Pemilu Taiwan, Stabilitas Antarselat, dan Indonesia
Kemenangan Lai akan membuat arah kebijakan luar negeri Taiwan empat tahun ke depan cenderung sama dengan pendahulunya.
Pada 13 Januari 2024, Taiwan melaksanakan pemilihan umum untuk memilih parlemen dan presiden.
Hasil pemilu Taiwan ini penting karena akan menentukan tensi di Selat Taiwan empat tahun ke depan, yang pada gilirannya berdampak pada stabilitas kawasan. Tensi di Selat Taiwan, beberapa waktu terakhir—terutama sejak kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taipei pada 2022—tidak stabil.
China melakukan berbagai aktivitas militer di sekitar wilayah Taiwan yang dipandang sebagai langkah ofensif untuk mendorong unifikasi. Kompleksitas masalah bertambah mengingat AS memiliki Taiwan Relations Act yang pada dasarnya merupakan komitmen mereka dalam menjamin keamanan Taiwan.
Ada tiga kandidat presiden yang bersaing pada pemilu Taiwan: Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokrat (DPP), Hou Yu-ih dari Partai Nasionalis China (KMT), dan Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP). Lai Ching-te, yang kini menjabat Wakil Presiden Taiwan dan terpilih sebagai presiden baru Taiwan dengan perolehan suara lebih dari 40 persen, akan menggantikan Tsai Ing-wen yang berasal dari partai yang sama.
Meski demikian, perolehan suara di parlemen menunjukkan hasil berbeda. KMT menjadi partai pemenang pemilu dengan selisih kursi sangat tipis dari DPP di peringkat kedua. Situasi ini tentu akan membawa dampak pada stabilitas politik domestik dan keberlanjutan kebijakan presiden baru mengingat Taiwan mengadopsi sistem semipresidensial. Situasi dengan presiden berasal dari partai bukan pemenang pemilu ini juga merupakan hal baru di Taiwan.
Kemenangan Lai tampaknya akan membuat arah kebijakan luar negeri Taiwan empat tahun ke depan cenderung sama dengan pendahulunya.
Kemenangan Lai tampaknya akan membuat arah kebijakan luar negeri Taiwan empat tahun ke depan cenderung sama dengan pendahulunya. Presiden Tsai (dan juga Presiden Chen) dikenal dengan kebijakan luar negeri yang tak memprioritaskan hubungan antarselat dan lebih menekankan pada kebijakan mengarah ke selatan (New Southbound Policy).
Kebijakan tersebut mendorong adanya keinginan membangun hubungan yang lebih mendalam antara Taiwan dan negara-negara di Asia bagian selatan, termasuk Indonesia. Kebijakan Presiden Tsai ini berfokus pada membangun hubungan-hubungan akar rumput dan tidak terbatas pada domain ekonomi yang menjadi penekanan Presiden Chen.
Pilihan kebijakan luar negeri yang tak memberikan perhatian utama pada hubungan antarselat ini merupakan platform tradisional DPP. Hal ini dilakukan karena DPP memiliki kecenderungan ideologis yang mengarah pada kemerdekaan Taiwan. Selain itu, strategi diversifikasi hubungan ini juga dipandang sebagai opsi untuk memberikan keleluasaan ruang gerak diplomatik Taiwan.
Namun, langkah ini tampaknya tidak terlalu berhasil. Justru ketika Taiwan tidak memberikan perhatian utama pada hubungan antarselat, China semakin keras dalam membatasi ruang gerak diplomatik Taiwan. Selama pemerintahan Presiden Tsai, misalnya, Taiwan kehilangan sembilan mitra diplomatik, padahal di bawah kepemimpinan Presiden Ma Ing-jeou (2008-2016) dari KMT, Taiwan tidak kehilangan satu pun mitra diplomatik.
Meski demikian, keinginan untuk menjauh dari hubungan antarselat tersebut tidak akan dengan serta-merta mendorong deklarasi kemerdekaan.
Lai dikenal sebagai salah satu tokoh faksi prokemerdekaan di DPP meski beberapa tahun terakhir ia bersikap lebih moderat dalam isu kemerdekaan Taiwan. Ada dua realitas politik yang akan membatasi langkah menuju kemerdekaan, yaitu kegagalan DPP menguasai parlemen dan tekanan dari publik.
Terkait dengan hal kedua, survei secara berkala oleh Election Study Center National Chengchi University menunjukkan 88 persen publik menghendaki status quo. Dari jumlah tersebut, 68 persen menginginkan status quo dalam jangka panjang atau tak mengambil keputusan sesegera mungkin.
Dukungan terhadap kemerdekaan (baik dalam jangka waktu dekat maupun panjang) hanya sekitar 26 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Taiwan, termasuk yang memilih DPP dan Lai, tak menghendaki kemerdekaan dalam waktu dekat.
Dengan demikian, Lai harus memiliki alternatif dalam pengelolaan hubungan antarselat. Selain meneruskan kebijakan mengarah ke selatan, Lai dapat fokus mengelola hubungan dengan AS. Masalahnya, kedekatan hubungan keduanya menjadi ancaman bagi China. Salah satunya adalah penjualan senjata yang menjadi perhatian penting China. Periode pemerintahan Tsai menjadi periode di mana penjualan senjata AS ke Taiwan mencapai titik tertinggi di era pascadarurat militer.
Mempertimbangkan hal-hal itu, periode empat tahun ke depan akan jadi periode yang menyebabkan kewaspadaan masyarakat internasional pada situasi di Selat Taiwan harus ditingkatkan. Indonesia perlu secara serius mengawasi situasi di Selat Taiwan, apalagi jumlah WNI di Taiwan cukup besar.
Indonesia perlu secara serius mengawasi situasi di Selat Taiwan, apalagi jumlah WNI di Taiwan cukup besar.
Menurut data Badan Imigrasi Taiwan pada November 2023, WNI merupakan pemukim asing terbesar di Taiwan, yakni 39 persen dari total warga asing di Taiwan. Jumlahnya 277.564 orang, tersebar di beberapa wilayah Taiwan, meningkat dari 188.229 orang 10 tahun sebelumnya. Artinya, dalam sepuluh tahun, terjadi peningkatan jumlah WNI di Taiwan secara signifikan, sekitar 47 persen.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus memiliki mekanisme perlindungan WNI yang baik dan terencana, terutama dalam situasi darurat, di mana tensi antarselat mengalami peningkatan. Apalagi, ketiadaan hubungan diplomatik akibat kebijakan satu China membuat kantor perwakilan Indonesia di Taiwan berstatus kantor dagang dan ekonomi dengan Kementerian Perdagangan sebagai institusi pengelola.
Meski di kantor tersebut terdapat perwakilan dari berbagai institusi, termasuk Kementerian Luar Negeri dan Imigrasi, jumlahnya masih minim. Hal ini perlu menjadi perhatian serius mengingat dalam empat tahun ke depan roller coaster dalam hubungan antarselat tampaknya akan sering terjadi.
Baca juga: Taiwan Cepat Tangkis Hoaks demi Jaga Integritas Pemilu
Broto Wardoyo Dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia