Imlek dan ”Rumah” Kita
Momentum Imlek penting untuk mengingatkan kita agar bisa terus memperkuat fondasi ”rumah” besar bersama di negeri ini.
Tahun baru Imlek merupakan ritus tahunan yang dirayakan kelompok etnis Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagai sebuah tradisi, Imlek menjadi wahana yang berperan sebagai ekspresi kultural sekaligus representasi komunal yang reflektif dan menguatkan.
Hal ini terwujud antara lain dalam simbolisme elemen budaya yang menyertainya, seperti tradisi memberi angpao amplop merah berisi uang dari orang yang lebih tua atau yang sudah menikah kepada yang muda. Hal ini menjadi perlambang harapan masa depan yang lebih baik.
Juga tradisi mengunjungi dan makan malam bersama keluarga. Sajian seperti kue keranjang, kue mangkuk, kue bulan, kue moho, semprong, onde-onde, pangsit, bakpao, mantou, sup kacang merah manis, dan wedang ronde, hadir di ruang tamu dan meja makan. Tidak semata menu jajanan kuliner, hal itu juga menunjukkan pewarisan teknik dan nilai tradisi nenek moyang.
Sebagai sebuah tradisi, Imlek menjadi wahana yang berperan sebagai ekspresi kultural sekaligus representasi komunal yang reflektif dan menguatkan.
Tradisi itu mengekspresikan tindakan bakti anak kepada orangtua dan leluhurnya (xiao) sebagai tugas dan juga kehormatan paling besar. Bagi orang China, penghormatan dan pengorbanan kepada moyang diyakini akan membawa berkah dan kebaikan kepada keluarga sebagai sebuah kesatuan (Irianto, 2010).
Imlek memuat ikatan komunal yang di dalamnya berisi tentang konsep hidup, norma, dan kualitas nilai keluarga. Ia menciptakan momentum dan membangun ”rumah“ kontekstual sebagai sebuah entitas bersama.
Rumah bukan sekadar bentuk fisik bangunan tempat tinggal dan berketurunan. Rumah sebagai sebuah rancang bangun abstraksi konsep kualitas hubungan para anggotanya dalam spiritualitas yang mengikat. Seperti juga Lebaran menciptakan ”rumah” bagi masyarakat Islam Indonesia, Suro menjadi ”rumah” bagi sejumlah orang Jawa, dan Nyepi adalah ”rumah” bagi kaum Hindu Bali. Demikian juga Imlek menciptakan ”rumah” bagi orang beretnik Tionghoa.
Realitas
Meskipun demikian, pada masanya negara pernah menerapkan kebijakan yang akhirnya menciptakan terjadinya kekerasan kolektif yang sering kali menempatkan masyarakat Tionghoa sebagai korban. Sentimen anti-Tionghoa dimanipulasi dalam bentuk tekanan politik, tindak kekerasan, atau diskriminasi yang dikemas dalam bentuk nasionalisme atau ekonomi nonpribumi. Indonesia menjadi rumah yang tidak baik bagi orang Tionghoa.
Seturut Couteau (2022), identitas orang ”China” diobrak-abrik: di sini dilainkan, di sana disuruh membaur, di sana lagi disuruh ”menyumbang” atas nama ras, keadilan sosial, bangsa, agama, dan lainnya.
Seolah-olah kenyataan historis kehadiran mereka di Indonesia, dan keindonesiaannya, hendak dinafikan atau sebaliknya wajib dibuktikan setiap saat, walaupun mereka sudah ribuan tahun hidup di Nusantara ini. Seakan-akan mereka ditakdirkan untuk terus asing di Bumi Pertiwi yang mereka turut suburkan itu.
Pandangan dan pemaknaan tentang suatu peristiwa memang tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang memberinya makna. Tionghoa adalah medan makna yang terus-menerus diperebutkan oleh berbagai macam kepentingan. Tidak hanya dalam konteks sosiokultural, tapi juga demi kepentingan politik dan ideologi.
Pemaknaan, pengartikulasian, dan penggunaannya dalam konteks kepentingan tertentu itu dikomodifikasi dan menjadikannya, seakan-akan, liyan (other). Padahal, dalam realitas kultural, mereka ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan bangsa.
Berdasarkan sejarah, Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh Raden Patah, seorang raja keturunan Tionghoa. Di bidang pertanian, orang-orang Tionghoa mewariskan pengetahuan, teknologi pengolahan, dan peralatan pertanian, serta cara pembuatan makanan.
Padahal, dalam realitas kultural, mereka ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan bangsa.
Etnik keturunan Tionghoa di Indonesia juga mewariskan teknologi kelautan dan pembuatan kapal serta alat dan senjata dari logam, keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya, terutama batik yang bahkan kemudian didaku sebagai seni Jawa (Rustopo, 2006).
Mereka menjadi unik ketika beberapa di antaranya bahkan diberi gelar kehormatan, dijadikan penasihat raja, masuk dalam lingkungan keraton. Realitas sosial semacam ini tentu saja bertolak belakang dengan realitas kultural.
Relasi sosial
Di sisi lain, kebudayaan tidak hanya menunjuk pada nilai-nilai universal yang intrinsik dan abadi. Akan tetapi, dalam konteksnya, merupakan sebuah praktik logika yang menunjuk pada seluruh peta relasi sosial.
Pemahaman ini kita perlukan sebagai semangat rekonstruktif untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya, termasuk antara pribumi dan nonpribumi.
Kita tahu hingga kini hal itu masih tetap saja menjadi isu laten, rentan, dan gampang tersulut sebagai masalah sosial di masyarakat multikultur kita ini. Terlebih dalam kontestasi eleksi tahun 2024 ini, tidak jarang, untuk memobilisasi perolehan suara, politik identitas digunakan. Isu perbedaan ras, etnik, dan agama lazim diangkat untuk menggalang kekuatan atau menjadi politik identitas untuk menjatuhkan lawan politik.
Untuk itu, kita harus terus memahami multikulturalisme sebagai sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur dan menjadi jembatan yang mengakomodasi paradigma perbedaan logika etnik dan pemikiran budaya dalam masyarakat yang plural (Parsudi Suparlan, 2001). Hal ini terwujud dalam etika sosial kemasyarakatan berupa ”persaudaraan”: sesuatu yang lebih sublim ketimbang ras, agama, atau ideologi—sebuah relasi yang nonsektarian.
Baca juga: Menyambut Tahun Baru Imlek Naga Kayu di Yogyakarta
Persaudaraan adalah sebuah etika yang beralaskan saling mengakui satu sama lain sebagai subyek moral yang setara. Etika yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip metasektarian, seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.
Isu Tionghoa hanya akan menjadi ”ranjau sejarah” jika tidak disikapi secara positif. Rekonsiliasi nasional yang dibangun Gus Dur bagi kelompok minoritas (termasuk Tionghoa) sebelumnya patut dibaca dan dimaknai sebagai cara mencapai reformasi politik, sosial, dan ekonomi untuk semua anak bangsa.
Isu Tionghoa hanya akan menjadi ”ranjau sejarah ” jika tidak disikapi secara positif.
Nilai-nilai itu harus mengalami transformasi politik dalam sebuah diskursus publik, dalam pengelolaan setiap aspek terkait sosial, ekspresi komunal, identifikasi, hingga religiositas (dalam makna luas) dengan semangat kebersamaan guna menjamin kesetaraan dan kebebasan.
Momentum Imlek ini penting untuk selalu mengingatkan kita untuk bisa membangun dan terus menguatkan fondasi ”rumah” besar bersama yang mewujud dalam masyarakat multikultural dan beradab di seluruh Indonesia. Rumah yang, sesuai konsep budaya kita, mengedepankan rasa sebagai ikatan sosial dari komunalitas dan juga solidaritas. Dengannya hidup bersama bisa menjadi lebih harmonis.
Purnawan Andra, Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek