Mungkinkah Hilirisasi Tanpa Penguasaan Teknologi
Membiarkan industri hilirisasi dijalankan tenaga yang tidak memahami cara kerja industri akan membahayakan keselamatan.
Dalam pidato pada Manufacturing Day Summit 2024, Jumat (19/1/2024), Menteri Negara Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura Alvin Tan dengan bangga mengatakan, ”Singapura merupakan ’power house’ industri manufaktur di kawasan.” Ukurannya, kontribusi industri manufaktur pada produk domestik bruto Singapura mencapai 20 persen.
Semua itu dicapai melalui proses yang panjang. Singapura membangun industri manufaktur sejak 1972.
Konsistensi dalam menjalankan kebijakan merupakan satu kunci sukses pembangunan industri di negara tersebut.
Termasuk dalam bidang pendidikan yang berorientasi kepada penyediaan talents untuk mendukung pengembangan industri manufaktur.
Chief Executive Officer Hewlett-Packard Enrique Lores, ketika ditanya mengapa perusahaan peralatan komputer itu memilih Singapura sebagai basis produksi lebih dari 40 tahun, menyampaikan tiga alasan. Pertama, Singapura merupakan hub yang strategis untuk masuk pasar di kawasan.
Kedua, Singapura memberikan kemudahan berusaha kepada setiap perusahaan yang mau menanamkan investasi di negara itu. Ketiga, mudahnya mendapatkan talents yang dibutuhkan. Kalaupun bukan dari Singapura, tenaga kerja dari luar tidak keberatan untuk ditempatkan di Singapura.
Saat berbicara di World Economic Forum di Davos, Swiss, Presiden Singapura Tharman Shanmugaratnam menyampaikan pemikiran perlunya kebijakan pembangunan industri yang ditopang kebijakan pembangunan sosial pada skala industri.
Dalam hal ini penting digariskan pendekatan sistematik dalam mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) dan itu dilakukan melalui pendidikan berkualitas tinggi bagi seluruh rakyat (education for all).
Konsistensi dalam menjalankan kebijakan merupakan satu kunci sukses pembangunan industri di negara tersebut.
Semua itu diperlukan karena pada akhirnya pembangunan industri harus ditopang oleh sumber daya yang mempunyai kapasitas dan keterampilan. Tahapan itu tidak bisa dicapai seketika, tetapi harus melalui pematangan keterampilan yang berlangsung konstan.
Bahkan, sekarang ini dengan perubahan yang begitu cepat, sistem pendidikan harus juga mampu merespons secara cepat. Sebab, kıta ketahui bahwa teknologi berkembang sangat pesat dengan kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), belum lagi masalah digitalisasi, juga green energy yang menuntut penguasaan keterampilan lebih berbeda lagi.
Jangka panjang
Perjalanan yang ditempuh Singapura untuk menjadi negara industri bisa dijadikan referensi, terutama bagaimana menyinkronkan sistem pendidikan dengan pembangunan industri. Pelaku industri tidak hanya sekadar menjadi pengguna, tetapi mereka juga terlibat aktif dalam memberikan masukan mengenai silabus pendidikan yang perlu dijalankan.
Terutama untuk politeknik, pengusaha di Singapura bahkan duduk sebagai anggota wali amanat. Beberapa perusahaan menyumbangkan teknologi yang digunakan di perusahaan mereka untuk juga dipakai oleh peserta didik.
Tak usah heran apabila anak-anak muda Singapura sekarang ini lebih banyak memilih masuk ke jalur politeknik daripada mengikuti junior college untuk masuk perguruan tinggi. Tahun lalu tercatat sekitar 21.100 anak muda Singapura memilih mengikuti pendidikan tiga tahun di politeknik.
Dengan keterampilan khusus yang didapat di bangku politeknik, mereka bisa langsung bekerja di perusahaan yang sesuai bidang keahlian yang mereka inginkan. Pihak perusahaan pun tidak harus repot mendidik kembali para lulusan politeknik karena mereka sudah terbiasa menjalankan peralatan itu di bangku pendidikan.
Ketika sekarang Indonesia sedang bergegas menjalankan kebijakan hilirisasi, persoalan yang banyak dihadapi perusahaan adalah ketersediaan talents. Jumlah tenaga terampil yang tersedia untuk menjalankan industri sangat terbatas.
Kalau kita melihat demografi pendidikan yang ada, pantas jika kita perlu bergegas untuk mengejarnya. Bayangkan, menurut data per Juni 2022, jumlah sarjana S-2 dan S-3 yang kita miliki tak sampai 0,5 persen atau kurang dari satu juta orang. Jumlah sarjana S-1 kurang dari 5 persen atau hanya sekitar 12 juta orang.
Ini baru berbicara masalah jumlah, belum bidang keahlian. Sebab, data lain menunjukkan, Indonesia lebih banyak memiliki sarjana ilmu sosial dibandingkan dengan sarjana teknik.
Bagaimana dengan jumlah orang yang akan menjadi operator industri? Lulusan D-3 jumlahnya 1,28 persen atau sekitar 3,5 juta orang. Adapun lulusan D-1 dan D-2 jumlahnya hanya 0,41 persen atau sekitar 1,1 juta orang.
