logo Kompas.id
OpiniMemilih Presiden Ideal
Iklan

Memilih Presiden Ideal

Kita harus cerdas dan rasional dalam memilih presiden. Baiknya kita melihat rekam jejak dan kecerdasan emosionalnya.

Oleh
ZAINAL ABIDIN
· 8 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/hDEG7QNXo4Zc7Vbe0Z-9jJk2QgI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F18%2F4305663e-5bd0-4c36-8c31-bca9f74d77bc_jpg.jpg

Hiruk-pikuk menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden pada 14 Februari 2024 sudah terasa sejak setahun lalu dan memuncak dalam dua pekan terakhir ini. Penyebabnya beragam, antara lain, harapan dan militansi masyarakat terhadap figur capres dan cawapres serta penggunaan cara-cara baru dari ketiga kontestan pilpres dalam melakukan persuasi atau kampanye politik.

Terakhir, hiruk-pikuk tersebut direspons oleh para sivitas akademika (dosen dan guru besar) dari sejumlah perguruan tinggi yang secara beruntun turun dari menara gading untuk membawa pesan moral dan etika dalam berdemokrasi. Petisi itu kemudian diikuti oleh para mahasiswa yang menyuarakan tuntutan senada melalui aksi turun ke jalan (unjuk rasa).

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu menyikapi aksi-aksi tersebut secara bijak. Saya percaya bahwa apa yang dilakukan para sivitas akademika tersebut merupakan ekspresi dari keresahan dan pertimbangan moral belaka. Mereka beritikad baik, yakni menjaga marwah pemerintah, menjaga nilai-nilai demokrasi agar terhindar dari perilaku dan kebijakan yang keluar dari jalur hukum dan etika; dan mencegah kemungkinan konflik dan permusuhan antarkelompok sosial pascapilpres.

Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi

Asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) adalah suatu keniscayaan dalam pilpres yang bersih dan demokratis. Biarkan rakyat menentukan dan memilih sendiri pemimpin yang ideal menurut perspektif mereka tanpa intervensi dan intimidasi. Biarkan rakyat memilih atas dasar keyakinan mereka bahwa kandidat yang dipilihnya merupakan pemimpin yang cakap, baik, jujur, dan dapat membawa Indonesia makin sejahtera.

Menjadi penonton dan wasit yang adil adalah kewajiban legal dan moral bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu. Rakyat lebih mengetahui siapa pemimpin yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin mereka dan membawa mereka ke arah masa depan yang mereka harapkan. Suka tidak suka, pemerintah wajib percaya kepada kemampuan dan harapan rakyatnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/4Ej9SDDvwag9Nepegjo2dNFXcW0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F11%2F1f397b27-fdbd-4739-a6dd-53b400a59c43_jpg.jpg

Kriteria presiden ideal

Ketika rakyat memutuskan pergi ke tempat pemungutan suara dan masuk bilik suara untuk memilih kandidat jagoannya, dalam diri mereka tersimpan harapan dan keyakinan bahwa kandidat presiden yang dipilihnya nanti adalah pemimpin yang akan membawa kebaikan dan kesejahteraan dalam hidup mereka dan masa depan anak cucu mereka kelak.

Sangat wajar dan alami bahwa mereka pun berharap bahwa kandidat presiden yang dipilihnya itu akan jujur dan amanah, tidak culas, dan tidak suka melabrak aturan hukum serta melanggar etika. Pemimpin yang baik bukan hanya memiliki kapasitas dan kapabilitas yang hebat dan mumpuni, melainkan juga yang memiliki rekam jejak yang baik serta proses pencalonan dan kontestasinya jujur, tidak melanggar etika.

Dalam psikologi politik, etika itu harus melekat (inherent) pada semua pemimpin, khususnya presiden sebagai pemimpin tertinggi di pemerintahan. Adapun basis psikologis yang mendasari etika itu adalah kecerdasan emosional yang mumpuni.

Pendapat tersebut dikemukakan Fred Greenstein (1930-2018), ilmuwan politik dan psikolog politik Amerika Serikat (AS) yang banyak melakukan kajian tentang presidential leadership para presiden AS. Greenstein (1982, 2000, 2009) melakukan sejumlah riset historis terhadap puluhan mantan presiden dan kajian empirik terhadap sejumlah presiden yang sedang berkuasa di AS.

Dari puluhan mantan presiden dan presiden yang dikajinya itu, dia menemukan bahwa ada enam karakter atau kemampuan yang membentuk kepemimpinan presidensial, yaitu komunikasi publik (public communication), kapasitas organisasi (organizational capacity), keterampilan politik (political skill), visi kebijakan (policy vision), gaya kognitif (cognitive style), dan kecerdasan emosional (emotional intelligence).

Dalam psikologi politik, etika itu harus melekat ( inherent) pada semua pemimpin, khususnya presiden sebagai pemimpin tertinggi di pemerintahan.

