logo Kompas.id
OpiniParadoks Preferensi Generasi Z
Iklan

Paradoks Preferensi Generasi Z

Dalam kaitan pemilu, gen Z harus memperjuangkan kredo kreativitas politik sebagai jati diri politiknya.

Oleh
WAWAN SOBARI
· 4 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/hXzfAgVS-RY0euIJdT5o4dvFoe8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F06%2Ff769b0d1-29ff-46f9-96f1-ab0183cff674_jpg.jpg

Generasi Z (gen Z) mengalami keterwakilan semu di Pilpres 2024. Tiga pasangan capres- cawapres kurang mengakomodasi kepentingan mereka. Janji politik para aspiran minim menyebut gen Z.

Merujuk visi, misi, dan program, pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar hanya sekali menyebut frasa generasi Z. Mereka menjanjikan gen Z sebagai salah satu penerima manfaat penyediaan hunian layak, dekat pusat kota, dan harga terjangkau.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tak sekali pun menyebut frasa itu.

Representasi semu

Saat pencarian diganti dengan kata kunci lebih umum, yaitu ”muda”, semua pasangan kandidat menyebut janjinya. Anies-Muhaimin menyebut 12 kali; menjanjikan dukungan ekosistem dan permodalan usaha, penanaman visi lingkungan, penanaman nilai-nilai kebangsaan, perlindungan dari kejahatan kontemporer, dan insentif dan stimulus bertani.

Prabowo-Gibran menyebut 11 kali untuk kontrak menumbuhkan wirausaha muda, meningkatkan relevansi Pancasila, mempermudah akses pendidikan tinggi, penguatan edukasi antikorupsi, revitalisasi sarana pembelajaran nilai-nilai luhur bangsa, serta pelestarian budaya dengan aktivitas kreatif, inovatif, dan berbasis digital.

Ganjar-Mahfud menyebut lima kali dengan janji peningkatan dan perluasan beasiswa, kebijakan afirmatif kemudahan memulai dan mengembangkan usaha, serta pembangunan rumah baru atau renovasi dengan skema pembiayaan mudah dan murah.

Perilaku memilih gen Z cenderung mengikuti arah pemilih pada umumnya.

Jumlah program spesifik untuk generasi muda porsinya kecil dibanding jumlah total janji masing-masing kandidat yang mencapai ratusan. Apabila gen Z dianggap bagian dari anak muda secara umum, tingkat representasi programnya makin rendah.

Kondisi keterwakilan semu sebenarnya tak menguntungkan generasi yang lahir akhir 1990-an itu. Ironisnya, jajak pendapat CSIS (23-30 Agustus 2017) menemukan tak terdapat perbedaan signifikan antara generasi milenial dan nonmilenial dalam hal aspirasi, harapan, dan persepsi terhadap pemerintahan. Kategori usia responden survei CSIS (17-29 tahun) yang dikategorikan milenial sebenarnya lebih mewakili usia gen Z.

Dalam kaitan Pilpres 2024, temuan CSIS tampaknya sama dengan temuan survei terkini. Perilaku memilih gen Z cenderung mengikuti arah pemilih pada umumnya. Survei Indikator (10-16 Januari 2024) menunjukkan arah pilihan yang sama antara generasi Z, milenial, X, dan boomers. Tren pilihan gen Z serupa terungkap di Survei LSI (10-11 Januari 2024) dan Poltracking (1-7 Januari 2024).

Jajak pendapat juga menunjukkan kesamaan refleksi situasi politik nasional saat ini. Gen Z tak lebih kritis dalam menilai kinerja pemerintah, terutama dibandingkan gen X dan boomers. Survei LSI (10-11 Januari 2024) menemukan kepuasan kinerja tertinggi di kalangan gen Z (96,8 persen). Adapun generasi boomers memberi nilai kepuasan 24,2 persen, lebih rendah.

