logo Kompas.id
HumanioraKarakter Psikologi Pemilih...
Iklan

Karakter Psikologi Pemilih Pemilu 2024

Sebagian besar pemilih adalah pemilih emosional yang menentukan capres-cawapresnya berdasarkan suka atau tidak suka.

Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
· 8 menit baca
Ketiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden berfoto bersama setelah mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketiga pasangan calon presiden-calon wakil presiden berfoto bersama setelah mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Sebagian besar pemilih pada ajang pemilihan umum di Indonesia adalah pemilih emosional yang menentukan pilihan calon pemimpinnya berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata. Situasi itu pun dimanfaatkan calon presiden-calon wakil presiden pada Pemilu 2024. Meski mereka memiliki gagasan besar untuk membangun negara, memoles diri dengan hal remeh dan receh sepertinya lebih mengemuka.

Menjadi pemilih rasional itu berat, butuh usaha besar, motivasi kuat untuk melakukan, dan kemampuan untuk membandingkan gagasan dari setiap pasangan capres-cawapres. Untuk bisa melakukan perbandingan itu, mereka harus mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber sebelum akhirnya memutuskan pilihan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Namun, pada satu titik, pemilih rasional tidak akan bisa terlalu rasional. Dalam menilai capres-cawapres, mereka akan memasukkan keyakinannya untuk membuat perbandingan, seperti sosok yang tidak boleh terjebak korupsi, tidak terkait pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, atau mendorong politik identitas yang memecah belah.

Masuknya keyakinan tertentu dalam menilai capres-cawapres itu membuat proses perbandingan yang dilakukan menjadi tidak setara, memberi bobot lebih dalam isu tertentu. Ini bukan bias, tetapi rasionalitas yang dibatasi (bounded rationality) oleh kriteria individu.

”Proses yang dilakukan pemilih rasional itu melelahkan. Akibatnya, banyak pemilih menyandarkan pilihannya bukan pada proses rasional, seperti kedekatan dengan partai, pilihan orang lain, kesan terhadap kualitas personal calon, atau gagasan capres-cawapres yang mereka tangkap,” kata peneliti Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rizka Halida di Depok, Jawa Barat, Selasa (12/12/2023).

Jumlah pemilih rasional yang terbatas juga diakui peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati. Berdasarkan studinya dalam Pemilu 2014-2019, dia memperkirakan jumlah pemilih rasional hanya berkisar 5 persen-10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.

Kelompok pemilih rasional itu umumnya tinggal di perkotaan, dari kelompok ekonomi menengah atas, berpendidikan tinggi, dan kritis. Anggota kelompok ini juga memiliki jejaring kolegialitas luas yang dibentuk berdasarkan kesamaan minat dan bakat. Mereka juga adalah orang-orang yang telah mampu mencukupi kebutuhan dasarnya sehingga butuh kebebasan berekspresi di ruang publik.

”Meski proporsinya kecil, amplifikasi aspirasi mereka di media sosial sangat besar,” kata Wasisto di Jakarta, Senin (11/12/2023). Aspirasi atau kritik yang mereka sampaikan bisa memengaruhi pemilih nonrasional yang jumlahnya jauh lebih besar, baik yang tinggal di suburban maupun perdesaan.

Pemilih emosional, sebagai bagian terbesar dari pemilih Indonesia, memilih capres-cawapres berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata. Dalam ranah psikologi, lanjut Rizka, emosi bersifat otomatis. Rasa suka atau tidak suka terhadap capres-cawapres itu bisa muncul dari mana saja, mulai dari cara mereka berbicara, bahasa tubuh, raut muka, karakter personal, hingga kedekatan mereka dengan masyarakat.

https://cdn-assetd.kompas.id/PrYwB-vWiActxlgJkscnL0LjwEs=/1024x1597/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F18%2F88141c02-955c-4af0-981e-6488a4c9991e_png.png

”Pemicu rasa suka atau tidak suka itu bisa jadi hal-hal yang trivial (remeh) dan bukan sesuatu yang substansial terkait pemilu,” tambahnya. Namun, hal yang terkesan receh atau sepele itu sering kali menimbulkan kesan mendalam dan mudah ditangkap seseorang.

Alasan emosional dan personal yang lebih mengemuka dalam menentukan pilihan capres-cawapres atau pemimpin eksekutif lain terjadi karena lemahnya faktor ideologi dan keterikatan pemilih dengan partai politik. Di Indonesia, ideologi tidak terdefinisi jelas, sedangkan identifikasi pemilih dengan parpol umumnya rendah, kecuali pemilih PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam pemilu presiden-wakil presiden 2024, tambah Wasisto, faktor ideologi makin membingungkan karena terjadi irisan identitas antarpasangan capres-cawapres yang ada. Identitas nasionalis terdapat pada pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Adapun identitas religius, khususnya garis Nahdlatul Ulama, terjadi irisan antara pasangan nomor 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor 3.