Pertama, komunikasi publik. Para presiden AS pada umumnya memiliki kemampuan yang sangat baik dalam berkomunikasi dengan publik. Tanpa kemampuan komunikasi yang andal, rakyat tidak akan tertarik dan tidak akan memilih presiden itu dalam pilpres yang sangat kompetitif.

Kemampuan berkomunikasi pun diperlukan setelah terpilih menjadi presiden, di antaranya untuk melakukan dialog-dialog dan lobi-lobi politik dengan anggota Senat. Tanpa kemampuan itu, sangat sulit ide-ide dan kebijakan-kebijakan yang disusun presiden dapat disetujui Senat dan diimplementasikan dalam pemerintahan.

Bahkan, sebagai negara adidaya, presiden AS wajib memiliki kemampuan berkomunikasi untuk ”memimpin dunia” atau minimal menjalin kerja sama dengan para pemimpin dari negara-negara lain agar kebijakan luar negerinya mulus tanpa hambatan.

Dalam konteks Indonesia, kemampuan komunikasi publik ini terutama diperlukan presiden untuk menjalin interaksi dengan rakyat. Di masa-masa sulit dan penuh tekanan, presiden yang memiliki kemampuan berkomunikasi publik yang baik akan mampu membuat rakyatnya tenang dan merasa aman, bukan justru membuat rakyat gaduh dan merasa terancam.

https://cdn-assetd.kompas.id/v1IKuMHasmZcei9IJ_psCHtTQYw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F01%2F377d986e-4b6a-4c61-80ec-23c98ed6eac0_jpg.jpg
Iklan

Kedua, kapasitas organisasi. Jabatan presiden bukanlah jabatan yang soliter. Janji-janji politik saat kampanye harus ditepati dan kebijakan-kebijakan strategis dalam merespons situasi-situasi darurat harus mendapatkan prioritas. Untuk itu, diperlukan kemampuan menyusun tim atau organisasi yang para anggota stafnya bukan hanya dapat dipercaya, melainkan juga cakap dan mampu bekerja dalam tim. Presiden harus mampu memilih orang-orang yang tepat dan berkualitas dan menempatkan orang-orang tersebut dalam tim yang profesional dan efektif.

Selain itu, presiden pun harus kuat secara organisatoris, yakni dikelilingi oleh para anggota staf yang memberikan informasi memadai dan akurat untuk membuat keputusan yang benar dan tepat sasaran. Bukan informasi-indormasi yang ABS (asal bapak senang) yang menyesatkan.

Presiden pun harus mampu mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada para anggota stafnya (termasuk para menteri) secara tepat sehingga mereka dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional dan benar. Basis pengangkatan dan pendelegasian staf bukan like and dislike atau karena utang budi karena perannya dalam pemenangan pilpres, melainkan karena kompetensi dan profesionalitas.

Baca juga: Kabinet Ahli atau Politik

Ini berarti bahwa presiden yang memiliki kemampuan organisasional yang hebat adalah presiden yang memiliki para anggota staf (termasuk para menteri) yang profesional, yang opini-opininya well-informed sehingga tidak mengakibatkan silang pendapat di antara para anggota stafnya. Para anggota staf presiden harus dapat bekerja sama dalam sebuah tim yang solid, tetapi profesional. Para anggota staf pun harus merasakan bahwa mereka diperlakukan secara adil, tidak merasa telah memboroskan tenaga dan pikiran secara sia-sia, dan mampu meraih tujuan bersama secara cepat dan efisien.

Ketiga, keterampilan politik. Untuk merealisasikan visi, misi, dan harapannya, salah satu syaratnya presiden harus memiliki keterampilan politik. Satu, keterampilan politik elektoral, yakni keterampilan untuk memenangi pemungutan suara dan menjalin interaksi yang baik dengan pemilih. Dua, keterampilan dalam menyelesaikan konflik atau kebuntuan politik, terutama dalam konteks perdebatan di parlemen. Tiga, keterampilan mempersuasi publik dan politisi untuk mengikuti kebijakan presiden meskipun mungkin saja pada awalnya mereka tidak ingin melakukan seperti yang diharapkan presiden.

https://cdn-assetd.kompas.id/_4K70nHXGhWMicrJE92htUqIOyE=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F17%2F41447a3c-caf4-477c-8ec6-1fb23fbb5e31_jpg.jpg

Keempat, visi kebijakan. Presiden yang memiliki visi adalah presiden yang mampu memprediksi masa depan dengan tepat dan sekaligus mampu membangun jalan untuk sampai ke masa depan itu. Dalam konteks Indonesia, Presiden Soekarno dapat dijadikan sebagai model atau contoh. Sebelum menjadi presiden, dia memiliki policy vision, yakni bahwa pasca-Perang Dunia II, kekuatan penjajah Belanda dan Jepang akan lemah sehingga segenap rakyat Indonesia harus bersatu padu melawan penjajah.

