Peliyanan memunculkan pemikiran ”kita vs mereka” dan menjadi dasar terjadinya diskriminasi karena perbedaan identitas.
Oleh
MEICKY SHOREAMANIS PANGGABEAN
·3 menit baca
Dalam hidup bermasyarakat, kita terus menyaksikan diskriminasi terjadi dalam berbagai bentuk. Penyebabnya beragam: ras, ekonomi, agama, dan masih banyak lagi. Sayang, derasnya kabar mengenai peristiwa diskriminasi berbanding terbalik dengan laju informasi mengenai akar penyebabnya, yakni peliyanan.
Peliyanan terkait erat dengan istilah identitas dan perbedaan (Mengstie, 2011). Proses ini melibatkan individu atau kelompok yang diberi label ”tidak sesuai, amat berbeda, dan lebih rendah” oleh kelompok yang merasa dominan atau lebih berkuasa.
Peliyanan melibatkan konstruksi identitas orang lain sebagai sesuatu yang berbeda dan hina. Gagasan keliyanan lantas menciptakan pemisahan antara normal vs abnormal, orang dalam vs orang luar, atau kami vs mereka.
Proses peliyanan selalu hanya melihat persamaan yang ada dalam sebuah kelompok, mengabaikan keunikan individu, dan berujung pada stereotipe, prasangka, dan perpecahan sosial berdasarkan etnis, jender, ras, dan faktor demografi lainnya. Oleh karena itulah, peliyanan memunculkan pemikiran ”kita vs mereka” dan menjadi dasar bagi terjadinya diskriminasi karena perbedaan identitas.
Peliyanan memunculkan pemikiran ’kita vs mereka’ dan menjadi dasar bagi terjadinya diskriminasi karena perbedaan identitas.
Ambil saja Voice of Baceprot (VoB), band heavy metal asal Garut, Jawa Barat. Dalam dunia heavy metal yang patriarkis, tiga perempuan berhijab ini mengalami diskriminasi, tak bisa tampil dalam sebuah festival.
Mereka tetap berkiprah, antara lain, karena ingin mematahkan stigma bahwa musik keras adalah musik orang urakan. ”Kami bertiga membawakan musik keras ini dengan tetap berhijab, taat beragama, dan berusaha tetap menjalani hidup yang baik,” ujar Firda, lead guitar VoB.
Peliyanan sangat berbahaya. Pada awalnya terjadi secara halus karena melibatkan asumsi kita, yang kehadirannya sering tak kita sadari, mengenai orang lain. Padahal, efeknya bisa amat destruktif. Bibit peliyanan mulai tumbuh ketika kita mengatribusikan sifat-sifat positif kepada mereka yang memiliki kemiripan dengan kita, tetapi menilai negatif orang-orang yang berbeda dari kita.
”Kita” dianggap normal, sedangkan ”mereka” dianggap ”yang liyan” melalui generalisasi dan stereotipe. Hitler, misalnya, menganggap rendah bukan hanya kaum Yahudi, melainkan juga seniman, pendidik, orang Romawi, komunis, homoseksual, hingga orang yang cacat secara mental dan fisik.
Partai Nazi yang ia pimpin tak ayal lagi memiliki persepsi bahwa Arya adalah ras unggul, sedangkan Yahudi berstatus sangat inferior. Persepsi ini berkontribusi besar dalam tindakan Hitler membantai jutaan orang Yahudi.
Peliyanan sangat berbahaya. Pada awalnya terjadi secara halus karena melibatkan asumsi kita, yang kehadirannya sering tak kita sadari, mengenai orang lain.
Proses meliyankan melibatkan interaksi terus-menerus antar-individu dan kelompok. Peliyanan terdiri atas beragam identitas: usia, suku, ras, pekerjaan, afiliasi politik, dan lain-lain.
Tentu saja semua jenis identitas itu memiliki rupa-rupa variasi. Usia, misalnya. Ada usia anak, praremaja, remaja, dewasa, dan seterusnya. Terkait suku, kita tentu paham bahwa negeri ini terdiri dari sekitar 17.500 pulau yang sebagian di antaranya menjadi tempat tinggal lebih kurang 1.300 suku.
Namun, keliyanan menawarkan pola pikir dikotomis. Terkait usia, ide yang ia usung hanyalah tua-muda. Mengenai suku, gagasan yang ia promosikan cuma dua: in-group atau out-group alias ”kami vs mereka”.
Keliyanan menawarkan pola pikir dikotomis. Terkait usia, ide yang ia usung hanyalah tua-muda. Mengenai suku, gagasan yang ia promosikan cuma dua: in-group atau out-group alias ’kami vs mereka’.
Peliyanan tak merangkul keberagaman. Warna yang ada pada dirinya hanyalah hitam dan putih. Oleh karena itulah, selain upaya untuk menanamkan kebiasaan berpikir kritis, pendidikan multikultural adalah solusi yang juga mutlak sifatnya.
Jika ditelaah secara praktis, pendidikan macam inilah yang membuat bahasa Indonesia tak dipandang rendah saat dibandingkan dengan bahasa Inggris. Pendidikan seperti inilah yang akan menyadarkan masyarakat kita bahwa mereka yang berkulit gelap dan berambut keriting bukanlah sosok kriminal dan mereka yang berkulit terang identik dengan adab. Pengakuan akan kebinekaan harus ditumbuhkan sejak usia dini.
Meicky Shoreamanis Panggabean,Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan