Menuntut Kecerdasan Buatan Menghargai Hak Cipta
Membangun jurnalisme berkualitas di tengah ekosistem bisnis media yang tak sehat ibarat menanam padi di padang pasir.
Ilustrasi/Heryunanto
Penerbit media ternama AS, The New York Times (NYT), menggugat perusahaan pengembang kecerdasan buatan OpenAI dan pendirinya, Microsoft, atas dugaan pelanggaran hak cipta.
NYT menuding keduanya menggunakan karya jurnalistik NYT untuk ChatGPT. ChatGPT milik OpenAI dan Microsoft lalu memberikan materi NYT ke orang-orang yang mencari jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan (Kompas, 29/12/2023).
Gugatan NYT menunjukkan adanya persoalan penghargaan terhadap hak cipta yang dibawa teknologi kecerdasan buatan (AI). Jika didiamkan, pelanggaran hak cipta akan mengancam kelangsungan hidup media, baik secara ekonomi maupun jurnalistik.
Teknologi digital tak menghargai hak ekonomi penerbit. Padahal, penerbit seperti NYT berinvestasi besar-besaran untuk menghasilkan jurnalisme berkualitas. Perusahaan pengembang AI mengambil begitu saja karya jurnalistik tanpa izin dan pembayaran.
Pengambilan berita atau materi media arus utama telah lama dilakukan perusahaan platform digital. Mereka mengambil begitu saja berita-berita media arus utama tanpa izin dan pembayaran serta mengomersialkannya.
Perusahaan pengembang AI dan perusahaan platform digital menciptakan ekosistem bisnis media yang timpang yang bisa berdampak pada kualitas jurnalisme.
Hak cipta
Apakah media-media di Indonesia bisa melakukan gugatan serupa kepada perusahaan pengembang AI? Adakah dasar hukumnya?
Indonesia mempunyai Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Namun, UU ini kiranya tak bisa dijadikan dasar hukum untuk menggugat perusahaan pengembang AI apabila perusahaan itu melanggar hak cipta di Indonesia.
Ada dua alasan. Pertama, UU Hak Cipta mencakup dua hak, yakni hak ekonomi dan hak moral. Jika hak moral, misalnya, penyebutan sumber sudah dipenuhi, hak ekonomi pemilik hak cipta gugur.
Apabila AI telah menyebutkan sumber, pemilik hak cipta tak bisa menuntut hak ekonomi. Apabila ChatGPT telah menyebut nama media yang menjadi sumber informasi yang diberikan kepada orang-orang atas pertanyaan yang dilontarkan, perusahaan media tidak bisa menuntut pembayaran.
Padahal, dalam konteks hak cipta, media seperti dalam kasus gugatan NYT kepada OpenAI dan Microsoft, hak ekonomilah yang dituntut penerbit dari perusahaan AI. Itu karena perusahaan AI dan perusahaan platform digital memonetisasi materi yang mereka ambil dari penerbit tanpa izin ataupun pembayaran.
Perusahaan pengembang AI dan perusahaan platform digital menciptakan ekosistem bisnis media yang timpang yang bisa berdampak pada kualitas jurnalisme. Perusahaan media atau penerbit kehilangan kapital untuk mengembangkan jurnalisme berkualitas. Ibarat pepatah, membangun jurnalisme berkualitas di tengah ekosistem bisnis media yang tak sehat serupa menanam padi di padang pasir.
Kedua, UU Hak Cipta tak secara spesifik mengatur pelanggaran hak cipta oleh AI. Indonesia memerlukan regulasi yang spesifik mengatur AI, termasuk pengaturan hak cipta, serupa di Uni Eropa (UE).
Pada April 2023, parlemen Eropa menyetujui proposal regulasi yang mengatur AI generatif, seperti ChatGPT, mengungkap materi berhak cipta. Persetujuan ini dianggap membuka jalan bagi UU komprehensif pertama di dunia yang mengatur teknologi AI.
UE kini sudah membuat pengaturan komprehensif terkait AI. Parlemen Eropa dijadwalkan menggelar pemungutan suara untuk pengesahan rancangan UU penggunaan AI pada Januari 2024. Aturan ini diharapkan mulai berlaku 2026. Sebagai pengaturan komprehensif, UU tersebut kiranya juga mengatur pengungkapan materi berhak cipta.
Rancangan perpres ini kelak mewajibkan perusahaan platform digital menghargai hak ekonomi penerbit melalui bagi hasil, lisensi berbayar, dan bentuk-bentuk kerja sama lain.
Kerja sama
Apabila NYT menggugat perusahaan pengembang AI, kantor berita The Associated Press dan perusahaan media Axel Springer memilih bekerja sama dengan OpenAI yang tentu bersifat sukarela dalam bentuk business to business.
Sejumlah negara mengatur perusahaan platform digital wajib bekerja sama dengan perusahaan media atau penerbit. Australia melalui pemberlakuan news bargaining code sukses ”memaksa” Google dan Facebook membayar perusahaan media 200 juta dollar Australia pada 2022. Kanada yang memberlakukan online news act berhasil ”memaksa” Google menyepakati membayar penerbit lokal 100 juta dollar Kanada per tahun.
Indonesia memiliki rancangan Peraturan Presiden tentang Tanggung Jawab Platform Digital dan Perusahaan Pers untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Rancangan perpres ini kelak mewajibkan perusahaan platform digital menghargai hak ekonomi penerbit melalui bagi hasil, lisensi berbayar, dan bentuk-bentuk kerja sama lain.
Karena mewajibkan perusahaan platform digital memenuhi hak ekonomi penerbit melalui kerja sama, regulasi ini biasa disebut perpres publisher right (hak penerbit).
Apakah perpres ini kelak bisa memaksa perusahaan pengembang AI yang hendak mengambil berita penerbit bekerja sama dengan perusahaan media? Belum tentu.
Perpres hak penerbit spesifik mengatur perusahaan platform digital. Perusahaan platform digital bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang menggunakan teknologi AI. Namun, perusahaan pengembang AI belum tentu bisa dikategorikan sebagai perusahaan platform digital.
Tentu kalangan penerbit tetap memerlukan perpres ini untuk mendapatkan hak ekonomi mereka melalui kerja sama dengan perusahaan platform digital. Penerbit kelak juga memerlukan payung hukum untuk ”menuntut” perusahaan pengembang AI menghargai hak cipta penerbit. Sekali lagi, di masa depan kita butuh regulasi yang spesifik dan komprehensif mengatur AI yang di dalamnya juga mengatur hak cipta penerbit.
Baca juga: Kecerdasan Buatan dan Kapitalisme Pengawasan
Usman Kansong, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika