logo Kompas.id
OpiniMenyelamatkan Republik Kita
Iklan

Menyelamatkan Republik Kita

Pemilu jadi penentu masa depan republik. Dengan akal budi dan hati nurani, kita memilih pemimpin yang humanis.

Oleh
SUKIDI
· 3 menit baca
Sukidi
SALOMO TOBING

Sukidi

Selalu ada harapan pada Tanah Air di tengah kekuasaan yang tiranik. Harapan itu disuarakan agar kita terpanggil untuk menyelamatkan republik dari kerusakan. Memang, republik kita tetap berdiri secara fisik. Namun, spirit republik sebenarnya roboh, yang tecermin pada tiga pilar utama.

Pertama, republik, sesuai impian Soekarno pada pidato 1 Juni 1945, membawa aspirasi negara untuk semua: ”Kita hendak mendirikan satu negara, semua buat semua: bukan untuk satu orang, bukan buat satu golongan, tetapi semua buat semua.” Impian republik demokratis untuk semua ditelikung oleh tiran populis (populisttyrant) sebagai republik yang melayani kepentingan politik satu orang, satu keluarga, dan satu golongan.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Kedua, republik, sesuai impian Mohammad Hatta, berdasar pada hukum untuk menghindari tirani. Pikiran brilian Hatta ini mengingatkan pada pikiran pendiri republik Amerika. ”Dalam mendirikan republik demokratis berdasarkan hukum,” kata Timothy Snyder dalam On Tyranny (2018), ”para bapak pendiri berusaha untuk menghindari kejahatan yang mereka, seperti para filsuf kuno, sebut sebagai tirani, yakni perampasan kekuasaan oleh satu individu atau kelompok atau pengabaian hukum oleh penguasa demi keuntungan mereka sendiri.”

Baca juga: Demokrasi di Ujung Kematian

Kerisauan pendiri Amerika ini juga dirasakan Hatta saat mendirikan republik yang berdasar atas hukum, sesuai penjelasan UUD 1945 yang asli: ”Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”.

Iklan

”Dan, menangislah Hatta,” ujar Budiman Tanuredjo (Kompas, 11/2/2023), ketika republik justru dikelola dengan kekuasaan yang tiranik. Dalam ”Hatta dan Otoritarianisme Negara” (Suara Muhammadiyah, 1442 H), tokoh besar Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari, melukiskan kekhawatiran Hatta: ”tak terbayang oleh kebanyakan Bapak Pendiri Bangsa bahwa ada penguasa pribumi yang akan meniru, apalagi melanjutkan kelakuan penguasa kolonial.

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta memasukkan kertas suara saat Pemilihan Umum 1955, Kamis (15/12/1955).
IPPHOS

Wakil Presiden RI Mohammad Hatta memasukkan kertas suara saat Pemilihan Umum 1955, Kamis (15/12/1955).

Hatta adalah satu-satunya orang yang mengkhawatirkan kemungkinan seperti itu. Terbukti, apa yang menjadi kekhawatiran Hatta sangat realistis: para pemimpin yang sebenarnya hanya penyelenggara negara itu bisa jatuh menjadi totaliter, otoriter, dan diktator penindas rakyatnya atas nama negara”.

Wajah diktator pun berubah dari represif garis keras ke tirani kekuasaan yang halus—”spin dictators”, pinjam istilah Sergei Guriev dan Daniel Treisman (2022) untuk merujuk pada tiran baru yang memanipulasi informasi untuk memperoleh dukungan rakyat dan membentuk opini publik. Dalam situasi ini, ”orang tak segera menyadari apa yang sedang terjadi. Banyak yang percaya bahwa mereka masih hidup dalam demokrasi,” kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018). Padahal, mereka hidup di ambang tirani.

Ketiga, republik, sesuai impian Soekarno-Hatta, bertujuan mewujudkan kesejahteraan bersama. Pada 1 Juni 1945, Soekarno menjanjikan ”kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya”. Dalam UUD 1945, Hatta mengamanahkan kesejahteraan pada Pasal 33 Ayat (3): ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Impian ini ditelikung oleh tiran populis sebagai republik yang mengistimewakan kaum oligarki untuk mengeksploitasi sumber daya alam untuk ”sebesar-besar kemakmuran segelintir orang”, bukan untuk ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Petugas membawa kotak suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di halaman Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Petugas membawa kotak suara saat simulasi pemungutan suara Pemilu 2024 di halaman Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Rabu (17/1/2024).

Pemilu jadi penentu masa depan republik. Dengan akal budi dan hati nurani, kita memilih pemimpin yang humanis, bukan tiranik, untuk menyelamatkan republik. Namun, keselamatan republik terletak bukan hanya di tangan pemimpin, melainkan juga di tangan kita semua.

Apa yang diikrarkan Hatta—”hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu ialah usahaku” (1928)—adalah inspirasi agar setiap ”usahaku” dapat berkembang demi kemajuan ”Tanah Airku”.

Editor:
ANTONY LEE
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000