Tiga Alasan Eksistensial Universitas
Kehidupan bangsa ini semakin banyak menghasilkan ”quack”, yaitu orang-orang yang tidak peduli dan tidak kompeten.
Setiap institusi di masyarakat lahir dengan alasan keberadaan tertentu.
Institusi apa pun, kecuali aturan main organisasi-organisasi di bawah tanah, punya alasan keberadaan (raison d’etre) yang dibentuk oleh masyarakat untuk menjalankan fungsi yang diperlukan.
Alasan keberadaan institusi universitas lalu diterjemahkan dalam prinsip-prinsip dan mewujud dalam berbagai organisasi universitas dengan norma-normanya. Harus dibedakan antara institusi dengan nilai dan prinsip yang mapan dengan organisasi individual universitas yang memiliki orientasi dan kemampuan beragam dalam menerjemahkan prinsip-prinsip dasar. Seperti organisasi mana pun, organisasi universitas juga dipengaruhi orientasi negara dan pengelola negara dalam menjunjung raison d’etre universitas.
Tiga alasan
Universitas, sebagai suatu institusi yang hadir secara global, mempunyai tiga alasan keberadaan: (a) sebagai institusi yang menghasilkan pengetahuan baru bertujuan pengembangan kesejahteraan; (b) sebagai institusi transfer dan pengembangan pengetahuan bagi generasi muda; (c) sebagai institusi yang menegakkan rasionalitas dan kerja metodis dalam menegakkan kebenaran dan kejujuran
Ketiganya tak bisa dipisahkan satu sama lain dan ini yang menjadikan institusi universitas istimewa dan sangat penting. Kerja metodis dan kejujuran adalah cara dalam menghasilkan temuan. Apa yang dihasilkan universitas harus berdasarkan pada kejujuran dalam merumuskan, mencari data, dan menganalisis.
Kemampuan ini harus dijaga oleh komunitas akademis. Dalam penelitian dan pengajaran, universitas harus memilih tema-tema yang penting dalam persoalan kesejahteraan masyarakat, baik ekonomi, tata kelola politik, maupun hubungan sosial.
Justru peran universitas sangat krusial dalam mengarahkan pengelolaan negara.
Sejak reformasi hingga sekarang, terdapat kecenderungan kian melemahnya pemanfaatan riset yang baik dalam kebijakan negara.
Mengapa? Sebab, negara merupakan institusi yang diberi mandat untuk mengelola sumber negara terbesar. Karena besar dan krusialnya (membuat undang-undang dan sebagainya), dibutuhkan pengelolaan yang rasional dan sangat akuntabel. Semua itu butuh kerangka pikiran dan mekanisme. Risiko yang dipertaruhkan adalah buruknya pembangunan inklusif dan transformasi ekonomi.
Ketidakterpisahan tiga nilai inilah yang membuat universitas memegang peran inti. Organisasi lain non-universitas tentu ada yang menghasilkan pengetahuan baru, bahkan juga etik dan norma baru. Reformasi birokrasi yang didorong negara, contohnya, menghasilkan skema dan model baru.
Korporasi juga menemukan banyak inovasi yang menyumbang pada kesejahteraan manusia. Namun, mereka tak berada dalam suatu institusi yang diikat oleh alasan keberadaan, yaitu menjaga kejujuran metodis dan tujuan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat, dalam kerja-kerjanya.
Pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan dan menjaga agar institusi ini melahirkan organisasi universitas yang dapat memenuhi alasan keberadaannya. Dukungan pemerintah harus dimulai dari ditegakkannya prinsip berbasis riset dengan menggunakan basis riset dalam pembuatan kebijakan dan mekanisme.
Sejak reformasi hingga sekarang terdapat kecenderungan kian melemahnya pemanfaatan riset yang baik dalam kebijakan negara.
Pemerintah selalu mengatakan sudah berbasis riset, tetapi klaim ini tak bisa dibuktikan. Riset untuk hal penting harus dilakukan oleh pihak yang kompeten, bertingkat-tingkat tahapnya, serta terbuka pada masukan dan kritik. Tak mungkin dilakukan dengan cepat.
Dukungan kebijakan
Sekitar 12 tahun belakangan ini memang ada perbaikan kebijakan negara terhadap universitas. Ini ditunjukkan oleh membesarnya dana untuk riset. Namun, R&D World menyebut, Indonesia masih termasuk negara dengan rasio penganggaran riset terhadap PDB paling rendah, 0,24 persen pada 2022 (EF Santika, Katadata [LSI]).
Pemerintah belakangan juga mengalokasikan dana beasiswa yang cukup besar untuk mendongkrak tingkat kelulusan sarjana dan pascasarjana. Pasti ini juga berdampak positif terhadap universitas.
Namun, yang dibutuhkan bukan hanya dana. Pertama, pemerintah harus menjamin kebebasan akademis. Kedua, pemerintah, dalam melakukan pengaturan (demi tujuan akuntabilitas keuangan, misalnya), tak boleh mengeluarkan aturan yang membatasi para akademisi dalam menghasilkan karya ilmiah terbaik. Pengaturan kewajiban dosen dalam administrasi sungguh tak masuk akal.
Harian Kompas pernah mengeluarkan sejumlah laporan riset yang menunjukkan anomali luar biasa kebijakan pemerintah terhadap perguruan tinggi. Salah satu dasar persoalan adalah ketidakmampuan pemerintah membuat peraturan yang spesifik pada fungsi universitas/raison d’etre-nya.
Kedua, jika pemerintah ingin mengembangkan kebijakan berbasis riset, maka harus dibangun komunikasi yang kuat antara pemerintah dan universitas. Pemerintah punya pembangunan dan mempunyai kondisi tantangan yang spesifik.
Arah pembangunan biasanya bersifat abstrak. The devil in the details: ketidakmampuan institusional dan organisasional dalam mencapainya. Belum lagi caplokan kepentingan dan permainan kekuasaan. Kepada universitas harus dikomunikasikan segala tantangan tata kelola yang dihadapi oleh pemerintah. Riset-riset harus mencari pemecahan terbaik.
Lepas dari semakin kuatnya oligarki yang telah banyak disoroti beberapa tahun belakangan ini, kerusakan kultural dan sosial lainnya juga terjadi dalam kehidupan publik.
Sederetan rezim pemerintahan yang ada sejak reformasi, yang dalam kondisi riilnya tidak melakukan upaya mendukung tumbuhnya ilmu pengetahuan, menimbulkan berbagai kerusakan dalam pengelolaan publik.
Lepas dari semakin kuatnya oligarki yang telah banyak disoroti beberapa tahun belakangan ini, kerusakan kultural dan sosial lainnya juga terjadi dalam kehidupan publik. Kehidupan bangsa ini semakin banyak menghasilkan ”quack”, yaitu orang-orang yang tidak peduli dan tidak kompeten muncul dalam kehidupan publik. Mereka banyak ada di institusi politik.
Sebagian kesalahan juga terletak pada masyarakat pemilih. Mereka sering terbuai oleh para pejabat dan politisi, bahkan rela berkonflik dengan sesama anggota masyarakat demi membela idolanya. Sudah saatnya masyarakat menjadi rasional dan kritis dalam memberikan suara pilihan. Kemampuan mengawasi tingkat akuntabilitas harus dibangun. Pemerintah juga dituntut menggunakan basis riset yang kredibel dalam membuat kebijakan.
Baca juga: Peluit Cendekia Mengingatkan Penguasa
Meuthia Ganie-Rochman,Sosiolog Organisasi Pembangunan Universitas Indonesia