Pun ada tren kenaikan elektabilitas pasangan nomor urut 2 di kalangan gen Z setelah KPU menetapkan capres-cawapres pada 13 November 2023. Survei Indikator menemukan kenaikan 19,2 persen elektabilitas pasangan ini antara sebelum penetapan (27 Oktober-1 November 2023) dan setelahnya (10-16 Januari 2024). Sebaliknya, pasangan nomor urut 1 dan 3 mengalami penurunan elektabilitas di mata gen Z sebesar 6,3 persen dan 14,9 persen.

Iklan
Ilustrasi/Supriyanto
Kompas

Ilustrasi/Supriyanto

Apabila berkaca pada tawaran program yang relatif sama di antara tiga kontestan, tren elektabilitas di kalangan gen Z tak mempertimbangkan gagasan. Kenaikan elektabilitas pasangan nomor 2 pascapenetapan calon kemungkinan karena kedekatan usia cawapres yang relatif tak terpaut jauh dengan mereka.

Kredo gen Z adalah angkatan penduduk yang lebih vokal dan sadar sosial, terutama terhadap isu kontemporer, seperti lingkungan hidup, pendidikan, dan lapangan kerja.

Namun, keyakinan itu tampak berbeda dalam kaitan pemilu. Survei Indikator (23 November-1 Desember 2023) menemukan tingkat pengetahuan mengenai isu lebih rendah di kalangan gen Z (23,7 persen) dibandingkan tiga generasi lain. Artinya, ada kesenjangan antara kredo dan kesadaran perkembangan isu nasional.

Kreativitas politik

Karakter penting lain yang melekat pada gen Z adalah kreatif dan cakap menggunakan teknologi. Watak ini aset penting dalam menghadapi situasi masa depan dengan tantangan lebih kompleks.

Dalam kaitan pemilu, gen Z harus memperjuangkan kredo kreativitas politik sebagai jati diri politiknya. Kreativitas politik itu adalah kapasitas menghasilkan ide, solusi, dan pendekatan baru terhadap masalah publik. Dengan logika berpikir itu, perlu perubahan nalar politik gen Z. Kaum Zoomers tak saja cakap berpikir kritis, tetapi perlu juga melengkapi kemampuan nalar kreatif dan desain.

Gen Z tak lebih kritis dalam menilai kinerja pemerintah, terutama dibandingkan gen X dan boomers.

Ekspresi politik gen Z tak cukup berupa kevokalan terhadap persoalan sosial dan politik, seperti menantang status quo ketimpangan ekonomi, korupsi, dan otoritarianisme. Gen Z berani menawarkan gagasan berpendekatan pembaruan tentang desain mengatasi problem publik, tantangan invensi kebijakan, atau advokasi perubahan lebih luas.

Catatan daya cipta politik gen Z lain tak hanya berfokus pada kemampuan dirinya, seperti kapasitas kreatif dan teknologi. Kreativitas politik ini harus pula mempertimbangkan faktor dan agen di luar dirinya. Dengan kata lain, terobosan gagasan dan penerapan kreativitas politik dibangun lewat interaksi sosial-politik.

Berk dkk (2013) mengingatkan bahwa aturan, organisasi, warisan budaya, dan sejarah menempatkan kreator politik dalam konteks. Gen Z memanfaatkan faktor situasi itu sebagai materi dasar untuk improvisasi dan transformasi.

Konteks tak diperlakukan sebagai panduan dan batasan berkreasi. Gen Z tak perlu bekerja sendiri. Mereka bisa berdialog dan belajar dari gen X dan boomers untuk memintas pengalaman dan kearifan. Dialog konstruktif antargenerasi membantu agar gagasan dan proyek kreativitas politik para zoomers tidak terisolasi secara sosial dan etika.

Baca juga : Pemilih Muda dan Buaian ”Politainment”

Wawan Sobari,Dosen Bidang Politik Kreatif FISIP Universitas Brawijaya

Wawan Sobari
DOKUMENTASI WAWAN SOBARI

Wawan Sobari

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000