logo Kompas.id
OpiniSaldo Kepercayaan
Iklan

Saldo Kepercayaan

Kita juga dapat memahami fenomena gelombang kritik ini dengan menggunakan konsep Rekening Bank Kepercayaan.

Oleh
ALISSA WAHID
· 4 menit baca
Alissa Wahid
HERYUNANTO

Alissa Wahid

Pemilu 2024 bisa jadi pemilu paling seru dalam sejarah kontemporer Indonesia. Tidak hanya karena ada tiga pasangan calon yang bersaing ketat sehingga keriuhan yang terjadi pun membesar, tetapi karena munculnya figur keempat di antara ketiga paslon, yaitu Presiden Jokowi. Walaupun dihubungkan erat dengan pasangan calon 02, Prabowo-Gibran, figur keempat ini sering menjadi pembahasan terpisah dan khusus.

Sejak akhir tahun 2023, volume pembicaraan mengenai Presiden Jokowi terus membesar. Ini dimulai dari kekecewaan publik atas pelanggaran etika yang terjadi di Mahkamah Konstitusi. Presiden Jokowi dipandang terlibat, setidaknya melakukan pembiaran, dalam tindakan adik iparnya Anwar Usman, sang Ketua MK. Tidak terbantah, Presiden Jokowi dan putranya menjadi pihak yang diuntungkan dari keputusan MK No 90 Tahun 2023. Keputusan ini memungkinkan Gibran maju dalam Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Pemicu terakhirnya adalah pernyataan tentang kampanye. Ia menyampaikan bahwa tidak hanya Menteri, Presiden pun diperbolehkan oleh undang-undang untuk berpihak dan terlibat berkampanye dalam pemilu, dengan dalih bahwa Menteri dan Presiden adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik.

Sontak reaksi keras terhadap pernyataan tersebut pun berdatangan dari berbagai kelompok. Gelombang protes pertama datang dari kelompok masyarakat sipil. Bahkan ormas Islam Muhammadiyah pun mengeluarkan pernyataan tegas meminta Presiden Jokowi mencabut pernyataannya. Alih-alih menjadi panglima netralitas penyelenggara negara, Presiden dianggap membukakan gerbang akbar penyalahgunaan wewenang dan sumber daya negara untuk kepentingan elektoral oleh para pejabat publik.

Saat ini, gelombang kritik didominasi kelompok sivitas akademika. Sampai akhir minggu pertama Februari 2024, sebanyak 60 kelompok guru besar dan sivitas akademika dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menyatakan kritik dan sikap mengecam Presiden Jokowi.

Baca juga: Sesepuh

Gelombang kritik dari para guru besar direspons oleh lingkaran inti Presiden dan TKN 02 dengan tuduhan gerakan para guru besar ini tidak lah organik dan didorong oleh semangat murni, tetapi partisan dan diorkestrasi untuk agenda elektoral.

Sikap defensif tim Presiden Jokowi memicu kritik baru. Predikat Guru Besar bukanlah jabatan politis yang bisa didapatkan secara instan atas dasar relasi transaksional. Predikat ini mensyaratkan pengabdian jangka panjang setidaknya 10 tahun dan kedalaman penguasaan bidang ilmu dengan nalar kritis yang kuat. Tidak mudah menyodorkan transaksi politis kepada ratusan Guru Besar dari puluhan disiplin ilmu dan puluhan perguruan tinggi.

Iklan

Para pembela Presiden Jokowi ini tidak mengenal konsep longsornya gundukan pasir, atau biasa disebut Sandpile Model dari teori Self-Organized Criticality. Dalam konsep yang dicetuskan oleh Bak, Tang & Wiesenfeld (1988) ini, sebuah sistem digambarkan seperti gundukan pasir yang terus-menerus dikucuri butir pasir. Gundukan pasir ini akan tetap stabil sampai satu titik kritis tertentu, di mana satu butir pasir yang jatuh di puncak memicu longsornya gundukan pasir tersebut.

Titik kritis longsornya gundukan pasir kepercayaan terhadap Presiden Jokowi di mata para guru besar dan sivitas akademika adalah pernyataan Presiden tentang kebolehan berkampanye di atas, apalagi disampaikan saat sedang didampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Butir pasir pernyataan ini didahului dengan butir-butir pasir lain yang turun susul-menyusul, seperti adegan makan Presiden khusus dengan Prabowo, dibiarkannya Gibran menerima pinangan Prabowo dengan mengabaikan potensi konflik kepentingan yang muncul, naiknya Kaesang menjadi Ketua Partai Solidaritas Indonesia hanya berjarak dua hari setelah bergabung, politisasi program bantuan sosial yang mengeksklusi Menteri Sosial sebagai pemimpin sektor, mundurnya Menkopolhukam dan rumor retaknya kabinet.

Semua hal ini menggerus kredibilitas Presiden Jokowi yang sebelumnya dipandang sebagai pemimpin yang hebat. Padahal, menurut James Kouzes dan Barry Posner dalam buku The Leadership Challenge (1987), kredibilitas adalah fondasi dari kepemimpinan.

Baca juga: Sisi Sejarah

Kredibilitas sendiri dibentuk oleh integritas, itikad, kemampuan, dan karya; demikian menurut SMR Covey (2008). Dalam hal kemampuan dan karya, banyak catatan baik untuk Presiden Jokowi. Kritik justru berkaitan dengan integritas dan itikad.

Kita juga dapat memahami fenomena gelombang kritik ini dengan menggunakan konsep Rekening Bank Kepercayaan, mengadaptasi konsep Rekening Bank Emosi dari the Gottman Institute. Dalam konsep ini, setiap hal yang menambah kepercayaan diibaratkan sebagai setoran dalam Rekening Bank Kepercayaan. Sebaliknya setiap hal yang mengurangi kepercayaan adalah penarikan. Semakin besar saldo tersisa, semakin besar kepercayaan yang dimiliki.

Setiap butir pasir sikap dan tindakan Presiden Jokowi akan menjadi setoran atau penarikan dan saldo akhir rekeningnya akan menentukan tingkat kredibilitas. Sayangnya akhir-akhir ini, Presiden Jokowi berkali-kali melakukan penarikan besar. Ini mengakibatkan saldo rekening semakin menipis.

Bagaimanapun, Presiden Jokowi adalah pemimpin di negara demokratis, bukan penguasa mutlak. Secara alamiah, kelompok-kelompok masyarakat yang kuat dalam nalar kritis seperti masyarakat sipil dan akademisi akan bereaksi terhadap saldo tipis ini. Maka tak heran merekalah yang memimpin komitmen menyelamatkan bangsa dan negara.

Sejatinya, rumus Rekening Bank ini memudahkan kita mengelola situasi. Alih-alih menilai kritik sebagai upaya menjatuhkan Presiden, ia dapat dipandang sebagai peringatan agar Presiden segera memperhatikan saldo Rekening Bank Kepercayaan yang menipis.

PR besar Presiden adalah meningkatkan kembali saldo rekening kepercayaan publik kepadanya, agar tidak semakin berkurang. Diperlukan langkah konkret untuk menghentikan penarikan dari rekening, semisal intervensi halus perangkat negara kepada rakyat di tingkat akar rumput. Juga langkah konkret sebagai setoran rekening, seperti memastikan ASN menjaga netralitas, bukan hanya menginstruksikan.

Mungkin justru di sini diperlukan orkestrasi.

Editor:
DAHONO FITRIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000