logo Kompas.id
OpiniBangsa Kere atau Bangsa...
Iklan

Bangsa Kere atau Bangsa Dermawan

Para politikus telah mengubah bangsa Indonesia yang bangsa dermawan ini menjadi bangsa kere, bangsa peminta-minta?

Oleh
BAMBANG HARYANTO
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/vkH4L12SvpkWNWIdKhlnALBWzA0=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F21%2Ffa2ff044-2095-4275-9367-26abe54abd07_jpg.jpg

Berangkat dari pengalaman saya mendengar obrolan ibu-ibu penjual di Pasar Wonogiri, Januari 2024, siang hari. Pagi sebelumnya ada kehebohan karena kedatangan calon presiden yang berkampanye di pasar tersebut.

Salah satu dari ibu itu menyeletuk, ”Si A gak punya duit. Si X yang punya, saya dapat Rp 200.000.”

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Kontan obrolan mereka jadi riuh. ”Kapan dapat duitnya, di acara apa, dan kapan ada lagi acara semacam itu,” adalah ucapan mereka yang saya tangkap saat itu. Saya menarik napas.

Indonesia kita selama ini dikenal sebagai bangsa paling dermawan sedunia. Lembaga Charities Aid Foundation (CAF) dalam publikasi situsnya tahun 2023 menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa paling dermawan sedunia. Bahkan, prestasi itu diraih selama enam tahun berturut-turut.

Akan tetapi, apa yang kita lihat di suasana di Pemilu 2024 ini? Para politikus kepada warga Indonesia menggelontorkan uang politik, kaus, kebutuhan pokok, bantuan sosial, dan janji agar memilih dirinya di bilik suara.

Bukankah ketika Anda menjadi dermawan, Anda bertindak dilandasi keikhlasan dan niat baik?

Namun, di musim pemilu ini kedermawanan para politikus di atas senyatanya bersendikan pada hubungan transaksional semata. Bahkan, pemberian berpamrih itu bisa disebut sebagai penyuapan. Sekali lagi, agar penerima donasi itu memilihnya di bilik suara.

Para politikus rupanya telah mengubah bangsa Indonesia yang bangsa dermawan ini menjadi bangsa kere, bangsa peminta-minta?

Semoga akal sehat masih kukuh dipegang oleh bangsa Indonesia di momen kritis untuk masa depan yang lebih baik, 14 Februari 2024.

Bambang Haryanto

Jalan Semangka, Wonogiri, Jawa Tengah

Iklan

Waspadai DBD

Kasus demam berdarah dengue atau DBD kembali meningkat dan bahkan sudah merenggut jiwa, termasuk anak-anak.

DBD adalah penyakit yang dapat dicegah dengan beberapa langkah yang harus dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sangat dibutuhkan.

Kesadaran akan adanya pencegahan harus dipahami sejak dini. Ini membutuhkan sistem yang kuat untuk mengantisipasinya. Pada saat yang sama juga dibutuhkan kesiapan rumah sakit untuk menangani penderita yang membutuhkan rawat inap. Dan negara akan memfasilitasi kebutuhan itu karena kebutuhan akan layanan kesehatan bersifat mutlak.

Irawati Tri Kurnia

Cikarang Barat, Bekasi

Menyiasati Oligarki

Seorang pembaca harian ini coba mengamplifikasi suara keprihatinan para tokoh bangsa, akademisi, seniman, dan budayawan atas kondisi bangsa akhir-akhir ini. Keprihatinan yang bukan sekadar kritik, melainkan juga refleksi nurani. Respons ”istana” atas keprihatinan ini bisa memperkaya rujukan, terutama bagi undecided dan swing voters (Kompas, 6/2/2024). Rujukan tentu bisa ditambah.

Salah satu latar kunci keprihatinan itu terkuak, merosotnya demokrasi, antara lain, terindikasi karena kehadiran oligarki. Beberapa pengamat—dengan data dan informasi yang dimilikinya—menyebut bahwa semua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden memiliki anggota tim sukses dari unsur pelaku usaha tambang. Disebut khusus batubara. Ini mengonfirmasi bahwa indikasi oligarki tak terelakkan.

Tidak terelakkan pula bahwa oligarki selama ini beroleh stigma negatif, terutama terkait ekstraksi sumber daya alam dengan orientasi jangka pendek, sangat eksklusif dan mengesampingkan kepentingan publik dan lingkungan hidup. Oligarki bantu melahirkan ketidakadilan multidimensi. Corak kebijakan ”kondusif” untuk itu. Ada persoalan dengan produk kebijakan. Disinyalir ada pengaruh kuat dari pelaku usaha saat kebijakan dikonstruksi.

Apakah stigma negatif itu bisa lebih ”dijinakkan”? Bahkan, ditransformasi jadi mendekati ”white oligarch” seperti ditunjukkan kiprah Bill dan Melinda Gates, George Soroz, Warren Buffet, Elon Musk, dan The Medici Family di Itali.

Menjawab pertanyaan ini tentu terpulang kepada tim sukses ketiga pasangan calon. Apakah jawab dan janji mereka realistis. Sejauh ini justru belum cukup terendus dalam debat dan atau saat kampanye. Padahal, jawaban ini mempunyai nilai jual yang sangat strategis.

Masih tersisa dua hari menuju hari pencoblosan. Kiranya waktu yang relatif cukup bagi para pasangan calon segera merumuskan jawabannya. Dan bagi calon pemilih, terutama para undecided dan swing voters, agar menyimak lalu memastikan pilihan akhirnya. Selamat mencoblos!

Azis Khan

Bubulak, Bogor Barat

Editor:
YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000