Tiga Tahun Kudeta Militer di Myanmar, Perlawanan pada Junta Makin Gencar
Tiga tahun setelah kudeta militer, kelompok-kelompok etnik bersenjata di Myanmar menggoyahkan cengkeraman junta militer.
BANGKOK, KAMIS — Hari Kamis (1/2/2024) ini tepat tiga tahun kudeta militer di Myanmar meletus. Selama tiga tahun itu pula, Myanmar kembali berada dalam cengkeraman pemerintahan junta militer. Semula terlihat militer akan menggenggam cengkeraman itu hingga tanpa batas waktu.
Setelah tiga tahun berlalu, dalam pertempuran ala David versus Goliath, kelompok-kelompok perlawanan bersenjata dari kalangan akar rumput di sejumlah wilayah ternyata mampu menggoyahkan cengkeraman junta militer tersebut.
Pemimpin junta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, Rabu (31/1/2024), memutuskan memperpanjang masa darurat selama enam bulan ke depan. Keputusan itu diumumkan melalui saluran telegram media yang dikelola militer, Myawaddy.
Pada Rabu kemarin adalah hari berakhirnya masa darurat yang ditetapkan sebelumnya. Dengan perpanjangan masa darurat tersebut, militer berkuasa menjalankan seluruh kewenangan dan fungsi pemerintahan.
Pada hari Rabu itu pula, pemerintahan tandingan, Pemerintah Persatuan Nasional atau National Unity Government (NUG), bersama tiga kelompok etnik lainnya merilis peta jalan politik guna mengakhiri pemerintahan militer menuju transisi kekuasaan secara damai.
NUG dibentuk oleh para anggota parlemen terpilih hasil pemilu terakhir di Myanmar, November 2020. Kelompok itu mengklaim diri mereka sebagai pemerintahan yang sah. Adapun tiga kelompok etnik lainnya adalah Front Nasional China (Chin National Front), Partai Progresif Nasional Karenni (Karenni National Progressive Party), dan Persatuan Nasional Karen (Karen National Union). Ketiga kelompok itu tengah bertempur melawan pemerintahan junta militer.
Baca juga: Myanmar Dapat Pasokan Jet Tempur Su-30SME dari Rusia
Melalui pernyataan bersama, mereka menuntut penghentian keterlibatan militer dalam politik, menempatkan seluruh kekuatan angkatan bersenjata di bawah komando pemerintahan sipil hasil pemilu, mengumumkan konstitusi baru yang mewujudkan nilai-nilai federalisme dan demokrasi, membentuk negara persatuan federal baru yang demokratis, dan melembagakan sistem keadilan yang transisional.
Pembentukan negara persatuan federal merupakan cita-cita lama kelompok-kelompok etnis minoritas di Myanmar. Mereka menginginkan kewenangan lebih besar dalam mengatur wilayah yang mereka kuasai.
Pernyataan bersama itu juga menyerukan dialog dengan pimpinan militer. Namun, dialog ini hanya bisa digelar setelah militer menerima tanpa syarat atas rencana penghentian kekuasaan militer dan transisi kekuasaan secara damai.
Belum ada tanggapan dari pemerintahan militer terhadap pernyataan NUG dan kelompok-kelompok etnik minoritas tersebut. Pemerintahan junta selalu menyatakan NUG sebagai organisasi teroris. Mereka juga menetapkan kelompok-kelompok perlawanan lainnya sebagai organisasi ilegal. Implikasinya, pihak ketiga atau pihak luar diimbau tidak menjalin kontak dengan kelompok-kelompok itu.
Baca juga: ASEAN Tidak Boleh Maklumi Junta Myanmar
Seperti diketahui, krisis Myanmar terjadi setelah militer merebut kekuasaan melalui kudeta pada 1 Februari 2021. Militer menuding, meski tidak mampu menunjukkan bukti-bukti pendukungnya, pemilu bulan November 2020 diwarnai kecurangan. Hasil pemilu itu menunjukkan, para politisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi menang dan bakal menguasai parlemen.
