Walhasil, walau saat itu menerima kekalahan politik, pada akhirnya sejarah mencatat jejak yang menunjukkan Gus Dur berdiri di sisi yang benar (”stood on the right side of history”).
Oleh
ALISSA WAHID
·4 menit baca
Tepat hari ini 14 tahun lalu, Gus Dur dimakamkan diantarkan oleh puluhan ribu orang di pemakaman Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Para politisi dan birokrat melepas Presiden Wahid. Rakyat kecil melepas sang pelindung tempat mereka sambat. Para pemuka lintas agama dan umatnya melepas Gus Dur sang pejuang kebinekaan. Para pegiat budaya melepas Gus Dur sang budayawan. Para aktivis demokrasi melepas Gus Dur sang Pejuang Demokrasi. Dan para nahdliyin nahdliyat melepas sang kiai pemimpin yang nyeleneh dengan peci miringnya.
Walhasil, Presiden Gus Dur hari itu memaksa Prosesi Pemakaman Kenegaraan yang biasanya berlangsung ala militer dan steril dari massa berganti menjadi upacara rakyat di mana (aktor) Negara harus menyesuaikan dirinya, mulai dari Presiden SBY sampai prajurit TNI pelaksana tembakan kehormatan.
Bagaimana tidak. Atap bangunan sekitar makam dan pohon-pohon penuh dengan manusia yang ingin menyaksikan ulama panutannya dikebumikan. Gerbang pesantren dan sebagian tembok luar ambruk terdesak oleh peziarah yang membeludak.
Akhirnya, Paspampres bekerja ekstra mengawal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang harus berbagi ruang sempit dengan para kiai. Para pemuka agama dalam aneka busana kebesarannya berkumpul merapal doa. Kiai-kiai takzim melantunkan lafaz tahlil. Sejak saat itu, makam Gus Dur tidak pernah sepi dari peziarah. Diperkirakan 1,5 juta peziarah setiap tahun mengunjungi makam beliau sehingga Pemerintah Kabupaten Jombang pun kini memiliki helatan rutin bertajuk Bulan Gus Dur.
Kiai Maimoen Zubair pernah bertanya kepada Gus Mus mengapa begitu banyak orang menziarahi Gus Dur. Sahabat terdekat Gus Dur itu pun menjawab, Gus Dur dicintai manusia-manusia karena ia mencintai manusia-manusia.
Gus Dur memang konsisten berjuang untuk rakyat yang dicintainya sampai akhir hayat, walaupun ia kalah dalam kontestasi politik di tahun 2001. Di antara pendukungnya mungkin hanya Gus Dur sendiri yang tidak meratapi kekalahan tersebut. Tetapi bertahun-tahun setelahnya, jejak-jejak yang ditinggalkannya masih nyata. Misalnya di lembaga-lembaga penyokong demokrasi, seperti MK, KPK, Ombudsman, dan Komisi Yudisial. Pendekatan keadilan hakiki bagi seluruh warga yang terpinggirkan dan lemah, termasuk warga Tionghoa dan Papua, juga berdampak sampai saat ini.
Kebijakan Presiden Gus Dur memang berbasis pada fundamental kehidupan berbangsa sehingga berwatak transformatif. Walhasil, walau saat itu menerima kekalahan politik, pada akhirnya sejarah mencatat jejak yang menunjukkan Gus Dur berdiri di sisi yang benar (stood on the right side of history).
Menyongsong Pemilu Raya 2024, jejak Gus Dur pun kembali dikaji. Kutipan-kutipan pernyataan ataupun tulisannya terasa masih relevan dengan dinamika politik saat ini.
Tidak bisa dimungkiri, Demokrasi Indonesia sekarang mulai dikritisi dan dicemaskan. Berbagai penanda demokrasi menunjukkan penurunan, terutama dalam dimensi kebebasan sipil dan budaya politik. Indeks demokrasi Indonesia versi Economist Intelligent Unit menurun sejak tahun 2016. Tahun 2022 ada peningkatan tipis, tetapi dengan ontran-ontran MK dan proses pemilu yang sedang berlangsung, bisa jadi tahun 2023 akan menurun kembali.
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 versi Transparency Internasional bahkan anjlok ke titik terendah sejak reformasi. Ini merupakan dampak nyata dari pelemahan KPK sejak tahun 2019 melalui Revisi UU KPK dan pemilihan Pimpinan KPK. Entah akan seperti apa skor tahun 2023, dengan diberhentikannya pimpinan KPK dan kasus pemerasan oleh Ketua KPK terhadap tersangka kasus korupsi.
Istilah demokrasi seolah-olah yang merupakan kritik Gus Dur terhadap praktik demokrasi di masa Orde Baru pun mulai dijajarkan dengan realita demokrasi kekinian. Kita punya cabang eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif; tetapi ketiganya sarat kasus korupsi. Kita punya aparat penegak hukum, tapi kerap bertindak membungkam hak konstitusi warganya.
Kita punya Mahkamah Konstitusi, tapi ketuanya melanggar etika konflik kepentingan. Kita seolah-olah punya pemilu yang jujur dan adil, tapi kontestannya berangkat dari lapangan yang tidak rata sebab putra Presiden yang sedang berkuasa ikut bertarung. Kita punya KPU dan Bawaslu, tapi banyak keputusannya yang dikritisi publik.
Padahal, cukup banyak capaian pembangunan yang sudah dibukukan oleh pemerintah, utamanya dalam kebijakan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan infrastruktur, serta peran Indonesia dalam panggung global. Maka sayang sekali bila kepemimpinan yang baik saat ini justru diakhiri dengan terjadinya pelemahan demokrasi, pelemahan pemberantasan KKN, serta pelemahan penegakan hukum akibat pertarungan kekuasaan lima tahunan.
Sejarah akan memberikan ruang bagi kebenaran untuk mencari jalannya. Sebagai pemimpin tertinggi bangsa, setiap Presiden akan berdiri dalam catatan sejarah di masa depan: di sisi yang benar, atau di sisi yang salah. Yang akan menentukan adalah persistensi kita untuk berpegang pada prinsip luhur, seperti integritas, keadilan, dan kepentingan bangsa.
Bila kita melanggarnya demi kepentingan pribadi, bisa jadi kita menang saat ini, tetapi berada di sisi yang salah. Sebaliknya, kita bisa kalah saat ini, tetapi berada di sisi yang benar dalam catatan sejarah.
Di tahun 2002, Gus Dur menulis: kehidupan kita sekarang hanya dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bukannya untuk mencapai kepemimpinan (bangsa) yang diharapkan. Kekuasaan disamakan dengan kepemimpinan, dan kedua hal tersebut tidak lagi mengindahkan aspek moral/etika dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
Dua puluh satu tahun setelahnya, kita ternyata masih berada di titik yang sama. Semoga kami dapat merawat Indonesia sebagaimana teladanmu, Gus: bila pun kalah dalam pertarungan, kami tetap di sisi yang benar dalam sejarah.