Kelompok-kelompok etnis di Myanmar menyadari tak cukup hanya mengalahkan junta, tetapi juga harus mewujudkan demokrasi.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Kudeta militer yang mendongkel pemerintahan sipil Myanmar telah berlangsung tiga tahun. Negara itu kini didera prahara tak berujung. Milisi terus melawan junta.
Kudeta yang dilakukan angkatan bersenjata Myanmar itu berlangsung pada 1 Februari 2021. Tokoh Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, ditahan. Para anggota parlemen dari partai ini ikut ditahan. Kudeta militer direspons dengan unjuk rasa di seluruh Myanmar. Militer lantas menghadapinya dengan aksi brutal dan represif. Lebih dari 4.400 orang tewas sejak kudeta terjadi, sementara lebih dari 25.000 orang ditahan. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada lebih dari 2 juta warga Myanmar yang mengungsi (Kompas.id, 1 Februari 2024).
Perlawanan yang semula dilakukan secara damai oleh masyarakat sipil kini melibatkan milisi atau kelompok bersenjata etnis. Di Myanmar, sejumlah etnis yang menempati wilayah-wilayah tertentu mempunyai milisi. Mereka selama ini melakukan perlawanan terhadap tentara pusat atau berkonflik dengan sesama milisi yang berbeda etnis.
Pascakudeta Februari 2021, milisi etnis bersatu dengan kelompok prodemokrasi. Seiring dengan melemahnya moral tentara junta, kelompok bersenjata etnis dilaporkan menuai sejumlah kemenangan krusial. Mereka meraup hasil besar di Negara Bagian Shan, wilayah di Myanmar utara yang berbatasan dengan China. Rute dagang dengan China pun dikuasai kelompok itu.
Hal tersebut menyemangati kelompok perlawanan lainnya. Alhasil, junta kehilangan kendali atas perbatasan Myanmar dengan India (Myanmar barat). Di Negara Bagian Rakhine yang berbatasan dengan Bangladesh, milisi Arakan melanggar gencatan senjata yang selama dua tahun disepakati dengan militer Myanmar. Perlawanan dihadapi pula oleh junta di sebelah timur, yakni di perbatasan Myanmar dengan Thailand (Avinash Paliwal, ”Could Myanmar Come Apart?”, Forreign Affairs, 24 Januari 2024).
Koordinasi di antara kelompok etnis yang berbeda berlangsung kian erat. Mereka menyadari tak cukup hanya mengalahkan junta, tetapi juga harus mewujudkan negara demokrasi yang kokoh. Otonomi sangat besar harus diberikan kepada setiap negara bagian. Myanmar bukan negara yang didominasi oleh suku atau etnis tertentu.
Perkembangan mutakhir di Myanmar patut dilihat secara mendalam oleh negara tetangga dan kawasan. ASEAN sangat berkepentingan dengan masa depan Myanmar. Tekanan yang diberikan ASEAN terhadap junta tak kunjung melunakkan hati pemimpin militer Myanmar. Pada saat yang sama, kondisi tak stabil di negara itu telah meningkatkan risiko kejahatan transnasional, seperti perdagangan orang dan narkoba.
Indonesia dan negara Asia Tenggara lain perlu lebih aktif mendorong solusi damai serta menyeluruh di Myanmar. Perang berlarut-larut di negara itu merusak stabilitas kawasan. Solusi adil dan permanen harus diwujudkan di Myanmar.