logo Kompas.id
OpiniMenggugat Pendidikan Etika
Iklan

Menggugat Pendidikan Etika

Penting memahami nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mencermati etika dan tindakan etis para elite.

Oleh
JC TUKIMAN TARUNA
· 5 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/dEkz63Hm2wY86iybZrTNsYp7uII=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F02%2F0381e952-95fe-4045-aac1-e3bfe229c923_jpg.jpg

Pendidikan etika seperti apa yang selama ini telah (dan sedang) berlangsung sehingga sejumlah tokoh elite masyarakat, orang-orang terpilih dan terpandang, digugat perilaku etisnya?

Ada yang digugat karena kata-katanya, karena kebijakannya, bahkan karena gimmick-nya. Tegasnya, gugatan itu menyangkut cara berpikir, cara bertutur, dan cara bersikap sejumlah tokoh itu dan semuanya bermuara ke pernyataan penuh keheranan: sekaliber dia, mengapa cara berpikir, cara berucap, dan cara bersikap berubah menjadi tidak etis seperti itu?

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Berkaitan dengan debat kelima calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) pada Minggu (4/2/2024), yang antara lain bertema pendidikan, rasanya penting dikupas, bahkan digugat, perihal pendidikan etika ini.

Ada dua landasan berpikir untuk mengupas dan menggugat pendidikan etika ini. Pertama, pendidikan etika harus kuat berdasarkan pada pemahaman tentang sejarah berbangsa dan bernegara sebagaimana ditulis oleh mendiang Ignas Kleden dalam pengantar buku Etika Pembebasan (Soedjatmoko, 1984). Dan kedua, (menggugat) pendidikan etika harus dirunut sampai akarnya, yakni bagaimana pendidikan nilai benar-benar dipahami (Haryatmoko, 2013).

Yang kita perlukan adalah reformasi atas hal-hal yang salah/keliru untuk perbaikan ke depannya, dan bukan revolusi yang seolah serba baru dan berbeda.

Kesadaran historis

Kleden menulis, dalam memahami dan memaknai sejarah, satu syarat terpenting ialah siapa pun harus mampu memahami dan memaknai kesadaran zamannya; yaitu seperti apa dan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang zaman di mana saat ini dia/mereka hidup atau zaman-zaman sebelumnya. Ada dua pandangan utama terkait kesadaran zaman ini.

Pertama, pandangan bahwa zaman ini adalah lanjutan dari zaman sebelumnya. Pandangan ini dapat semakin kaya manakala orang mampu memahami dan menjelaskan keterkaitannya dengan zaman lainnya. Pandangan satunya, zaman adalah suatu masa yang berdiri sendiri (self-contained), di mana kita tak perlu peduli atau merujuk zaman yang lain.

Jika dikaitkan dengan proses dan praksis pendidikan sebagai realitas sosial, Kleden menyebut pandangan pertama itu berhubungan dengan pandangan sosial yang reformis. Sementara pandangan kedua berhubungan dengan pandangan sosial yang revolusioner, dengan cara ”menolak” zaman sekarang karena berharap akan lahir suatu masa depan yang sama sekali baru.

Pandangan zaman yang self-contained lebih menunjukkan aspek otonomi di mana zaman dilihat sebagai sebuah keutuhan yang lengkap, berdiri sendiri, tetapi statis. Sementara pandangan yang reformis tadi lebih berhubungan dengan aspek kebebasan yang membuka suatu zaman untuk bersambung dengan masa sebelum dan sesudahnya.

Bagaimana pandangan reformis di satu pihak dan pandangan revolusioner di pihak lain memengaruhi pendidikan etika? Sejarah berbangsa dan bernegara kita, sebutlah yang berkaitan dengan peristiwa 1998, terbukti telah memilih dan menentukan pandangan reformis—maka istilah yang sangat menggema sampai sekarang adalah reformasi—dan dengan sadar tidak memilih revolusi-(oner).

Sikap etis—dan inilah makna terdalam etika—yang secara sadar dipilih, prinsipnya adalah tetap harus tersambungnya masa lalu dengan masa sekarang, meskipun ada prahara nan pahit di masa lalu karena sebuah rezim.

https://cdn-assetd.kompas.id/-6XCeKOOcG4tyyrJBeg0-p2vu_U=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F20%2F25d046a7-2135-4858-92d6-e6ed18e091a4_jpg.jpg

Yang kita perlukan adalah reformasi atas hal-hal yang salah/keliru untuk perbaikan ke depannya, dan bukan revolusi yang seolah serba baru dan berbeda. Etika reformasi yang ditumbuhkan, bukannya etika revolusioner.

Salah satu tekanan atau rumusan etika reformasi, meminjam kata-kata Soedjatmoko, ialah: ”Sampai di mana dan bagaimana caranya pandangan itu dapat mengubah perkembangan sosial, dan mampu melayani kepentingan masyarakat saat itu, sehingga tujuan-tujuan umumnya, maupun prioritas dan sistem nilainya, dapat tercapai.”

Kesadaran historis tentang reformasi yang bertumpu pada tujuan sosial, prioritas, sistem nilai dan pelayanan sosial sangat sarat dengan pendidikan etika karena tetap tidak melupakan sejarah berbangsa dan bernegara. Namun apa jadinya, apabila saat itu pilihannya pada revolusi? Dapat diduga, sejumlah elite tokoh (waktu itu) akan dengan garang menerobos, bahkan mungkin menabrak etika dengan caranya masing-masing.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pandangan revolusioner merujuk kepada self-contained karena merasa bisa berdiri sendiri dan tidak perlu merujuk pada zaman yang lain. Mengapa begitu? Orang atau sekelompok orang bersikap self-contained karena merasa dengan kekuasaan yang dimiliki, ia/mereka dapat berpikir, bersikap, bertindak sendiri. Di sinilah penerabasan etika terjadi dan di sini pula gugatan terhadap mereka bermula dengan alasan utama: tidak etis.

