Ada tiga cerpen Indonesia cukup monumental yang judulnya mengandung kata ”dilarang”, yaitu ”Dilarang Mencintai Bunga-bunga” (Kuntowijoyo), ”Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (Seno Gumira Ajidarma), dan ”Dilarang Bermimpi Jadi Presiden” (Agus Noor).
”Dilarang” jadi titik temu tematik. Maklum ketiganya muncul dalam era Orde Baru kala situasi sosial politik ”aman terkendali” tetapi nir-kebebasan. Latar sosiologis/ideologis ini merujuk kekuasaan dalam keluarga, masyarakat, hingga negara.
”Dilarang Mencintai Bunga-bunga” pertama kali dimuat Majalah Sastra No 3/VII/1969, lalu terbit dalam buku berjudul sama (1992). Bercerita tentang keluarga kecil yang baru pindah ke kota. Si ayah buka bengkel, sedangkan ibu aktif di pengajian.
Si ayah menuntut si anak membantunya bekerja. Namun, jiwa anak yang lembut tak tahan ribut suara mesin. Ia memilih dunianya sendiri dan ia dapatkan itu di rumah tetangganya, seorang kakek yang senang memelihara aneka bunga. Dunia kakek amat tenang. Kontras dengan dunia ayah yang mekanis, keras dan hiruk-pikuk. Namun, si ayah tak peduli.
Baca juga: Akulah Pendukungmu
Begitulah kekuasaan patriarki beroperasi di ranah domestik. Ayah melarang si anak ikut mencintai bunga-bunga, ”Untuk apa bunga-bunga ini, Buyung?” Si anak bungkam. ”Ayo, buang jauh-jauh, heh!” Sementara ibu bersikap kikuk dan tak berani menghadapi ayah.
Menurut Wan Anwar, secara filosofis, cerpen ini menyimbolkan dunia material dan spiritual. Ayah sibuk bekerja lambang material yang harus diperoleh dengan kerja keras. Kakek yang lembut melambangkan dunia spiritual yang digapai lewat kejernihan. Keduanya diperlukan demi keseimbangan hidup. Sayang, dunia ibu tak dapat ruang (2007: 117).
Kenyataannya dunia material lebih ditonjolkan dan dunia alternatif ditiadakan. Visi pendidikan ”manusia siap pakai” jelas merujuk hal fisik nan mekanik.
Kekuasaan sosial politik
Berikutnya kata ”dilarang” terkait dengan kekuasaan sosial atas nama kepentingan umum. ”Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” mengangkat soal itu. Cerpen ini dimuat Suara Pembaruan (1991), lalu terbit dalam buku berjudul sama (1995).
Ada seorang perempuan single indekos di rumah Bu Saleha. Ia punya kebiasaan menyanyi kala mandi. Suaranya yang serak-serak basah membuat laki-laki tetangga jadi suka berkhayal. Belum lagi bunyi byar-byur air, risleting, karet celana, bahkan klst-klst sabun.
Khayalan itu terendus oleh istri-istri mereka dan menimbulkan cemburu. Para ibu minta pak RT melarang perempuan itu menyanyi di kamar mandi karena ”mengganggu stabilitas”.
”Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikir Pak RT. Namun, setelah membuktikan sendiri bagaimana dahsyatnya efek nyanyian itu, ia datangi juga perempuan itu.
”Jadi selama ini para suami sepanjang gang membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi dan membayangkan bagaimana saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”
”Ya, kira-kira begitu, Zus,” jawab Pak RT menahan malu.
Perempuan itu patuh. Sejak itu ia mandi dengan diam. Namun, siapa bisa melarang imajinasi? Gebyar-gebyur air malah membangkitkan berahi lebih liar!
Ibu-ibu kembali menghadap pak RT. Kali ini mereka minta perempuan itu diusir. Sejak itu di kampung itu berlaku aturan baru, ”Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”.
Efek ”dilarang” hadir dari konflik ”kecil” imaji seksualitas—hal sepele dalam kehidupan urban. Namun, sesungguhnya Seno menyusupkan efek lebih besar; imajinasi kok dilarang?!
Ini senada dengan kekuasaan politik dalam ”Dilarang Bermimpi Jadi Presiden” yang secara ganjil meminta orang menyeleksi materi mimpi. Cerpen ini dimuat Jawa Pos (1996) lalu jadi bagian buku Bapak Presiden yang Terhormat (2000).
Adalah Mardi, seorang buruh tani, mengaku bermimpi jadi presiden. Pengakuan itu membuat kampung sontak geger. Juga mencekam. Pak Lurah dan polisi turun tangan.
”Kamu jangan main-main, Mar! Saya tak suka penduduk desa ini bertingkah aneh-aneh. Apa perlunya sih kamu bermimpi jadi presiden segala? Apa dikira itu gampang?”
”Tapi saya toh cuma mimpi, Pak.”
”Iya! Tapi jangan mimpi jadi presiden. Tak pantas. Mimpi yang biasa-biasa saja.”
Demi ”ketertiban umum”, Mardi dibawa ke kantor polisi. Maklum, dalam rezim ”mayoritas tunggal”, kursi presiden sudah punya pemilik tetap. Bila ada yang mengincar—sekalipun dalam mimpi—itu bahaya. Subversif.
Strategi dan relevansi
Konsepsi ”fakta-fiksi” sebagai strategi literer ”cerpen koran” berhasil menaklukkan media umum sekaligus menyikapi masifnya keadaan. Lahirlah cerita-cerita faktual nan aktual. Apa yang tabu bagi kekuasaan nangkring di media mainstream sebagai ”hanya cerita”. Itu luar biasa mengingat cekal-intimidasi tak luput menyasar dunia seni kita. Pentas Suksesi Teater Koma dilarang dan bicara suksesi tak boleh. Dari sini Seno dan Agus beroleh ilham.
Baca juga: Pembocoran Lokalitas Sastra, Strategi Literer dan Nasionalisme Kita
Seno menyiasati fakta lewat cerita urban. Terkesan gayeng dan ringan memang, tetapi berkorelasi dengan modus kekuasaan. Relevansinya terasa kini. ”Parno” terhadap yang porno kadang menekan pihak lain. Ingatlah UU Pornoaksi yang ditolak publik karena nyelonong ke ruang privat atas nama agama dan moral.
Larangan bermimpi jadi presiden juga membuat masyarakat mendukung Mardi. Bukan sebagai capres, melainkan memulihkan haknya. Mimpi sebagai simbol kebebasan itulah yang kita raih lewat Reformasi. Sayang kebablasan: oligarki dan politik dinasti berkibar-kibar.
Sementara ”Dilarang Mencintai Bunga-bunga” tipikal ”cerpen majalah”. Bahasanya cenderung reflektif dan eksploratif. Namun, inti ceritanya tentang keluarga, pendidikan, dan kerja tetap relevan. Setali dengan isu ”cerpen koran” tentang seksualitas, intimidasi, pelarangan, dan paradoks-paradoks pemilu yang tak tepermanai. Oleh karena itu, Anda tak dilarang membaca kembali ketiga cerpen ”dilarang” itu!
Raudal Tanjung Banua, Sastrawan, Tinggal di Bantul