Jangan Lupa, Etika Berbangsa
Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan.
Setelah menyatakan menanti momen yang tepat, pekan lalu, Mahfud MD akhirnya memilih mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Langkah calon wakil presiden nomor urut 3 itu, berpasangan dengan calon presiden Ganjar Pranowo, dinilai bisa menjadi contoh bagi penyelenggara negara lain pada Pemilu 2024. Mahfud menegaskan, ia mundur untuk menghindari konflik kepentingan dan intervensi politik (Kompas, 1/2/2024).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain Mahfud, dalam pesta demokrasi tahun ini, anggota kabinet Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga turut serta berkontestasi adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Calon presiden nomor urut 2 itu berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Surakarta (Jawa Tengah) yang juga putra sulung Presiden Jokowi. Muhaimin Iskandar, calon wakil presiden nomor urut 1, juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPR.
Baca juga: Tanpa Ketegangan, Mahfud Serahkan Surat Mundur kepada Presiden
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 memungkinkan pejabat negara, termasuk menteri dan kepala daerah, tidak harus mundur ketika menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. Namun, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mereka harus mengajukan cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara.
Memang tidak mudah memisahkan seorang pejabat negara dengan pribadi. Apalagi, untuk mengetahui apakah sesuatu yang melekat pada dirinya itu bagian dari fasilitas negara atau bukan. Sebab itu, sejumlah kalangan mendorong siapa pun pejabat negara yang menjadi peserta pemilu, baik sebagai calon wakil rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun calon presiden/calon wakil presiden, mengundurkan diri, serta memberikan contoh kepada rakyat untuk menjunjung tinggi etika dan moralitas. Menjadi teladan.
Baca juga: Menguak Taktik Anies, Prabowo, dan Ganjar di Jawa
Selain norma yang hidup dalam masyarakat, di negeri ini juga masih ada Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Konsiderans dalam Tap MPR itu menyebutkan, etika kehidupan berbangsa dewasa ini mengalami kemunduran, yang turut menyebabkan terjadinya krisis multidimensi. Kondisi bangsa saat ketetapan itu dilahirkan, jika mengacu pada petisi dan pernyataan yang disampaikan berbagai aktivis kebangsaan, guru bangsa, serta akademisi, tampaknya nyaris sama dengan kondisi saat ini. Etika berbangsa terasa diabaikan.
Padahal, Pasal 3 Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 itu menegaskan, merekomendasikan kepada presiden dan lembaga tinggi negara serta masyarakat untuk melaksanakan ketetapan ini sebagai salah satu acuan dasar dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa telah melanggar kaidah dan sistem nilai, atau dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Mahfud, atau Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani, bersedia melepas jabatannya sebab menjaga marwah demokrasi yang dilaksanakan dengan benar, adil, dan jujur. Masih ada waktu bagi siapa pun untuk memberikan teladan etika berbangsa kepada rakyat.