Kesadaran historis tentang reformasi yang bertumpu pada tujuan sosial, prioritas, sistem nilai dan pelayanan sosial sangat sarat dengan pendidikan etika karena tetap tidak melupakan sejarah berbangsa dan bernegara.

Nilai

Iklan

Etika dan tindakan etis sangat bergantung pada pemaknaan terhadap nilai (values), lebih-lebih pemahaman mendalam tentang nilai dasar, core values (Haryatmoko, 2013). Agar nilai dasar atau sebutlah nilai utama benar-benar terpahami, bahkan terhayati, dengan baik, ada tiga dorongan perlu dilakukan.

Dorongan pertama, selayaknya orang mengetahui bahwa ada saja orang atau kelompok yang melihat nilai itu selalu dikaitkan dengan keyakinan dasar bahwa cara bertindak, cara hidup/berpikir, atau cara bersikap tertentu dipilihnya karena beranggapan akan dapat meningkatkan kualitas kehidupannya. Ini jelas sangat subyektif.

Kedua, nilai dipahami sebagai hal berharga atau pantas, berupa prinsip atau standar perilaku yang mengandung kualitas. Dan dorongan ketiga, pahamilah bahwa ada orang atau kelompok yang memandang nilai sebagai prinsip atau kualitas hidup yang bermakna bagi seseorang atau sekelompok orang.

Nilai memberi bobot seseorang atau sekelompok orang dalam menentukan suatu pilihan tindakan atau sarana untuk mencapai tujuannya dan berperan sebagai pengarah perilaku atau tindakan dalam situasi tertentu.

https://cdn-assetd.kompas.id/rlNBztNgOhou0tX6eUyMq9Wynpc=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F21%2Ff84882b6-eefa-4ed5-8769-1da132959592_jpg.jpg

Dalam tiga imperatif itu, nilai dasar pasti selalu (bahkan harus) dirujuk lebih-lebih manakala institusi negara, misalnya, sedang menghadapi masalah. Mengapa harus dirujuk? Agar keputusan dan tindakannya efektif dalam rangka memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai dasar pula yang memberi arah dan inspirasi untuk bisa menyelesaikan masalah. Sebagai sebuah nilai dasar, core values cenderung tak berubah kendati pelaksanaannya berubah.

Betapa pentingnya memahami nilai-nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, dan cara paling jelas berkualitas ialah dengan mencermati etika berikut tindakan etis para elite negeri ini.

Jika saat ini ada berbagai gugatan terhadap cara berpikir, cara bertindak, dan cara berucap sejumlah elite yang katanya tidak/kurang etis, hal itu berarti sedang terjadi gugatan terhadap pendidikan etika. Mengapa?

Dalam masyarakat kita yang reformis ini, sudah barang tentu kita tak akan merasa nyaman jika ada sejumlah elite yang bersikap revolusioner; dalam arti ada kebijakan, tindakan, atau ungkapan-ungkapan yang bersifat menerabas atau menabrak-nabrak, sehingga sangat wajar jika digugat, karena itu tak memberikan pendidikan etika secara benar.

Pendidikan etika seperti apa?

Franz Magnis-Suseno (2002) memberi contoh sangat jelas dan sederhana berikut.

Kalau seseorang berjabat tangan seraya membungkukkan badan sepuluh sentimeter, hal itu menunjukkan sikap atau etika sopan santun yang terungkap dalam bentuk sikap fisik. Namun, yang lebih mau diajarkan adalah pengertian tentang nilai dan norma-norma.

Di sini, sopan santun itu lebih ditentukan oleh perilaku lahir karena sopan santun itu secara hakiki menyangkut kelakuan lahiriah orang, sedangkan batiniahnya hanya sekunder. Sikap lahirnya seperti itu, batiniahnya siapa yang tahu.

Dalam tiga imperatif itu, nilai dasar pasti selalu (bahkan harus) dirujuk lebih-lebih manakala institusi negara, misalnya, sedang menghadapi masalah.

Nilai etis dari pendidikan etika, contohnya adalah di sekolah, yakni anak-anak belajar menerjemahkan sikap-sikap baik yang diajarkan lewat ucapan dan contoh perilaku dan semua itu ”ditirukan” dalam hidup dan tindakan praktis anak setiap saat.

Dalam konteks seperti ini, Magnis menyatakan bahwa sulit dibedakan antara knowledge dan behavior meskipun dalam kajian filosofis ada kajian yang membedakan antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan praktis.

Pengetahuan teoretis tentang pendidikan etika pasti berkaitan dengan apa saja yang ada dan berhubungan dengan hal-hal praktis tentang etika, yaitu bagaimana manusia harus bertindak yang baik dan benar, dan hal itu selalu merujuk kepada behavior, tetapi tidak langsung ke kelakuan atau perilaku, seperti contoh membungkukkan badan saat bersalaman tadi.

Intinya, yang satu mau memberi knowledge, sementara yang satunya ingin mengarahkan perbuatan-perbuatan (sebaiknya begini, harusnya begitu). Namun, pada prinsipnya kedua-duanya adalah pendidikan etika. Atas dasar telaah seperti inilah, gugatan pasti muncul manakala nilai-nilai etis etika ditabrak, termasuk menabrak nilai-nilai dasar knowledge dan behavior etika.

Baca juga : Jangan Lupa, Etika Berbangsa

JC Tukiman Taruna,Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University (SCU), Semarang

JC Tukiman Taruna
ARSIP PRIBADI

JC Tukiman Taruna

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000