Irisan identitas yang sama antarcapres-cawapres itu menimbulkan kebimbangan bagi pemilih yang memiliki latar belakang identitas sama. Kebimbangan itu menjadi salah satu pemicu besarnya pemilih bimbang dalam Survei Kepemimpinan Nasional (SKN) Litbang Kompas Desember 2023 atau dua bulan menjelang hari pemungutan suara yang mencapai 28,7 persen.

Dalam waktu yang singkat, masih banyak cara yang bisa dilakukan capres-cawapres demi meraih simpati dan dukungan pemilih demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Persoalan irisan identitas itu membuat ketokohan seseorang menjadi penentu pilihan masyarakat terhadap capres-cawapres mereka. Dukungan Presiden Joko Widodo terhadap capres-cawapres nomor 2 membuat pasangan ini mendapat limpahan suara dari pendukung Jokowi. Bagaimanapun, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi masih cukup tinggi.

”Sebenarnya setiap capres-cawapres memiliki tokoh-tokoh dengan nama besar. Namun, saat ini, sosok yang sering tersorot media dan mengeluarkan kebijakan populis adalah Jokowi. Karena itu, Jokowi menjadi simbol politik penting bagi pemilih nasionalis,” tambah Wasisto.

Selain faktor emosional, pengaruh sosial juga sangat besar dalam menentukan capres-cawapres di tengah masyarakat Indonesia yang kolektif. Pandangan suami, keluarga, kiai atau tokoh agama, hingga pandangan teman dan tetangga tentang capres-cawapres tertentu akan menjadi pertimbangan kuat bagi seseorang dalam menentukan pilihan.

Pengaruh sosial ini mudah ditemukan pada pemilih perempuan yang jumlahnya dalam Pemilu 2024 lebih dari separuh. Informasi dari mulut ke mulut yang menyebar dari interaksi di warung-warung, tukang sayur, hingga pergaulan dengan tetangga sekitar menjadi media untuk mengevaluasi setiap kandidat dan memberikan preferensi utama untuk memilih capres-cawapres.

Baca juga: Persona Politik Pemilih Muda

https://cdn-assetd.kompas.id/BnUEVyJMZVDa6xqn1z-DGvGjUoY=/1024x2212/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F19%2F86e3d0e8-bcbe-4603-b4f3-0528724c66d3_png.png

Dimanfaatkan

Iklan

Besarnya faktor-faktor nonrasional yang digunakan pemilih pemilu itu nyatanya dimanfaatkan pasangan capres-cawapres untuk meraup suara. Idealnya, ketiga capres-cawapres memang mengemukakan gagasan terbaik dalam membangun negara ke depan, hal-hal yang akan mereka lakukan dan dihindari saat menjabat.

Nyatanya, gagasan yang baik saja tidak cukup. Sebagian pemilih sulit mencerna gagasan besar yang disampaikan, apalagi jika gagasan itu disampaikan dengan bahasa ”langit” yang rumit. Belum lagi, mayoritas pemilih Indonesia memiliki tingkat pendidikan SMP ke bawah.

Selain memperbaiki pola komunikasi agar bisa menyampaikan gagasannya secara sederhana, capres-cawapres juga berlomba menyasar sisi-sisi rentan psikologi manusia sehingga pemilih mudah suka dengan mereka. Mereka berusaha menampilkan hal-hal yang terlihat sepele, tetapi disukai pemilih.

”Dalam demokrasi, memilih capres-cawapres karena hal-hal yang trivial (remeh) itu sah. Kondisi ini justru memberi ruang bagi calon untuk mem-persuasi pemilih,” ujar Rizka.

Karena itu, istilah gemoy yang digunakan pasangan capres-cawapres nomor urut 2 menjadi cara jitu menarik pemilih secara emosional, khususnya anak muda dan gen Z yang menganggap istilah itu lucu.

Namun, slogan gemoy itu juga mengaburkan citra negatif masa lalu pasangan ini, terutama tentang isu penculikan aktivis 1998 dan politik dinasti. Istilah yang diakrabi anak muda ini juga mempertahankan suasana hati yang positif (mood positivity) sehingga menurunkan keinginan mereka untuk bersikap kritis terhadap calon yang akan dipilih.

Sementara itu, salah satu penyebab menurunnya elektabilitas capres nomor 3 sesuai hasil SKN Litbang Kompas Desember 2023 dibandingkan dengan survei serupa Agustus 2023 dari 34,1 persen menjadi 18,0 persen antara lain karena kampanye negatif yang dilakukan partai pendukungnya. Mereka mengkritik terlalu tajam Jokowi yang sebelumnya maju dari partai yang sama.

”Mengkritik tajam Jokowi itu sah-sah saja dan dibenarkan, tetapi publik justru menangkap hal itu sebagai hal negatif sehingga elektabilitas Ganjar turun dan memindahkannya ke Prabowo,” kata Rizka.

