pemerintahan developmentalis, tapi lebih dari itu: cara kerja kekuasaan ”tepi jurang”.

Baca juga: Pekerjaan Rumah Pertama Majelis Kehormatan MK

Arya Budi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM; Kandidat Doktor Department of Political Science University of Illinois

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000