Berkat kemampuannya itu, Soekarno berhasil memproklamasikan Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat. Demikian juga pada saat menjadi presiden, Soekarno menggagas Konferensi Asia-Afrika, yang memotivasi para pemimpin negara-negara Afrika untuk memerdekakan negaranya masing-masing dan bergabung ke dalam kelompok negara-nagara Non-Blok.

Beberapa presiden boleh saja memiliki kemampuan untuk memprediksi masa depan, tetapi sebagian dari mereka gagal memanfaatkan momentum terbaik untuk menjadikan masa depan yang lebih baik. Meminjam kalimat yang ditulis Greenstein, ”presiden yang memiliki visi bukan hanya mampu melihat kilauan bintang-bintang di angkasa, tetapi juga menemukan jalan untuk mendarat di permukaan bintang-bintang itu”.

Presiden yang memiliki visi adalah presiden yang mampu memprediksi masa depan dengan tepat dan sekaligus mampu membangun jalan untuk sampai ke masa depan itu.

Namun, itu saja tidak cukup. Presiden yang ideal adalah presiden yang mampu menularkan visinya itu menjadi inspirasi kepada rakyat, para pendukung, dan anggota-anggota timnya. Artinya, visi yang dimiliki oleh presiden dapat diwujudkan bukan hanya oleh presiden sendiri, melainkan juga oleh para anggota staf dan segenap rakyat.

Kelima, gaya kognitif. Presiden pada umumnya memiliki pemikiran yang luas, mendalam, fleksibel, strategis, dan dapat memecahkan suatu masalah dalam beragam situasi, bahkan dalam berbagai tekanan sekalipun. Presiden menerima banyak dan beragam informasi dari para anggota staf dan media masa, dan dia harus mampu mengolah informasi-informasi tersebut untuk memecahkan berbagai persoalan. Berdasarkan pada kecerdasan kognitifnya, dia dapat memecahkan beragam persoalan politik secara cerdas, strategis, dan efektif.

https://cdn-assetd.kompas.id/mEWl0u4wtG6b28PQdIzu4TlyQlI=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F28%2Fa988bad0-7b6f-4abd-a806-00dc59467a4c_jpg.jpg

Keenam (the last but not least), kecerdasan emosional. Seorang presiden harus cerdas secara emosional, mampu mengendalikan emosi-emosi negatifnya dan dorongan-dorongan impulsifnya, termasuk dorongan untuk berkuasa secara permanen.

Saking pentingnya kecerdasan emosional ini, Greenstein mewanti-wanti kita agar waspada terhadap presiden yang kecerdasan emosionalnya bermasalah: ”The presence or absence of emotional intelligence determines whether a president can stand the pressures of his job, and whether he allows his feelings to get out of control, subverting his leadership.”

Presiden Richard Nixon adalah model yang sangat pas yang mewakili seorang presiden dengan gaya kognitif yang tinggi (karena dia memang sangat cerdas secara intelektual), tetapi merupakan contoh buruk untuk rendahnya kecerdasan emosional. Kasus ”horror Watergate”, yakni kampanye kotor untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya, merupakan ekspresi dan perilaku negatif dari rendahnya kecerdasan emosional Presiden Nixon. Model lainnya adalah Presiden Bill Clinton, yang terlibat kasus skandal seks dengan salah seorang stafnya (Monica Lewinsky) dan hampir membuatnya terlempar dari kursi presiden.

Baca juga: Memilih Pemimpin dengan Kemampuan Mengelola Emosi

Kesimpulan

Meskipun riset yang dilakukan oleh Greenstein tidak dilakukan di Indonesia, ada yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih presiden (dan wakil presiden) di Pilpres 2024. Pertama, ada baiknya kita memilih presiden berdasarkan rekam jejaknya sehingga kita dapat mengidentifikasi apakah kandidat yang akan kita pilih itu memiliki sejumlah karakter atau kemampuan positif seperti halnya ditemukan Greenstein. Boleh saja jika mau menambah kriteria lain dalam konteks pilpres di Indonesia, sejauh itu merupakan kriteria positif dan penting dimiliki oleh pemimpin bangsa kita.

Kedua, kecerdasan emosional, yang menjadi basis untuk perilaku etik presiden, merupakan faktor determinan paling penting. Meskipun presiden memiliki lima karakter lainnya secara sangat menonjol, tetapi bila rendah kecerdasan emosionalnya, besar kemungkinan akan bermasalah ketika dia sudah menjabat sebagai presiden. Oleh sebab itu, kita harus cerdas dan rasional dalam memilih presiden, jangan silau oleh gemerlap atau kebaikan hati sesaat para kandidat pada waktu menjelang pilpres.

Zainal Abidin, Dosen Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

Zainal Abidin
ARSIP PSIKOLOGI.UNPAD.AC.ID

Zainal Abidin

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000