Pertempuran meluas
Tiga tahun lalu, 1 Februari dini hari, aparat militer menahan Suu Kyi dan sejumlah anggota parlemen dari NLD. Kudeta militer direspons dengan unjuk rasa massal di seantero Myanmar. Militer merespons balik dengan tindakan brutal dan represif.
Menurut lembaga pemantau setempat, lebih dari 4.400 orang tewas sejak kudeta militer tersebut, sementara lebih dari 25.000 orang ditahan. Data PBB menyebutkan, sejak itu lebih dari 2 juta warga Myanmar mengungsi dari tempat tinggal mereka.
Pertempuran dan kontak senjata antara kelompok-kelompok penentang kudeta dan militer meletus di sana-sini. Junta militer mengerahkan artileri dan jet-jet tempur untuk menekan milisi yang bersekutu dengan pemerintah bayangan dan kelompok-kelompok perlawanan etnik minoritas.
Namun, dilaporkan bahwa militer kesulitan menghadang perlawanan mereka di beberapa wilayah, salah satunya di Negara Bagian Shan di Myanmar utara. Aliansi Pertahanan Rakyat, gabungan kelompok-kelompok etnik minoritas, pada Oktober 2023 melancarkan serangan mengejutkan di Negara Bagian Shan. Mereka mampu menguasai area yang luas di wilayah tersebut, termasuk jalur-jalur strategis perdagangan ke China.
Baca juga: Troika ASEAN untuk Penyelesaian Isu Myanmar
Pemerintah China sempat memediasi kesepakatan damai dan bisa menghentikan sementara pertempuran di Shan. Namun, Aliansi Pertahanan Rakyat masih mengontrol wilayah cukup luas di negara bagian itu. Di sisi lain, pertempuran masih terus berkobar di wilayah-wilayah lain.
Junta militer melemah
Richard Horsey, penasihat senior dalam isu Myanmar pada lembaga Crisis Group, mengatakan, kelemahan militer terkuak dalam beberapa bulan terakhir. Mereka kehilangan pasukan dan wilayah kontrol.
”Cengkeraman militer pada kekuasaan saat ini semakin tidak pasti dibandingkan pada rentang waktu mana pun dalam 60 tahun terakhir,” kata Horsey.
”Meski demikian, (militer) tampak bertekad untuk terus bertempur dan mempertahankan kekerasan, dengan menyerang populasi warga sipil dan infrastruktur di area-area yang lepas dari penguasaan mereka dengan serangan udara dan artileri jarak jauh,” ujar Horsey.
Terkait dengan situasi di Myanmar, Juru Bicara PBB Stephane Dujarric menyampaikan pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres. Guterres menekankan, ”pentingnya menciptakan jalan menuju transisi demokratis dengan kembalinya pemerintahan sipil”.
”Solusi inklusif terhadap krisis di Myanmar memerlukan kondisi yang memungkinkan rakyat Myanmar menggunakan hak asasi mereka secara bebas dan damai. Tindakan kekerasan militer yang menargetkan warga sipil dan penindasan politik harus diakhiri, dan mereka yang berwenang harus dimintai pertanggungjawaban,” kata Dujarric.
Dari sisi upaya diplomatik, berbagai langkah yang dilakukan PBB dan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) hingga kini tidak menunjukkan kemajuan. Dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN (AMM) di Luang Prabang, Laos, 28-29 Januari 2024, ASEAN menegaskan agar konflik di Myanmar dihentikan. Para menlu ASEAN juga menegaskan komitmen membantu Myanmar menemukan solusi damai.
Dari Washington, Rabu (31/1/2024), dilaporkan bahwa Amerika Serikat mengumumkan sanksi terbaru kepada dua entitas, yang diasosiasikan dengan militer Myanmar dan empat orang. Kedua entitas itu adalah kelompok perusahaan Shwe Byain Phyu dan perusahaan pengapalan Myanma Five Star Line Company Limited. (AP/AFP/REUTERS)