Tidak usah heran apabila ketika pemerintah ingin membangun industri nikel yang akan menjadi penopang industri baterai mobil, misalnya, maka banyak tenaga kerja yang didatangkan dari China.
Ketika sekarang Indonesia sedang bergegas menjalankan kebijakan hilirisasi, persoalan yang banyak dihadapi perusahaan adalah ketersediaan talents.
Selain karena konsep pembangunan industrinya yang menggunakan turn-key, memang tak cukup tersedia tenaga yang bisa disediakan di dalam negeri.
Kita pantas merasa lebih prihatin dengan pembangunan smelter dari program hilirisasi tersebut. Semua barang modal yang dipakai praktis harus diimpor dari luar negeri. Proyek pembangunan smelter PT Freeport Indonesia yang akan segera diresmikan, misalnya, baik barang modal maupun kontraktornya perusahaan Jepang.
Hampir semua barang modal industri yang ada di Indonesia harus dibeli atau didatangkan dari luar negeri karena kita tidak memiliki banyak ahli metalurgi di dalam negeri. Industri permesinan yang ada di Indonesia masih banyak yang baru mampu menghasilkan industri dasar, belum mampu membangun untuk kebutuhan industri tinggi, seperti industri smelter, petrokimia, dan pembangkit listrik.
Jangan berhenti
Pada 2011 ada kebijakan baik yang ditempuh pemerintah guna meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Pemerintah menyisihkan anggarannya untuk dikelola Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) agar bisa mengirimkan anak-anak Indonesia melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri.
Sekarang ini anggaran yang dikumpulkan sudah mencapai Rp 140 triliun atau hampir 10 miliar dollar AS. Kalau biaya pendidikan untuk satu mahasiswa di luar negeri mencapai 100.000 dollar AS, maka akan ada 100.000 mahasiswa pascasarjana yang bisa dihasilkan.
Memang dibandingkan dengan China, jumlah mahasiswa yang bisa kita kirimkan ke luar negeri tertinggal jauh jumlahnya. China dalam 10 tahun, sejak 2010 hingga 2020, mengirimkan lebih dari lima juta mahasiswa untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Tak usah heran apabila lompatan pembangunan industri yang China lakukan menjadi eksponensial.
Oleh karena itu, kita mengharapkan rencana penghentian sementara penyisihan anggaran pendidikan melalui LPDP tidak dilakukan. Indonesia bahkan harus meningkatkan anggaran pendidikannya karena kita ingin membangun industri dan menjadi negara industri. Jika kita tak bisa memanfaatkan dengan baik dana LPDP, berarti ada konsep penyaluran beasiswanya yang harus diperbaiki.
Pengiriman mahasiswa belajar ke luar negeri justru harus dipercepat dan lebih difokuskan untuk bidang engineering. Secara sengaja kita harus berani menetapkan, 80 persen mahasiswa yang mendapatkan beasiswa LPDP harus mengambil bidang engineering dan sisanya baru untuk ilmu-ilmu sosial.
Program hilirisasi yang sudah dicanangkan pemerintah tidak akan berhasil apabila tidak ditopang tenaga ahli dan tenaga lapangan yang terampil.
Kita juga harus bisa melakukan lompatan luar biasa untuk membuat anak-anak Indonesia menguasai teknologi dan menghasilkan barang-barang modal berteknologi tinggi.
Kita harus menyadari, tidak pernah ada yang namanya alih teknologi. Semua negara tidak pernah akan mau membagi pengetahuannya dari teknologi yang mereka sudah kuasai. Kita harus, merebut, mengembangkan, dan menguasai teknologi yang kita buat sendiri.
Berbagai insiden ledakan smelter yang berulang kali terjadi di industri nikel di Morowali belakangan ini merupakan peringatan bahwa kita membutuhkan sumber daya yang lebih mumpuni. Semakin tinggi industri yang dikembangkan semakin rumit dan tinggi risikonya. Untuk itu, dibutuhkan tenaga-tenaga yang terampil, yang disiplin dalam bekerja, dan memahami cara bekerja pada industri berteknologi tinggi.
Pengiriman mahasiswa belajar ke luar negeri justru harus dipercepat dan lebih difokuskan untuk bidang engineering.
Membiarkan industri hilirisasi dijalankan oleh tenaga yang tidak memahami cara kerja industri akan membahayakan keselamatan warga. Kıta tentu tidak ingin lebih banyak korban berjatuhan karena kita mampu menyiapkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan.
Perjalanan kita untuk menjadi negara industri masihlah panjang. Singapura bisa menjadi negara industri maju karena 41,6 persen warganya pendidikannya sudah sarjana ke atas. Semua negara yang maju industrinya, minimal jumlah pendidikan sarjana warganya di atas 25 persen. Butuh waktu untuk mengangkat pendidikan sarjana warga Indonesia dari sekarang 5 persen menjadi di atas 25 persen.
Baca juga : Hilirisasi dan Peningkatan Kompleksitas Ekonomi
SuryopratomoDuta Besar RI untuk Singapura