Kondisi itu bisa dibandingkan saat Gibran meminta pendukungnya untuk tidak menanggapi cibiran dan fitnah yang dialamatkan kepada mereka. Sikap ini justru mendulang simpati pemilihnya.

Sementara itu, capres nomor 1 Anies dengan sikapnya yang konsisten mengkritik pemerintah justru menjadi poin menarik bagi pemilih. Kondisi ini tidak mudah mengingat kepuasan terhadap kinerja pemerintah masih cukup tinggi. Situasi ini terjadi akibat solidnya dukungan dari pemilih partai pendukungnya meski capres mereka bukan berasal dari pengurus salah satu partai pengusungnya.

Wasisto menambahkan, kritikan memang bisa mendapat dukungan di segmen pemilih tertentu. Namun, cara itu belum tentu disukai kelompok pemilih yang lain. Sebagian pemilih lelah dengan konflik dan disintegrasi seperti yang terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019. Mereka ingin pemilu yang damai, jauh dari friksi dan tendensi.

”Kampanye hitam pada Pemilu 2014 dan 2019 sangat memengaruhi preferensi pemilih. Namun, pada 2024, ketiga pasangan capres-cawapres membendung isu ini sehingga tidak menimbulkan polarisasi semasif dua pemilu lalu,” tambahnya.

Dalam pemilu kali ini juga tidak ada tokoh informal yang menggerakkan polarisasi pemilih sehingga isu identitas yang dulu digunakan bergeser menjadi isu figur.

Selain itu, jika capres-cawapres nomor 1 fokus ke isu perubahan, nomor 2 fokus soal keberlanjutan, maka nomor 3 belum menemukan narasi yang pas agar pemilih mau memilih mereka. Kondisi ini membuat mereka kesulitan menggaet suara pemilih yang memilih mereka karena alasan emosional semata, karena rasa suka saja.

Baca juga: Demografi Pemilih 2024

Ketiga calon presiden mengangkat tangan bersama seusai mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat menjadi momentum bagi kandidat untuk menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya guna meyakinkan pemilih.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Ketiga calon presiden mengangkat tangan bersama seusai mengikuti debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di kantor KPU, Jakarta, Selasa (12/12/2023). Debat menjadi momentum bagi kandidat untuk menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya guna meyakinkan pemilih.

Kebijakan populis

Tidak salah memang memilih capres-cawapres karena alasan emosional dan personal, bukan karena pertimbangan rasional. Perilaku ini, menurut Wasisto, justru bisa membuat pemilih memantau kinerja atau mengevaluasi secara obyektif capres-cawapres yang didukungnya jika terpilih sebagai pemenang pemilu nantinya.

Repotnya, kedekatan emosional antara pemilih dan capres-cawapres yang didukungnya itu bisa menimbulkan klientelisme alias politik klien yang mendorong jual beli suara. Dalam konteks politik Indonesia, jual beli suara ini jamak terjadi dalam berbagai tingkatan pemilu.

”Pemilih model ini tidak bisa diberikan kampanye dengan gagasan-gagasan besar. Mereka lebih mengedepankan solusi praktis, baik terkait ide membangun negara maupun politik uang,” katanya.

Budaya transaksional ini semakin subur akibat tidak adanya pembangunan ideologi jangka panjang dan terbatasnya peran partai politik dalam menyemai ideologi di akar rumput.

Model pemilih emosional itu juga memudahkan terjadinya pengultusan terhadap tokoh politik tertentu. Selain itu, tambah Rizka, capres-cawapres atau pejabat eksekutif yang terpilih karena dukungan pemilih emosional ini cenderung termotivasi untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan orang saja sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan populis.

Kondisi ini bisa memicu terjadinya ilusi, seolah-olah negara sudah berjalan di jalan yang tepat untuk menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Padahal, banyak sektor pembangunan yang harus digarap yang mungkin tidak populer, tetapi sangat substansial dan memberi dampak jangka panjang. Populisme membuat pemerintah cenderung melakukan hal-hal yang di permukaan saja.

Indonesia menargetkan diri menjadi negara maju, yang lepas dari jebakan kelas ekonomi menengah pada 2045. Ini tantangan besar yang seharusnya bisa dijawab capres-cawapres karena persiapan menuju seabad kemerdekaan Indonesia itu makin sempit. Indonesia butuh pemimpin yang amanah agar mampu mewujudkan cita-cita Indonesia Emas dalam 20 tahun ke depan.

Meski debat capres-cawapres yang masih akan berlangsung sepertinya tidak akan mengubah pilihan pemilih emosional, debat tersebut sangat memengaruhi pilihan para pemilih bimbang yang masih cukup besar. Dalam waktu yang singkat, masih banyak cara yang bisa dilakukan capres-cawapres demi meraih simpati dan dukungan pemilih demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000