logo Kompas.id
OpiniMemilih Pemimpin dengan...
Iklan

Memilih Pemimpin dengan Kemampuan Mengelola Emosi

Memilih pemimpin sejatinya adalah memperhitungkan segala tindakan yang pernah dan sedang ditunaikannya.

Oleh
LIMAS SUTANTO
· 3 menit baca
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Tidak hanya sekali atau dua kali masyarakat menemukan ucapan tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan tindakan mereka. Bahkan, hal itu pun bisa ditemukan terjadi dalam perkara-perkara besar dan penting.

Akankah kenyataan ini mendorong publik untuk tidak terbuai atau terlena oleh kata-kata memukau? Akankah itu membuat publik lebih memperhatikan dan mengawasi segala sesuatu yang sudah dan sedang diperbuat oleh para tokoh dan pemimpin?

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Memilih pemimpin sejatinya adalah memperhitungkan segala tindakan yang pernah dan sedang ditunaikannya. Namun, disinformasi intens dan tiada henti yang acap kali terjadi kini sungguh membikin penentuan pilihan menjadi hal yang sulit dan rumit.

Informasi yang mengusung kekeliruan diperlancar oleh teknologi untuk menduduki khazanah mental para calon pemilih. Akibatnya, mereka dapat keliru memilih.

Namun, disinformasi intens dan tiada henti yang acap kali terjadi kini sungguh membikin penentuan pilihan menjadi hal yang sulit dan rumit.

Membaca karya Christopher Bollas, China on the Mind (2013), muncul godaan untuk membayangkan betapa orang Indonesia cenderung lebih praverbal ketimbang verbal. Ini berarti masyarakat di negeri ini lebih cenderung mempertimbangkan apa yang pernah diperbuat daripada apa yang dikatakan.

Di Jawa, misalnya, aksaranya lebih menyerupai gambar. Demikian pun halnya di China, Jepang, dan Korea. Adapun di dunia Barat, alfabet begitu eksplisit.

https://cdn-assetd.kompas.id/XSCcqglkPj4iRbDFpVYBckr_Dho=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2F784d602e-a89f-4afb-a764-82cf25538a87_jpg.jpg

Ilustrasi

Agaknya di Asia Tenggara dan Asia Timur, presentasi lebih penting daripada representasi. Presentasi merupakan kehadiran seluruh tubuh yang mengalami dalam tindakan. Adapun representasi adalah mereka-reka perkataan untuk mewakili pengalaman.

Berupaya mengerti para tokoh atau calon pemimpin tidak semata-mata perlu dilakukan dengan menyelisik kata-kata mereka, tetapi dengan mengalami, merasakan, dan mendalami ekspresi-ekspresi nirkata mereka.

Ekspresi nirkata

Kalaupun suatu saat perhatian perlu diarahkan terutama ke ekspresi linguistik, perlu diperhatikan bahwa ungkapan-ungkapan verbal hanya akan meraih makna pada konteksnya.

Dekontekstualisasi bisa jadi merupakan defensi nirsadar calon pemilih yang enggan menerima dan mengatasi betapa tidak tahunya dia. Oleh karena itu, diambil jalan pintas untuk mengartikan seenak diri sendiri dengan melepaskan ucapan-ucapan dari konteksnya.

Iklan

Ungkapan-ungkapan verbal hanya akan meraih makna pada konteksnya.

Para tokoh dan calon pemimpin berbicara di hadapan masyarakat untuk memikat. Ketika mereka bertanya-jawab dan mengalami dialog dengan seluruh dirinya apa adanya, yang berkembang adalah pengalaman marah, rasa jengkel, dan ejekan kasar.

Dengan seluruh badan dan kata-kata, mereka mengekspresikan pengalaman itu. Kata-kata dipilih terutama dengan hemisferium (belahan otak) kiri yang menata mereka dalam logika. Oleh karena itu, bisa tercipta kalimat-kalimat yang jauh dari corak marah, jengkel, kasar, dan sarkastik.

Pengamat yang awas mungkin menggunakan ”telinga ketiga” (Reik, 1948) untuk memperhatikan ekspresi-ekspresi nirkata di balik ucapan.

Dengan begitu, dapat ditangkap tanjakan dan turunan ucapan (prosody) yang tidak menyembunyikan afek (perasaan/emosi) marah, jengkel, dan ejekan kasar yang saat itu berhasil dikontrol oleh belahan otak kiri.

https://cdn-assetd.kompas.id/rTcwLk98yGczNrNX_TlUSzfiIys=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F29%2F0a941738-965b-43f3-aeea-db276f9f482e_jpg.jpg

Tokoh yang memiliki kemampuan ”mengontrol” perasaan atau emosi dengan lebih kuat bisa menyuarakan prosody yang lebih rapat menutupi emosi asli.

Kontrol bukan regulasi

Lantas, apakah kemampuan mengontrol perasaan atau emosi itu mengindikasikan pribadi yang lebih dapat diandalkan untuk mengurusi kepentingan masyarakat? Tidak serta-merta demikian.

Mengurusi kepentingan publik meniscayakan ”regulasi afek” atau kemampuan mengelola emosi dan perasaan yang baik. Bukan sekadar kemampuan ”mengontrol” atau menutupi perasaan yang membuncah.

Baca Juga: Karakter Psikologi Pemilih Pemilu 2024

Ada yang berbeda antara regulasi afek dan mengontrol afek. Pada regulasi afek, ikut bekerja tujuh fungsi kemanusiaan yang luhur: intersubyektivitas, empati, compassion, humor, moralitas, kasih sayang, serta kreativitas pribadi, ilmiah, dan artistik. Pengejawantahan tujuh peran kemanusiaan luhur itu terutama dilakukan oleh hemisferium kanan (Schore, 2019).

Ketujuh fungsi itu mewujud begitu saja, nirsadar, dalam tubuh dan tindakan. Bukan direka-reka dalam logika dan perunutan kata-kata.

Agaknya publik perlu belajar untuk tidak terpaku pada ucapan-ucapan. Boleh saja kalimat-kalimat itu diperhatikan dan dirasakan. Verbalisasi memang bisa menjadi salah satu bahan pertimbangan.

Namun, publik juga perlu memperhatikan banyak hal tentang aneka tindakan tokoh-tokoh itu di masa lalu hingga kini. Dengan demikian, dapat lebih diperkirakan, mereka akan berbuat apa atau tidak akan berbuat apa untuk masyarakat.

Limas Sutanto
ARSIP PRIBADI

Limas Sutanto

*Limas Sutanto, Psikiater Subspesialis Psikoterapi

Editor:
NUR HIDAYATI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000